Sabtu, 29 Mei 2021

 

Membangun Industri Pertahanan Menuju Kemandirian

Sumardjono ; Laksamana TNI (Purn), Ketua Tim Pelaksana Komite Kebijakan Industri Pertahanan 2013-2020

KOMPAS, 27 Mei 2021

 

 

                                                           

Peristiwa tsunami di Aceh tahun 2004 yang didahului oleh tsunami di Papua dan disusul dengan tsunami di beberapa wilayah NKRI lainnya—Pangandaran, Nias, Padang, Sumbawa dan lain-lain—menyadarkan pemerintah betapa rapuh kesiapan pertahanan kita.

 

Hal ini terbukti, untuk menanggulangi bahaya akibat tsunami saja, alutsista TNI dan alat peralatan khusus dari Polri banyak yang tidak siap. Justru bantuan dari negara-negara tetangga dan negara sahabat yang jauh dari letak kejadian bisa hadir lebih dahulu. Padahal, bantuan penanggulangan bencana tsunami ini digolongkan dalam tugas-tugas Operasi Militer Selain Perang (OMSP) TNI.

 

Pemerintah menyadari lemahnya kesiapan alat utama sistem persenjataan (alutsista) dalam mendukung kesiapan sistem pertahanan negara. Untuk itulah pemerintah berkehendak untuk membangkitkan industri pertahanan agar dapat tumbuh berkembang dengan baik, bisa memproduksi, memelihara, dan memperbaiki alutsista secara mandiri sehingga semua kebutuhan alutsista bisa dipasok dari dalam negeri.

 

Selain itu, usia alutsista dan alat material khusus (almatsus) milik TNI dan Polri sudah perlu peremajaan dengan alutsista yang lebih modern, karena usia rata-rata tua, keluaran atau produk tahun 1970 hingga 1980-an dengan teknologi pada zamannya. Di sisi lain, perkembangan teknologi saat ini relatif lebih cepat, maju, terkini, sehingga alutsista pada produk-produk pada masa itu sudah banyak yang ditinggalkan karena sudah ketinggalan teknologinya apabila dihadapkan dengan ancaman yang berkembang saat ini.

 

Membangun postur yang kuat

 

Pada zaman Orde Baru, pertumbuhan industri strategis berkembang dan berjalan dengan baik, tetapi tidak ditopang dengan peraturan perundang-undangan yang kuat dan mengikat, hanya sebatas peraturan pemerintah ataupun peraturan presiden saja sehingga mudah diabaikan oleh pihak-pihak tertentu yang berkepentingan untuk melemahkan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

 

Untuk itulah, pemerintah bersama DPR membuat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan yang lahir pada 5 Oktober 2012 sebagai dasar untuk menyusun postur pertahanan negara yang kuat, efektif, efisien, modern, dan inovatif melalui pemberdayaan industri pertahanan dalam negeri.

 

Mekanisme belanja untuk pemenuhan kebutuhan alutsista TNI dan almatsus Polri diatur dengan melibatkan industri pertahanan untuk ikut dalam penguasaan teknologinya sehingga dapat menjamin kesiapan yang tinggi alutsista tersebut selama daur hidup yang ditentukan.

 

UU ini merupakan implementasi dari amanat yang terkandung dalam butir- butir UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang intinya, penyelenggaraan pertahanan negara dilakukan dengan menggunakan kekuatan sendiri.

 

Adapun UU Nomor 3 Tahun 2002 dan UU Nomor 34 Tahun 2004 itu sendiri merupakan implementasi dari kandungan yang tersirat dari amanat Pembukaan UUD 1945. Hal ini mengandung pengertian bahwa nuansa kemandirian merupakan kunci dari kekuatan sistem pertahanan yang ingin dibangun.

 

Pentingnya industri pertahanan

 

Sistem pertahanan negara terdiri atas lima komponen penting, yaitu doktrin pertahanan, strategi, postur, struktur, dan teknologi pertahanan. Peran teknologi ini dapat memengaruhi atau mengubah bentuk postur, struktur, dan strategi pertahanan. Adapun doktrin pertahanan bersifat tetap. Keberadaan teknologi ada pada industri pertahanan. Di sinilah pentingnya industri pertahanan dalam bangunan sistem pertahanan suatu negara.

 

Kemandirian dalam mengisi dan mengelola postur dan struktur pertahanan secara mandiri merupakan kunci dalam membangun sistem pertahanan yang mandiri yang mempunyai daya gentar (deterrence) tinggi.

 

Manakala postur pertahanan diisi dengan alutsista dari luar negeri, secanggih apa pun, ada keterbatasan dalam operasional ataupun dalam pemeliharaan dan perbaikannya, masih akan banyak ketergantungan pada negara produsen alutsista itu, sehingga kekuatan dari sistem pertahanan yang dibangun adalah semu dan daya gentar yang ditimbulkannya menjadi rendah.

 

UU Nomor 16 Tahun 2012 inilah yang mengatur bagaimana membangun industri pertahanan untuk menuju kemandirian dalam pemenuhan kebutuhan alutsista bagi TNI dan almatsus bagi Polri, termasuk lembaga yang diizinkan menggunakan alat/peralatan tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan.

 

Untuk alat peralatan/alutsista yang sudah bisa diproduksi oleh industri dalam negeri, wajib hukumnya kebutuhan-kebutuhan TNI/Polri dipenuhi dari dalam negeri. Apabila industri pertahanan belum mampu memenuhi kebutuhan tersebut, diizinkan untuk memenuhi dari luar negeri. Namun, harus dilakukan transfer teknologi, melalui kegiatan offset dalam bentuk joint development, joint production, ataupun penggunaan kandungan lokal dan imbal dagang, terutama dengan hasil produk industri pertahanan dalam negeri.

 

Setiap pengadaan alutsista dari luar negeri harus ada teknologi yang masuk ke industri pertahanan dalam negeri, dan atau lembaga terkait lain, sebesar 85 persen dari nilai kontrak secara keseluruhan. Offset inilah yang akan digunakan untuk membangun industri pertahanan dalam penguasaan teknologi hingga industri pertahanan bisa mandiri dalam pemenuhan kebutuhan TNI/Polri hingga keperluan untuk ekspor alutsista dan almatsus.

 

Kegiatan offset dalam setiap belanja alutsista sudah menjadi hal yang lazim dilakukan oleh negara-negara di dunia sehingga bisa mengubah diri dari negara yang berstatus pengimpor senjata menjadi negara pengekspor. Contohnya Turki, Brasil, Korea Selatan, dan India.

 

Indonesia termasuk terlambat dalam hal pemberdayaan offset untuk penguasaan teknologi karena belum didukung peraturan yang mengikat dalam bentuk UU, yang harus dipatuhi pihak mana pun. Akibatnya, kita mengalami kesulitan dalam mendapatkan teknologi.

 

Semua bergantung pada komitmen para pemimpin negeri dan perlu adanya konsistensi dalam penyelenggaraannya mengingat pembangunan alutsista (seperti kapal perang, pesawat tempur/terbang, dan tank) perlu waktu panjang, bisa melewati jangka waktu (masa) pemerintahan yang berkuasa.

 

Perlu ada perencanaan jangka panjang yang harus diikuti dan dilakukan industri pertahanan. Perlu sinergi antara pengguna alutsista (TNI, Polri), pemerintah sebagai penentu kebijakan dan industri pertahanan selaku pembuat produk.

 

Posisi Indonesia sebagai negara nonblok yang independen juga berpengaruh terhadap upaya perolehan untuk mendapatkan teknologi militer. Di sisi lain, Indonesia perlu membentuk badan yang bertanggung jawab atas keselamatan teknologi yang akan diberikan oleh negara pengusung teknologi.

 

Sudah saatnya Indonesia berbenah diri, memperbarui isi postur pertahanan dengan teknologi terkini, dan perlunya pelibatan industri pertahanan yang merupakan kunci dalam membangun sistem pertahanan negara. Masa damai seperti saat inilah merupakan saat yang tepat untuk membangun kekuatan militer lewat penguasaan teknologi, melalui pelibatan industri pertahanan dalam negeri, menuju kemandirian sistem pertahanan negara.

 

Hal ini seperti sering diungkap para ahli strategi, dengan ungkapan ”Si Vis Pacem Para Bellum”, kalau ingin damai, bersiaplah untuk perang. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar