Sabtu, 22 Mei 2021

 

Politik Kebangsaan dan Pemberantasan Korupsi

Airlangga Pribadi Kusman ;  Pengajar pada Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga

KOMPAS, 20 Mei 2021

 

 

                                                           

Pada 1932 sekembalinya dari Belanda, tanpa banyak membuang waktu Mohammad Hatta menulis sebuah pamflet pergerakan politik berjudul Menuju Indonesia Merdeka. Di situ beliau menguraikan untuk menuju Indonesia merdeka, kebangsaan harus ditempatkan dalam satu tarikan napas dan tidak boleh dipisah dengan demokrasi (kerakyatan) dan pemerintahan bersih.

 

Kebangsaan yang tidak dicerahkan oleh paham demokrasi, akan rentan dikorupsi menjadi alat bagi segelintir kaum ningrat dan penguasa untuk memenuhi kepentingannya. Sementara demokrasi membutuhkan kebangsaan agar prinsip-prinsip politik kerakyatan tumbuh bersemi secara kultural dalam kehidupan bernegara.

 

Torehan tebal pena Mohammad Hatta sembilan dekade lalu sepertinya lebih relevan sebagai peringatan bagi kita sekarang daripada saat beliau menuliskan pamflet politik tersebut. Manuskrip Menuju Indonesia Merdeka ditulis oleh Bung Hatta kepada kita semua sebagai pengingat bahwa segenap prinsip-prinsip kebangsaan seperti Pancasila, wawasan kebangsaan, dan Bhinneka Tunggal Ika itu semua hanya akan relevan sebagai perekat persaudaraan di tengah perbedaan dalam naungan otoritas politik apabila unsur-unsur demokrasi seperti anti-korupsi, kebebasan berpendapat dan hak kewargaan, partisipasi publik, serta transparansi kekuasaan dijunjung tinggi dalam kehidupan bernegara.

 

Kebangsaan dan demokrasi

 

Penegasan tentang bertautnya kebangsaan dan demokrasi sebagai landasan kehidupan kita bernegara ini sangat penting ketika kita berhadapan dengan kondisi pelemahan demokrasi ataupun surutnya komitmen atas pemerintahan yang bersih dan anti-korupsi. Beberapa tahun terakhir kita semua menyaksikan pelemahan demi pelemahan atas institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjadi ujung tombak dari komitmen kerja anti-korupsi.

 

Hal itu mulai dari pengesahan Undang-Undang KPK pada 2019 yang membonsai kapasitas KPK dalam kerja membersihkan praktik korupsi sampai yang terakhir kontroversi irasionalitas hasil tes wawasan kebangsaan dalam perubahan status menjadi ASN yang sarat diduga sebagai ajang penjegalan para aparat KPK (Kompas, 7 Mei 2021). Pada yang terakhir ini, kita menyaksikan hal yang melampaui kekhawatiran Bung Hatta. Tidak saja kebangsaan dipisahkan dari demokrasi dan kerakyatan, lebih dari itu, istilah kebangsaan berpotensi digunakan sebagai alat penghancur agenda pemberantasan korupsi.

 

Apa yang kita saksikan selama setidaknya beberapa tahun terakhir ini, betapa jargon kebangsaan ditinggikan sementara tata negara demokrasi digerogoti perlahan-lahan. Kebangsaan yang hadir dengan rapuhnya sendi-sendi hak-hak kewargaan, rasa keadilan dan surutnya harapan warga atas pemerintahan yang kredibel. Formasi negara-bangsa yang hadir dalam kondisi seperti ini bukanlah sebuah tata kelola negara yang kuat, tetapi justru tata kelola negara lemah yang berpotensi akan kehilangan legitimasinya karena sangat timpang berjarak dari sumber kedaulatannya yaitu rakyat.

 

Corak kebangsaan kita sejak awal tumbuh melalui hadirnya ruh politik kewargaan dan cita-cita demokrasi. Nasionalisme Indonesia seperti yang diuraikan oleh sejarawan Vijay Prashad (2008) dalam The Darker Nations: A People’s History of the Third World menyatu dalam arus gelombang besar berbagai proyeksi nasionalisme dunia ketiga. Suatu corak nasionalisme yang lahir dari rahim perlawanan rakyat terhadap kolonialisme untuk melampaui kesengsaraan rakyat pada masa kolonial.

 

Karena itu, upaya merawat semangat nasionalisme berdimensi politik kewargaan tersebut hanya akan langgeng ketika berjejak dalam pengutamaan terkelolanya harapan warga atas pemerintahan yang bersih dan demokratik. Praktik bernegara yang kredibel dan segenap warga menyaksikan bahwa para pengelola negaranya melibatkan mereka untuk bersama membersihkan negara dari anasir-anasir korup dan berusaha memuliakan kehidupan sosial warganya.

 

Kebangsaan dan oligarki

 

Kebangsaan Indonesia adalah bentuk kebangsaan yang lahir dari kehendak bersama untuk keluar dari ketertindasan dari pengisapan daya hidup dan kemakmuran negerinya oleh para segelintir elite dalam tatanan kolonialisme. Sementara itu, pada era Indonesia pasca-otoritarianisme praktik pengisapan kehidupan warga, tersumbatnya distribusi kemakmuran ke seluruh warga demi terciptanya keadilan sosial bekerja melalui praktik operasi korupsi terhadap sumber daya negara yang dilakukan oleh segelintir aliansi bisnis-birokrasi dan politik yang kita kenal dengan nama struktur oligarki.

 

Bung Hatta dalam pamfletnya Menuju Indonesia Merdeka sudah memberikan rambu-rambu yang tegas. Ketika kebangsaan dipisahkan dari prinsip demokrasinya, secara liar kebangsaan rentan terkorupsi menjadi alat bagi segelintir elite dominan untuk memenuhi keserakahannya dengan menjadikan rakyat sebagai perkakasnya belaka. Sebuah corak kebangsaan yang dia sebut sebagai kebangsaan dengan cap ningrat.

 

Sementara kebangsaan yang berasas kedaulatan rakyat menegaskan bahwa segala bentuk hukum dan kebijakan yang digulirkan negara harus bersandar pada perasaan keadilan dan kebenaran yang hidup dalam hati rakyat banyak. Apabila diterjemahkan dalam konteks kekinian bermakna komitmen terhadap demokrasi dan pemerintahan yang bersih, serta pemajuan agenda anti-korupsi dan komitmen terhadap hukum yang adil.

 

Ketimpangan dan korupsi

 

Perawatan semangat kebangsaan pada intinya adalah merawat harapan kolektif. Terutama semenjak Indonesia pasca-otoritarianisme harapan bersama bagi terpenuhinya keadilan melalui pelaksanaan agenda-agenda reformasi perlahan-perlahan menguap.

 

Terkikisnya harapan tersebut berjalan seiring dengan semakin lebarnya angka ketimpangan sosial, di mana saat ini 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 50 persen dari kue kemakmuran nasional. Seperti dalam laporan OXFAM tahun 2017 bahwa sumber ketimpangan sosial di Indonesia terjadi akibat bekerjanya eksperimentasi fundamentalisme pasar dengan masih bercokolnya praktik korupsi dan perburuan rente demi kepentingan segelintir oligarki.

 

Pada akhirnya apabila pemimpin negeri ini hendak mengerek tinggi-tinggi bendera kebangsaan dalam kehidupan republik, buhul tali kuat yang mengikat bendera itu harus bersendikan pada prinsip-prinsip negara demokrasi yang di dalamnya agenda anti-korupsi menjadi pengikat yang kokoh di dalamnya. Apabila tidak demikian, bendera Merah-Putih tidak akan berkibar indah di angkasa karena tidak ditopang oleh rasa keadilan dan harapan bersama yang tumbuh dalam suasana kebatinan warga Indonesia yang sekian lama merindukan hidup di sebuah republik yang bersih. Sebuah republik di mana segenap kemakmuran negeri didistribusikan dengan adil dan tidak ada segelintir elite yang menguasai kekayaan negara di tengah kesengsaraan mayoritas warga Indonesia. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar