Minggu, 30 Mei 2021

 

Analisis Budaya: Halalbihalal

Ahmad Najib Burhani ; Profesor Riset di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

KOMPAS, 29 Mei 2021

 

 

                                                           

Idul Fitri memang sudah berlangsung pada 13 Mei 2021 yang lalu. Namun, kegiatan halalbihalal biasanya masih terus diadakan selama bulan Syawal, bulan kesepuluh dalam kalender Hijriah. Berbagai kantor pemerintah dan swasta, sekolah, organisasi Islam, perkumpulan alumni, atau kluster perumahan akan bergantian melaksanakan halalbihalal. Banyak yang melakukan secara luring, tetapi karena pandemi belum berakhir, lebih banyak lagi yang menyelenggarakan secara daring.

 

Halalbihalal merupakan bagian dari rangkaian kegiatan dalam perayaan Idul Fitri. Ini merupakan tradisi khas Indonesia yang tidak ditemukan di negara-negara Islam lain. Meski kosakatanya berasal dari bahasa Arab, ia bukanlah istilah Arab. Secara gramatika bahasa, istilah ini tidak pas atau tidak mengikuti standar bahasa Arab yang diakui sehingga ia tidak memiliki makna yang jelas. Secara harfiah, ia berarti ”boleh dengan boleh” atau ”halal dengan halal”. Namun, secara umum, istilah ini dimaknai sebagai permohonan untuk saling memaafkan dan menyelesaikan masalah.

 

Berdasarkan penelusuran Muhammad Yuanda Zara (2020) dan Deni Al Asyari (2021), istilah halalbihalal sudah dipakai umum pada perempat abad pertama abad ke-20 dengan berbagai cara penulisannya, seperti chalal bichalal, chalal bil chalal, halal bahalal, alal bahalal, alal behalal, halalbihalal, dan seterusnya. Majalah Soeara Muhammadijah edisi nomor 5 tahun 1924, misalnya, menggunakan istilah ”Alal Bahalal” dalam judul Tajuk Rencana atau pengantar redaksi edisi tersebut.

 

Tradisi ini lantas masuk menjadi acara resmi kenegaraan ketika KH Wahab Chasbullah pada 1948 mengusulkan agar Presiden Soekarno menggunakan halalbihalal untuk mencairkan ketegangan antar-elite politik ketika itu (Kompas, 16 Mei 2021). Acara itu menjadi alat untuk mempertemukan berbagai pihak yang sebelumnya tak mau bertemu dan sebagai upaya untuk mengintegrasikan kembali berbagai elemen bangsa. Sejak itulah kegiatan ini menjadi populer, tak hanya di kalangan masyarakat umum, tetapi juga di kantor-kantor pemerintah dan swasta.

 

Di negara lain, pada saat Idul Fitri biasanya umat Islam saling mengucapkan ”Eid Mubarak”. Kadang ditambah dengan ”kullu ’am wa antum bi khair” (semoga kalian senantiasa dalam kebaikan setiap tahun).  Kalimat yang lebih lengkap lagi, ”Taqabbalallahu minna wa minkum wa taqabbal ya karim, waja’alanallahu waiyyakum minal ’aidzin wal faizin” (Semoga Allah menerima (amal ibadah) kita semua! Dan semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang).

 

Tradisi mengucapkan kalimat ”mohon maaf lahir dan batin” atau, dalam bahasa Jawa, ”nyuwun pangapunten sedanten kalepatan” tidak terdapat di negara-negara Muslim lain. Dalam bahasa Clifford Geertz (1964, 379), inti dari hari raya Idul Fitri, atau Riyaya, di Jawa atau Indonesia itu memang terletak pada ”individual begging of forgiveness” (permohonan maaf). Menariknya, ini tidak hanya dilakukan oleh umat Islam atau antar-umat Islam, tetapi juga oleh pengikut agama lain.

 

Tradisi halalbihalal itu tentu bisa dirunut dari tradisi sungkeman atau pisowanan. Berbagai referensi menunjukkan bahwa ia berawal ketika KGPAA Mangkunegara I dari Surakarta, atau Pangeran Sambernyawa, mengumpulkan penggawa dan prajurit di balai astaka untuk melakukan sungkem kepada Sang Raja dan Permaisuri setelah Idul Fitri (Suara Muhammadiyah No 11, 2019).

 

Meski halalbihalal tidak dikenal di negara lain, perayaan atau festival Idul Fitri itu sendiri ada di sejumlah negara. Kita bisa melihat tradisi yang sama dalam takbiran, kembang api, shalat Idul Fitri, makan bersama, dan berpakaian bagus. Pada beberapa hal, ini mirip yang terjadi pada hari Natal, Paskah, dan Thanksgiving. Namun, tidak ada tradisi saling bersilaturahmi atau saling mengunjungi dan saling meminta maaf pada Idul Fitri di negara lain. Ini yang khas Indonesia.

 

Di Pakistan, misalnya, perayaan Idul Fitri biasa dilakukan dengan hadirnya keluarga dari sejumlah daerah atau bahkan mereka yang tinggal di mancanegara. Ini mirip dengan tradisi mudik di masyarakat kita. Pada hari raya, mereka bangun pagi-pagi dan memakai baju tradisional yang baru, Kurta Shalwar. Kemudian mereka akan berkumpul untuk makan bersama, dimulai dengan doa dipimpin oleh yang tertua. Setelah itu mereka lantas pergi untuk melaksanakan shalat Id. Seusai shalat, mereka akan saling berpelukan dan saling mengucapkan selamat Idul Fitri.

 

Nah, festival Idul Fitri akan berlangsung setelah itu yang biasanya menggabungkan unsur tradisional, modern, dan bahkan sekuler. Elemen agama berkurang atau hilang dan berganti dengan elemen budaya dan napas perayaan pada umumnya. Berbagai makanan tradisional, seperti chapli kebab dan samosa, disajikan. Anak-anak akan mendapatkan angpau dari orangtua dan saudara.

 

Selain halalbihalal, ciri khas lain dari perayaan hari Lebaran di Indonesia adalah beduk, takbir keliling, makan ketupat, dan ziarah kubur. Bagi sebagian masyarakat kita, Idul Fitri bukan hanya perayaan bagi mereka yang masih hidup, melainkan juga yang sudah meninggal. Makanya, kemarin ada yang marah ketika tempat-tempat pemakaman ditutup pada hari raya, sementara mal dan tempat wisata banyak yang masih buka.

 

Tentu, sejumlah daerah di Indonesia memiliki variasi yang berbeda dalam merayakan Idul Fitri dan berhalalbihalal. Di Jawa, perayaan Id atau Bakda Lebaran berlangsung selama seminggu dan ditutup dengan Bakda Kupat atau Riyaya Ketupat. Di tempat lain, ketupat disajikan pada hari pertama Lebaran.

 

Ketupat, yang sekarang menjadi ikon Idul Fitri, sering dianggap berasal dari kata ”ngaku lepat” (mengaku salah). Namun, ada yang memaknainya sebagai ”laku papat” (empat tindakan): Lebaran (membuka pintu lebar-lebar), luberan (berbagi keberuntungan), leburan (saling memaafkan), dan laburan (putih dan bersih dari dosa) (Rianti dkk 2018, 6). Ada juga yang menganggap berasal dari bahasa Arab, kafa, yang berarti ”sempurna”. Setelah berpuasa sebulan penuh dan dilanjutkan saling memaafkan sesama manusia, sempurnalah diri kita sebagai manusia.

 

Akhirnya, pada hari raya ini, kami memohon agar dibukakan pintu maaf yang selebar-lebarnya. Semoga Covid-19 cepat berakhir dan kita bisa nguri-nguri tradisi halalbihalal dan ketupatan dengan lebih hangat dan meriah! ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar