Sabtu, 29 Mei 2021

 

Aspek Desain Kapal Selam dan Tragedi KRI Nanggala-402

Muhammad Hary Mukti ;  Peneliti Desain Sistem Kapal Selam University College London; Lulusan Program Profesi 2N MIT dan Ocean Engineering Texas A&M, Amerika Serikat

KOMPAS, 27 Mei 2021

 

 

                                                           

Dengan pengalaman lebih dari 50 tahun dalam pengoperasian kapal selam tanpa kecelakaan yang berarti, musibah KRI Nanggala-402 merupakan peristiwa duka yang mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan, TNI, dan bangsa Indonesia.

 

Kapal selam militer adalah salah satu alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang sangat kompleks. Tak banyak negara di dunia yang mampu mendesain, membangun, dan menjual kapal selam secara mandiri.

 

Kapal selam didesain tidak hanya untuk dapat menyelam dan memiliki struktur yang dapat menahan ganasnya tekanan air laut, tetapi juga untuk memenuhi berbagai kemampuan tempur, membawa kru berhari-hari, dan untuk dioperasikan selama beberapa dekade.

 

Tidak seperti kapal pada umumnya, massa jenis kapal selam direkayasa sedemikian rupa agar besarnya sama dengan massa jenis air laut di mana kapal selam itu akan beroperasi. Sama seperti pesawat terbang, kapal selam juga didesain dengan sistem kontrol yang kompleks sehingga dapat bergerak di ruang tiga dimensi, tetapi di bawah permukaan laut.

 

Sedikit saja kesalahan pada aspek desain, teknis, dan atau pengoperasian kapal selam, dampaknya bisa berakibat fatal pada keselamatan kapal selam.

 

Kapal selam dirancang untuk dapat beroperasi pada kedalaman tertentu yang dibatasi dengan kedalaman runtuh struktur kapal selam atau collapse depth. Collapse depth bergantung pada desain struktur dan material yang digunakan pada struktur badan kapal selam.

 

Semakin tinggi collapse depth pada sebuah kapal selam militer, semakin tinggi pula harga atau biaya pengadaan dan pemeliharaannya. Oleh karena itu, collapse depth kapal selam militer hanya direkayasa pada rentang 200-700 meter.

 

Kapal selam yang baru sekalipun akan pecah menjadi beberapa bagian jika melampaui collapse depth-nya. Untuk menghindari pecahnya struktur kapal selam karena melampaui collapse depth, kapal selam modern sudah dirancang dengan dua mekanisme kedaruratan: dinamis dan statis.

 

Mekanisme dinamis dapat dilakukan dengan catatan sistem permesinan, hidrolik, dan kelistrikan masih dapat berfungsi dengan baik sehingga kemudi dan kecepatan kapal selam dapat diatur untuk memberikan gaya angkat menuju ke permukaan laut.

 

Sementara mekanisme statis dapat dilakukan dengan atau tanpa adanya listrik di kapal, yaitu dengan membuka katup pipa bertekanan tinggi secara manual untuk mengembuskan main ballast tank atau tangki pemberat pokok sehingga kapal selam mendapatkan gaya apung positif yang besar dan bergerak naik ke permukaan laut.

 

Oleh karena itu, konsep redundancy pada sistem kapal selam sangat krusial untuk memastikan mekanisme kedaruratan tersebut dapat dilakukan. Reliabilitas sistem kapal selam juga sangat penting, terutama katup-katup, pompa-pompa, dan pipa-pipa yang berada di dalam lambung tekan kapal yang dialiri langsung oleh air laut, tunduk pada tekanan air laut yang sangat besar.

 

Jika sistem ini tak dirawat dan diaudit dengan sangat ketat, potensi kebocoran pada lambung kapal bisa meningkat.

 

Skenario Nanggala-402

 

Sejak KRI Nanggala-402 dinyatakan hilang kontak (sublook), mekanisme kedaruratan diharapkan dapat dilakukan, sehingga meskipun kelistrikan pada kapal selam gagal atau blackout, kapal selam dapat kembali ke permukaan.

 

Namun, setelah Kepala Staf TNI Angkatan Laut (Kasal) Laksamana Yudo Margono pada konferensi pers 22 April menaikkan status kapal selam menjadi submiss dengan estimasi persediaan oksigen 72 jam, beberapa skenario dicermati. Salah satunya, menurut Laksamana Yudo, adalah skenario pembuangan bahan bakar dengan sengaja untuk membuat kapal selam melayang.

 

Skenario lain yang memungkinkan, KRI Nanggala-402 dapat bergerak menuju area continental shelf atau dasar laut yang tidak terlalu dalam (kurang dari 200 meter) sehingga tak melampaui collapse depth.

 

Jika salah satu skenario tersebut benar, masih ada kemungkinan kru KRI Nanggala-402 untuk dapat melakukan penyelamatan mandiri ataupun diselamatkan.

 

Prosedur escape atau penyelamatan mandiri dapat dilakukan dengan menggunakan baju pelampung khusus atau submarine escape immersion equipment (SEIE) MK11 yang dapat digunakan hingga kedalaman 180 meter berdasarkan klaim pembuatnya, Survitec.

 

SEIE tidak hanya memberikan gaya apung, tetapi juga melindungi penggunanya dari serangan hipotermia dengan membentuk kubah life raft ketika bergerak ke permukaan laut. Akan tetapi, untuk menggunakan SEIE diperlukan pintu palka khusus dengan sistem pengunci udara yang dikenal dengan escape trunk.

 

Setiap escape trunk dapat melepaskan dua sampai enam kru setiap peluncuran, bergantung pada desain dan ukuran escape trunk. Sementara jika penyelamatan mandiri tidak dapat dilakukan, submarine rescue chamber (SRC) atau deep-submergence rescue vehicle (DSRV) dapat digunakan dengan syarat KRI Nanggala-402 harus memiliki escape trunk atau palka dengan dudukan khusus yang memungkinkan SRC atau DSRV menempel secara aman pada kapal selam sehingga dapat menyelamatkan kru yang terperangkap di dalam badan tekan kapal selam.

 

Akan tetapi, kenyataannya di lapangan, KRI Nanggala-402 sudah melampaui collapse depth sehingga dapat dipastikan badan kapal selam tidak akan kuat untuk menahan tekanan air laut di luar dari yang sudah dirancangkan. Dengan temuan ini, status KRI Nanggala-402 diubah dari submiss menjadi subsunk pada 24 April.

 

Setelah ditetapkannya status subsunk pada KRI Nanggala-402, rencana untuk mengangkat badan kapal selam dari dasar laut, atau yang dikenal dengan istilah salvage, dipertimbangkan dan diupayakan oleh pihak terkait. Namun, investigasi teknis dan audit secara menyeluruh tetap dapat dilakukan terlepas dari dilakukannya proses salvage.

 

Investigasi tanpa proses salvage pernah dilakukan oleh Amerika Serikat pada kasus tenggelamnya USS Thresher 58 tahun lalu. Tim investigasi USS Thresher menemukan 166 fakta (findings of fact), 55 analisis, dan 19 rekomendasi, yang di antaranya adalah semua katup laut atau sea valve yang bertekanan tinggi harus dilengkapi dengan sistem kendali hidraulis.

 

Pada 1960-an, Angkatan Laut AS juga sudah menemukan potensi bahaya gelombang bawah laut atau internal wave pada kemampuan kontrol kedalaman kapal selam, terutama bagi kapal selam yang beroperasi pada kecepatan rendah. Hal ini menunjukkan perlunya mengatur kecepatan minimum pada pengoperasian kapal selam atau desain kapal selam yang dilengkapi dengan tangki khusus untuk dapat menghadapi fenomena internal wave.

 

Sesuai dengan fungsinya, kapal selam militer seharusnya sudah didesain untuk tetap dapat beroperasi dengan aman meskipun terdapat fenomena internal wave.

 

Temuan-temuan teknis seperti inilah yang diharapkan muncul dari investigasi KRI Nanggala-402 sehingga dapat terbentuk suatu standar ataupun sertifikasi yang dapat diimplementasikan pada fase desain, konstruksi, hingga operasi dan pemeliharaan kapal selam Indonesia di masa depan untuk mencegah musibah serupa terulang kembali. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar