Rabu, 19 Mei 2021

 

Melindungi Subyek Penelitian dalam Senyap

Rita S Sitorus ;  Guru Besar Fakultas Kedokteran UI, Ketua Komite Etik Penelitian Kesehatan FKUI-RSCM, Dewan Pengawas Forum of Indonesian Recoqnized Research Ethics Committee

KOMPAS, 18 Mei 2021

 

 

                                                           

Di era kini, adalah hal mustahil menyenggarakan layanan bidang kesehatan modern dengan mengabaikan evidence- based medicine, sebuah konsep yang berdasarkan pada tiga pilar, di antaranya bukti penelitian terbaik yang ada (best available research).

 

Penelitian kesehatan memiliki nilai tinggi dalam upaya menciptakan kemaslahatan masyarakat luas. Penelitian diharapkan bisa memberikan informasi penting tentang permasalahan seperti prevalensi, tren penyakit dan faktor risikonya, pengembangan pengobatan atau intervensi baru, serta pola dan biaya layanan kesehatan.

 

Dalam melakukan penelitian kesehatan, khususnya pada manusia, pemahaman dan implementasi prinsip etika merupakan hal yang sangat penting.

 

Perlindungan subyek

 

Sejarah kelam di masa lalu yang dilakukan para peneliti medis pada masa Perang Dunia (PD) II dan setelahnya menggoreskan tinta hitam dunia penelitian kesehatan, tetapi sekaligus jadi tonggak awal yang mendorong bangkitnya semangat mengedepankan prinsip etika dalam setiap penelitian kesehatan yang mengikutsertakan manusia sebagai subyek atau partisipan penelitian.

 

Kepatuhan pada prinsip-prinsip praktik klinis yang baik (GCP), termasuk perlindungan subyek manusia secara universal, diakui sebagai persyaratan penting untuk melakukan penelitian etis yang mengikutsertakan manusia.

 

Hak, keamanan, dan kesejahteraan subyek penelitian adalah pertimbangan paling penting dan harus lebih diutamakan daripada kepentingan ilmu pengetahuan itu sendiri. Hal ini tertuang dalam panduan yang kita kenal sebagai Cara Uji Klinis yang Baik (CUKB) atau Good Clinical Practice (GCP).

 

GCP adalah suatu pedoman internasional untuk memastikan bahwa uji klinis dirancang, dilakukan, dilaksanakan, dipantau, diaudit, dicatat, dianalisis, dan dilaporkan secara ilmiah dan etis. GCP bertujuan melindungi HAM, integritas, dan kerahasiaan subyek penelitian sebagai bagian dari penghargaan terhadap seseorang seutuhnya (respect for person) seperti tertuang dalam Belmont Report.

 

Secara historis, eksperimen bidang medis yang kontroversial dan tak etis dimulai berabad lamanya. Salah satunya pada masa PD II oleh seorang dokter Jerman di kamp perang Nazi terhadap pasukannya, yang kemudian melahirkan kesepakatan Nuremberg Code pada 1947. Sejarah juga mencatat tragedi penelitian obat Thalidomide yang mengakibatkan 10.000 bayi di lebih dari 20 negara cacat bawaan bentuk tungkai janin.

 

Dampaknya, tahun 1962 lahir amendemen Kefauver-Harris yang mengharuskan FDA menilai semua obat baru dalam hal keamanan dan efikasinya. Dunia tak dapat melupakan eksperimen Tuskegee Sifilis tahun 1932, suatu uji coba yang sangat tak etis pada penduduk Afro–Amerika di Alabama, AS. Eksperimen yang berlangsung 40 tahun ini dapat kecaman dari seluruh dunia karena melanggar otonomi individu sebagai makhluk yang harus dihargai.

 

Berbagai tragedi kelam itu memunculkan kesadaran publik bahwa ada kebutuhan untuk mengontrol dan mengatur uji klinis yang berhubungan dengan obat-obatan pada subyek manusia. Pelanggaran HAM memainkan peran besar dan menjadi alasan diadopsinya Deklarasi Helsinki dan Kode Nuernberg oleh World Medical Association sebagai tulang punggung prinsip etik yang merumuskan pedoman ICH-GCP yang dipakai sampai saat ini.

 

ICH-GCP adalah suatu standar GCP yang diharmonisasikan secara internasional, yang melindungi hak, keselamatan, dan kesejahteraan subyek manusia, meminimalkan keterpaparan subyek penelitian terhadap risiko yang tak diharapkan dari produk yang diteliti. Data uji klinis yang dihasilkan pun dapat dipercaya (valid).

 

Pedoman ICH-GCP mensyaratkan semua uji klinis dilakukan sesuai standar etika, mempunyai bukti ilmiah yang jelas, dengan potensi manfaat yang melebihi risiko yang akan ditimbulkannya. Semua data protokol penelitian harus terdokumentasi dengan baik, mudah diakses jika dibutuhkan pihak yang berwenang, dan perlu dijaga kerahasiaannya.

 

Semua prosedur yang akan dilakukan dalam uji klinis harus memperoleh persetujuan terlebih dulu dari subyek penelitian setelah subyek mendapatkan penjelasan yang cukup dari peneliti. Tak boleh ada unsur pemaksaan atau diskriminasi atas keikutsertaan mereka. Dalam hal pengembangan obat baru, pengawasan mutu diperlukan untuk keamanan dan kemanjurannya, sesuai Pedoman Good Manufacturing Practice (GMP).

 

Komite Etik

 

Komite Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) adalah suatu badan independen yang dibentuk dan punya tanggung jawab utama melindungi hak dan kesejahteraan subyek atau partisipan penelitian.

 

Badan ini terdiri atas sejumlah anggota, yang secara kolektif memiliki kualifikasi dan pengalaman untuk melakukan kajian dan evaluasi dari aspek ilmiah, aspek medis, dan etika suatu proposal penelitian. Umumnya terdiri dari anggota dengan latar belakang keilmuan (atau subspesialis medis) yang berbeda, perwakilan kelompok awam (lay person), dan perwakilan non-institusi. Di samping bertugas me-review proposal penelitian, KEPK juga mengawasi penelitian yang berlangsung.

 

Di AS, setiap uji klinis yang melibatkan suatu produk yang diatur Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) haruslah terlebih dahulu dikaji dan disetujui oleh KEPK. Tidak ada penelitian klinis yang diperbolehkan merekrut subyek penelitian sebelum mendapatkan persetujuan dari komite ini.

 

Ada tiga kewajiban KEPK. Pertama, dan terpenting, memastikan bahwa hak-hak subyek penelitian terlindungi. Caranya, dengan memastikan individu menerima informasi yang cukup, yang mudah dipahami, dan memastikan bahwa strategi yang tepat sudah tersedia untuk melindungi peserta dari potensi konsekuensi merugikan dari penelitian.

 

Kedua, sebagai penyedia sumber daya bagi keberlangsungan penelitian, dan pada akhirnya menghasilkan dampak manfaat atas hasil yang diuji. KPEK mensyaratkan sponsor dan bekerja sama dengan pemangku kepentingan terkait, untuk menyediakan akses pascauji coba (post trial access) atas obat/intervensi atau pengetahuan yang terbukti bermanfaat, melalui uji klinis yang dilakukan.

 

Ketiga, KEPK memiliki kewajiban kepada peneliti. Proposal penelitian harus diperlakukan dengan hormat dan penuh pertimbangan. Semua peneliti harus menyambut baik kontribusi yang dibuat KPEK terhadap proses penelitian yang berlangsung karena mereka membantu memastikan bahwa penelitian memenuhi standar etika dan ilmiah yang tinggi yang diharapkan oleh masyarakat dan dunia ilmu pengetahuan.

 

Uraian di atas memberi gambaran akan besarnya beban dan tanggung jawab KEPK. Komite ini tidak saja bertugas melakukan kaji etik dan memberikan persetujuan pelaksanaan penelitian, tetapi juga melakukan fungsi monitoring untuk memastikan seluruh rangkaian penelitian dilaksanakan sesuai dengan prinsip etik.

 

Dalam konteks uji klinis obat atau metode pengobatan baru, pemahaman atas pedoman GCP (atau CUKB) secara khusus sangat diperlukan. Di era pandemi tuntutan ini semakin nyata karena keputusan yang diambil akan menyangkut hajat dan keselamatan hidup orang banyak.

 

Pandemi dan keadaan darurat ditandai oleh berbagai tantangan yang saling memperkuat yang membuat populasi menjadi lebih rentan, termasuk dampak pada kesehatan dan kesejahteraan, privasi, mata pencarian, lingkungan fisik, dan ekonomi. Standar etik yang diberlakukan pada masa pandemi tidak mesti diturunkan, bahkan sebaliknya perlu diperkuat

 

Pada 2016, Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan (KNEPK) mendata sebanyak 64 KEPK di Indonesia yang tersebar dari Sumatera hingga Nusa Tenggara Timur.

 

Semenjak KNEPK bertransformasi menjadi Komisi Etik Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nasional (KEPPKN), semakin banyak institusi pendidikan ataupun penelitian di bidang kesehatan yang mendirikan KEPK. Hal ini sesuai program kerja KEPPKN untuk mendirikan KEPK di setiap institusi yang menyelenggarakan penelitian kesehatan.

 

Akan tetapi, KEPK yang baru bermunculan ini masih memiliki tingkat kualifikasi yang berbeda-beda.

 

Pendataan dan pemetaan komite etik yang ada di seluruh Indonesia, baik secara kuantitas maupun kualitas, perlu dilakukan karena sangat penting dalam membuat kebijakan secara nasional mengenai tugas dan wewenang komite etik itu.

 

Di Filipina, tak semua komite etik diberi wewenang oleh Philippines Health Research Ethics Board (PHREB)—badan yang dibentuk untuk melakukan akreditasi nasional terhadap KEPK—untuk melakukan kaji etik protokol uji klinis, melainkan disesuaikan dengan tingkat kualifikasi setiap komite etik lokal.

 

Pemahaman akan pedoman GCP/CUKB merupakan elemen kunci dalam melakukan penelitian klinis yang etis. Oleh karena itu, setiap komite etik perlu membangun kapasitasnya agar pada gilirannya tidak tergagap dalam menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik.

 

Pemahaman dan kepatuhan pada pedoman GCP memerlukan kerja sama yang baik dari semua unsur terlibat, termasuk peneliti, sponsor, KPEK, institusi, pemerintah, dan semua pemangku kepentingan yang ada. Kepentingan dan kesejahteraan masyarakat luas harus diletakkan pada tempat utama dan bukan kepentingan ataupun ego sektoral kelompok tertentu.

 

Kita semua menyambut gembira terbentuknya kembali kepengurusan KEPPKN yang baru belum lama ini.

 

Sebongkah harapan kita titipkan kepada badan ini untuk dapat melakukan fungsinya dengan baik dan lugas ke depan, menciptakan atmosfer penelitian di Indonesia yang teguh memegang prinsip dan kaidah etik. Integritas peneliti, institusi, bahkan negara Indonesia dalam hal ini dipertaruhkan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar