Sabtu, 29 Mei 2021

 

Serpihan Asa KPK

Azyumardi Azra ;  Profesor UIN Jakarta; Advisor CIS Hamad bin Khalifa University, Qatar

KOMPAS, 27 Mei 2021

 

 

                                                           

Masih adakah tersisa asa publik pada Komisi Pemberantasan Korupsi Jilid V? Bisa juga pertanyaan berbunyi lain: masih perlukah menggantungkan serpihan asa kepada KPK Jilid V yang diketuai Firli Bahuri? Pertanyaan skeptis ini dan banyak pertanyaan lain beredar di masyarakat, khususnya  sejak pertengahan April 2021. Sejak itu, KPK kembali berada di pusaran kegaduhan yang semula internal, lalu melibatkan  aktivis dan lembaga antikorupsi, guru besar antikorupsi, serta Presiden Joko Widodo.

 

Kegaduhan itu terkait penerbitan Surat Keputusan KPK Nomor  652 tertanggal 7 Mei 2021. SK kontroversial ini ditandatangani Ketua KPK Firli Bahuri. SK  menyebutkan, 75 pegawai KPK (dari seluruh 1.351 pegawai KPK)  tak memenuhi syarat dialihkan menjadi aparatur sipil negara (ASN). Mereka dinyatakan gagal tes wawasan kebangsaan (TWK). Selanjutnya  mereka diminta menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan masing-masing.

 

SK  ini mengandung ambiguitas. SK  membebastugaskan 75 pegawai KPK.  Walau disebut tak memenuhi syarat, mereka tak secara eksplisit dipecat. Ambiguitas menjadi ”segitiga pengaman” bagi pimpinan KPK ketika di tengah kontroversi kemudian menyatakan mereka tak dipecat.

 

Presiden Jokowi menyatakan jelas dan tegas, pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN tak boleh merugikan  pegawai. TWK bukan satu-satunya ukuran untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang tak lulus. Namun, Presiden tak eksplisit melarang pemecatan. Apakah ini gimik? Wallahualam.

 

Presiden Jokowi hanya menambahkan, ”Jika para pegawai memiliki kekurangan wawasan kebangsaan, dapat dilakukan perbaikan. KPK harus memiliki SDM terbaik dan berkomitmen tinggi dalam upaya pemberantasan korupsi.” Penegasan Presiden yang juga ambigu tidak ditindaklanjuti pimpinan KPK.

 

Meski menyatakan akan mengikuti arahan Presiden, Ketua KPK tak mencabut SK penonaktifan 75 pegawai KPK. Hal ini bisa saja disebut insubordinasi Ketua KPK sebagai bagian eksekutif pada pimpinan eksekutif tertinggi, yaitu  Presiden.

 

KPK akhirnya  mengumumkan keputusan ambigu; agaknya sesuai isyarat Presiden Jokowi, baik eksplisit maupun implisit. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata seusai koordinasi pimpinan KPK dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta  Kepala Badan Kepegawaian Nasional mengumumkan 24 pegawai ”masih bisa dibina”. Sementara 51 lainnya memiliki ”rapor merah”, tak bisa lagi dibina; diberhentikan dari KPK menjelang 1 November.

 

Tak jelas parameter keputusan ini. Dalam pengumuman, disebutkan tiga aspek yang dinilai: aspek pribadi, aspek pengaruh (dari pihak lain), dan aspek PNUP (Pancasila, UUD 1945 dan seluruh turunan aturan perundangan, NKRI, serta pemerintah sah). Ukuran aspek ini bisa subyektif sesuai kepentingan pimpinan KPK.

 

Bagaimana sikap Presiden Jokowi terhadap keputusan ini? Apakah menganggapnya insubordinasi atau tidak? Keputusan pimpinan KPK jelas mencerminkan sikap tak peduli atas oposisi publik terhadap SK bebas tugas atas dasar tidak lulus TWK. Padahal, jelas keputusan itu  ketidakadilan terhadap para pegawai KPK yang sudah bekerja lama.  Sebagian  dari mereka adalah aktor penting yang mengibarkan kiprah KPK memberantas korupsi.

 

Dasar pembebasan tugas mereka disebut tak terpenuhinya syarat setelah mengikuti TWK. Padahal, TWK tidak dinyatakan, baik di  UU Nomor  19 Tahun 2019 tentang KPK ataupun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 sebagai syarat pengalihan status pegawai KPK.

 

Substansi yang diajukan di TWK juga tidak memiliki hubungan terlalu jelas dengan wawasan kebangsaan. Namun, malah mengandung berbagai prasangka dan pelecehan, baik terkait agama maupun seks dan jender.

 

Pembebastugasan 75 pegawai  mengabaikan pula putusan Mahkamah Konstitusi (MK).  MK menyatakan pengalihan pegawai KPK menjadi ASN tak boleh merugikan pegawai. Menurut MK, mekanisme pengalihan status kepegawaian guna memberi kepastian hukum sesuai kondisi faktual pegawai KPK.

 

”Sebab, pegawai KPK selama ini telah mengabdi di KPK dan dedikasi mereka dalam pemberantasan korupsi tidak diragukan”, demikian kutipan pertimbangan  putusan MK.

 

Sejak awal terbentuknya kepemimpinan KPK Jilid V, banyak kalangan  skeptis dengan KPK. Dengan UU No 19/2019 yang merupakan revisi UU KPK No 30/2002, KPK Jilid V mengandung ”cacat bawaan” sejak lahir. Dia adalah produk UU KPK No  19/2019 yang mengandung banyak substansi pelemahan KPK.

 

KPK Jilid IV yang terbentuk dan bergerak berdasarkan UU No 30/2002 mencatat rinci 26 poin UU KPK No  19/2019 yang mengandung potensi atau risiko melemahkan KPK. Poin-poin itu, misalnya, terkait kewenangan KPK, prosedur  penindakan yang lebih rumit, peralihan pegawai KPK menjadi ASN, serta Dewan Pengawas yang bisa masuk ke teknis penanganan perkara menyangkut penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.

 

Presiden Jokowi, banyak anggota DPR, dan elite politik secara defensif menyatakan perubahan UU KPK tidak untuk melemahkan KPK. Padahal, masyarakat sipil mengetahui ada upaya bersama oligarki eksekutif, legislatif, dan partai politik memandulkan—jika tak melumpuhkan—KPK sepenuhnya. Akibat pelemahan, KPK Jilid V yang dilantik Presiden Jokowi pada 20 Desember 2019 sampai hampir pertengahan 2021 dinilai banyak pengamat dan lembaga pemantau antikorupsi sebagai ”minim prestasi”. Survei dan penelitian pun melaporkan tingkat kepuasan publik atas kinerja KPK merosot.

 

Akibat pelemahan dan kinerja KPK yang jauh dari harapan, banyak kalangan memegang persepsi; ”ada KPK sama saja dengan tiadanya” (wujuduhu ka ’adamihi). Namun, ada pula yang memegang prinsip positif dengan memodifikasi kaidah Ushul Fiqh: ”Jika (KPK) tak memberi harapan, jangan (KPK) ditinggalkan sama sekali.”

 

Prinsip terakhir ini membuat masyarakat tetap memberi perhatian; mereka masih memiliki serpihan asa pada KPK. Untuk menghormati perhatian dan asa publik itu, semestinya Ketua KPK Firli Bahuri dan jajarannya tak membuat kegaduhan publik yang bisa berkepanjangan.

 

Sebaliknya, pimpinan KPK perlu lebih memusatkan segenap perhatian dan usaha pada konsolidasi KPK guna menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan dari serpihan KPK. Hanya dengan cara ini pimpinan KPK dapat sedikit banyak menyelamatkan asa tersisa kepada KPK untuk pemberantasan korupsi di Tanah Air. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar