Senin, 24 Mei 2021

 

Anugerah Sasterawan Negara Malaysia

Endi Haryono ;  Dekan Fakultas Humaniora, President University, Cikarang, pernah menjadi dosen tamu di Universitas Utara Malaysia (UUM), Kedah, tahun 2010-2012

KOMPAS, 23 Mei 2021

 

 

                                                           

Malaysia untuk waktu lama belajar dan meniru Indonesia dalam pengembangan sastra dan penghargaan kepada para sastrawannya. Saat ini Malaysia jauh melampaui Indonesia dalam soal ini.

 

Sementara penghargaan sastra di Indonesia tidak lagi prestisius dan menjadi wacana akademik yang hangat, Malaysia semakin mapan dengan penghargaan sastra dua tahunan, Anugerah Sasterawan Negara. Kontras yang terjadi pada dua negara dalam hal penghargaan sastra, tentu saja, berimplikasi pada penghargaan kepada sastrawannya.

 

Sementara Malaysia menyadari kekurangannya dalam hal sastra sehingga harus belajar dan mendatangkan guru-guru dari Indonesia dan kemudian bebenah, Indonesia sebaliknya tampaknya masih terjebak pada kebanggaan atas kekayaan warisan budaya dari masa lalu. Karena itu, Indonesia kurang atau bahkan tidak memikirkan secara serius pengembangan sastra. Sastra seharusnya menjadi pintu masuk praktis dan berkesan menuju pembangunan kebudayaan dan revolusi mental untuk manusia Indonesia baru.

 

Sasterawan Negara Malaysia

 

Anugerah Sasterawan Negara diberikan oleh Kerajaan Malaysia (pemerintah) kepada penulis atau sastrawan Malaysia atas karya-karya yang telah ditulisnya. Anugerah ini diberikan rutin sejak tahun 1981, semacam Nobel Sastra dalam lingkup Malaysia, diberikan setiap dua tahun.

 

Penghargaan diberikan berdasarkan kualitas karya-karya sastra yang telah ditulis dan diterbitkan, berdasarkan penilaian dari Komite Anugerah Sasterawan Negara. Komite ini dibentuk dan bekerja untuk Kementerian Pengajaran dan Dewan Bahasa Malaysia, sebagai pelaksana Anugerah Sasterawan Negara.

 

Sama seperti Hadiah Nobel, penilaian didasarkan pada keseluruhan karya yang dibuat oleh penulis atau sastrawan, bukan hanya yang diterbitkan dalam dua tahun terakhir. Selain menilai kekuatan dari karya-karya yang dihasilkan, karenanya, Komite Anugerah Sasterawan Negara melihat juga konsistensi penulisnya dalam berkarya.

 

Penerima Anugerah Sasterawan Negara mendapatkan penghargaan dari negara berupa hadiah utama, royalti penerbitan ulang karya-karyanya untuk didistribusikan ke perpustakaan-perpustakaan sekolah dan umum, serta tunjangan hidup bulanan. Tiga penghargaan ini, ditotal, jumlahnya cukup besar.

 

Sebagai ilustrasi, saya ambil penghargaan material yang diterima oleh penerima Anugerah Sasterawan Negara terbaru di tahun 2019, yakni Siti Zainon Ismail (70 tahun). Siti Zainon adalah penulis dan penyair wanita yang juga adalah seorang dosen sastra di Malaysia. Selain dikenal di Malaysia, Siti Zainon juga sangat populer di kalangan penulis dan mahasiswa-mahasiswa sastra-budaya di Aceh, yang adalah kampung halaman keduanya. Atas anugerah ini, Siti Zainon mendapatkan hadiah uang total senilai Rp 1,8 miliar.

 

Rincian uang penghargaan tersebut, sebagai penerima Anugerah Sasterawan Negara Malaysia, Siti Zainon mendapatkan hadiah uang tunai RM 60.000 atau setara dengan Rp 202 juta yang diterima pada saat dilangsungkan acara penganugerahan. Selanjutnya, Siti akan menerima royalti penerbitan dari penerbit negara senilai RM 500.000 atau setara Rp 1,5 miliar, diberikan bertahap sesuai penerbitannya.

 

Beberapa judul buku karya penerima Anugerah Sasterawan Negara, dengan seleksi oleh Komite Bacaan Sastera Sekolah, akan dijadikan bacaan sastra wajib di sekolah-sekolah menengah di Malaysia dan karenanya akan dicetak oleh penerbit negara dalam jumlah banyak. Siti Zainon, sejak dinyatakan sebagai sasterawan negara, menerima tunjangan hidup bulanan (elaun) sebesar RM 5.000 setara dengan Rp 22 juta hingga meninggal. Di luar ini, Siti Zainon akan otomatis mendapatkan jaminan perawatan kesehatan kelas VIP dari negara sepanjang hidupnya.

 

Di Malaysia, sastrawan adalah ”pemikir bestari” atau ”pujangga” yang memiliki strata sosial tinggi di masyarakat. Ini, saya kira, bagian dari kelanjutan tradisi Melayu pada kerajaan-kerajaan Nusantara—termasuk Jawa—yang sangat menghargai para sastrawan dan pujangganya. Wujud nyata dari penghargaan ini dengan membuat karya-karya mereka dibaca secara luas, sebagai bacaan wajib di sekolah dan tersedia di perpustakaan-perpustakaan umum.

 

Cara yang lain dengan menjaga kehidupan material mereka agar terus berkarya dengan produktif dan juga mendapat penghargaan dalam pergaulan di masyarakatnya.

 

Bacaan sastra wajib

 

Terpilih menjadi Sasterawan Negara Malaysia, selain mendapatkan penghargaan material yang akan menopang status mereka sebagai pujangga dan penjaga kebudayaan, yang lebih penting adalah karya-karya mereka akan dibaca oleh para siswa di Malaysia sebagai bacaan sastra wajib. Satu atau beberapa karya terbaik dari sasterawan negara akan diambil sebagai bacaan sastra wajib di sekolah-sekolah Malaysia pada tingkatan kelas yang ditentukan oleh Kementerian Pengajaran.

 

Malaysia secara konsisten sejak merdeka memasukkan dalam kurikulum sekolah-sekolah menengah mereka bacaan sastra wajib untuk semua siswa. Konsisten karena kebijakan ini tidak pernah diganggu gugat, direvisi atau diotak-atik. Yang berubah adalah buku-buku sastra yang menjadi materi bacaan sastra wajib tersebut, yang ditentukan oleh komite dan disesuaikan dengan tingkatan kelas. Selain meneruskan tradisi Melayu lama bahwa siswa harus membaca karya para pujangga mereka, Malaysia juga belajar dan meniru pendidikan dasar dan menengah Indonesia.

 

Lha, di Indonesia kini, bacaan sastra wajib di sekolah-sekolah menengah justru malah hilang ditelan semangat ”inovasi” para ahli pendidikan baru dan gegap gempita pembangunan. Bacaan sastra wajib sangat populer di sekolah-sekolah menengah di Malaysia dan warga Malaysia membanggakannya. Kegairahan akan karya sastra ini justru hilang dari Indonesia.

 

Di tahun-tahun awal setelah merdeka, banyak karya sastra dari penulis Indonesia menjadi materi bacaan sastra wajib di Malaysia. Hingga tahun 1980-an, Malaysia mengambil banyak buku karya sastrawan Indonesia (terutama novel) sebagai bacaan wajib sekolah. Lebih-lebih lagi, hingga tahun ini, Malaysia banyak mengundang guru dari Indonesia, dan belum melahirkan penulis-penulis sastra sendiri yang hebat. Sementara, buku-buku karya sastra (Indonesia dan Melayu) adalah bagian penting dari pengajaran di tingkat sekolah menengah, baik untuk pembangunan karakter (character building) maupun pembangunan kebangsaan (nation building) di Malaysia.

 

Penulis-penulis Indonesia, seperti Idrus, Hamka, Pramoedya Ananta Toer, Sutan Takdir Alisajahbana, Marah Roesli, Utuy Tatang Sontani, dan I Nyoman Pandji Tisna, sangat dikenal di Malaysia dan karya-karya mereka dibaca. Buku-buku Pramoedya Toer, yang dilarang di Indonesia sejak tahun 1965, masih tersedia dan menjadi bacaan sekolah di Malaysia pada tahun 1970-an dan 1980-an.

 

Baru pada akhir 1980-an karya-karya sastra (novel) Malaysia sendiri banyak diterbitkan, sebagian karya penerima Anugerah Sasterawan Negara, dan mulai masuk menjadi bacaan sastra wajib di sekolah. Saat ini, hampir semua kebutuhan buku bacaan sastra wajib telah dipenuhi oleh karya sastrawan Malaysia sendiri.

 

Karya sastra dari para sastrawan diambil sebagai bacaan wajib di sekolah dalam rangka turut membentuk pribadi bangsa Malaysia yang berkualitas. Membaca karya sastra mendiskusikannya dengan para guru dan siswa lainnya di sekolah memberikan kesan yang mendalam. Kebijakan ini dijalankan dengan sadar oleh Malaysia sebagai bagian dari kurikulum sekolah menengahnya dan, yang lebih penting, dilakukan secara konsisten.

 

Karya sastra (novel) adalah materi pengajaran bagi siswa sekolah menengah yang mendidik, memberikan pengajaran, dan sekaligus menghibur sehingga menarik minat siswa untuk mengikutinya secara berkesan. Malaysia menerapkan ini secara serius dan konsisten. Membuat penghargaan ASN dan membentuk Komite Bacaan Sastera Wajib adalah bagian dari ini.

 

Indonesia tertinggal

 

Penghargaan terhadap karya sastra dan sastrawan masih sangat kurang di Indonesia saat ini, dan bahkan tengah mengalami defisit. Paradigma pembangunan Jokowinomics dan slogan Merdeka Belajar belum menyentuh ranah ini. Skema penghargaan sastra semacam Anugera Sasterawan Negara di Malaysia tidak ada di Indonesia yang memiliki banyak penulis dan sastrawan hebat. Hal yang serupa pernah ada di masa lalu, lenyap tergilas hiruk-pikuk teriakan politisi dan politik proyek yang juga menyapu sistem pendidikan dasar dan menengah kita.

 

Indonesia memang, kalau kita jujur, berada jauh di belakang Malaysia dalam hal penghargaan atas karya sastra. Kita memang masih sangat di depan dalam hal warisan budaya, baik benda cagar budaya maupun karya-karya seni dan sastra, yang diwariskan nenek moyang kita. Namun, kita terus mengalami kemunduran dalam hal kebijakan negara yang mendorong kerja-kerja sastra ini. Hanya karena kita memiliki banyak orang kreatif yang berdedikasi, maka kita tetap bisa berjaya dalam hal ini. Indonesia tidak hanya di belakang dibandingkan Malaysia, tetapi juga menyedihkan.

 

Banyak karya sastra yang bagus ditulis oleh sastrawan Indonesia di masa lalu dan berlanjut hingga sekarang, tetapi anak-anak sekolah tidak diajarkan untuk membacanya. Bacaan sastra wajib dibiarkan hilang dari sekolah-sekolah menengah, sementara buku-buku sastra yang tersisa dibiarkan rusak dimakan rayap tanpa penerbitan ulang berkala. Bahkan penerbitan negara, seperti Balai Pustaka, yang dulu menjadi pelopor penerbitan karya sastra Indonesia, tidak jelas nasib dan perannya. Buku-buku bacaan sekolah kini justru dijadikan proyek rente ekonomi, mengabaikan kualitasnya.

 

Indonesia banyak melahirkan sastrawan besar di masa lalu dan berlanjut hingga sekarang. Kendati demikian, negara belum memberikan penghargaan layak kepada mereka. Meniru apa yang Malaysia tiru dari kita tidak ada salahnya untuk dilakukan. Para sastrawan kita, saya kira, menulis tidak untuk menjadi kaya, tetapi ingin turut membangun kehalusan budi dan karakter bangsanya. Revolusi Mental untuk membangun manusia baru Indonesia barangkali tidak memerlukan banyak hiruk-pikuk seperti sekarang. Menghargai sastra dan sastrawan dengan bacaan sastra wajib di sekolah seharusnya menjadi pintu masuk untuk ini. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar