Minggu, 30 Mei 2021

 

Bipang, Jokowi, dan Lebaran

Heddy Shri Ahimsa-Putra ; Dosen Antropologi Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

KOMPAS, 30 Mei 2021

 

 

                                                           

Pada tahun 1954, Clifford Geertz, seorang antropolog Amerika Serikat, melakukan penelitian di Mojokuto (Pare), sebuah kota kecil di Jawa Timur. Geertz sempat menyaksikan perayaan Idul Fitri di kota itu, yang lebih dikenal dengan istilah Riyaya.

 

Dalam bukunya, Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Pustaka Jaya, 1981), Geertz menulis bahwa dalam Riyaya tersebut, ”abangan, santri, priayi, nasionalis yang bersemangat maupun nasionalis yang sudah menipis, petani, pedagang, dan kelerek (klerek/pegawai rendahan), orang kota dan orang desa, semua bisa menemukan jenis lambang yang cocok buat mereka dalam pesta rakyat yang paling sinkretik ini. Sinkretisme ini, toleransi yang lancar dalam keanekaragaman agama dan ideologi ini, …merupakan karakter kebudayaan Jawa yang fundamental....” (hal 506).

 

Geertz menambahkan bahwa ”upacara ini barangkali merupakan yang paling umum dilakukan di Mojokuto sekarang ini. Bahkan, banyak orang Kristen melakukannya sekalipun sebenarnya itu adalah hari raya Islam” (hal 507). Pada lingkungan yang lebih kekotaan, perayaan Riyaya sering diganti dengan ”pola kunjungan perorangan dengan semacam pesta sekuler—seorang priayi tinggi mengadakan pesta di mana dihidangkan juga minuman bir—yang disebut halal bi halal yang sekaligus menyederhanakan aspek upacara keagamaannya sampai ke tingkat tak kelihatan, dan sangat menekankan pada aspek pestanya” (hal 508).

 

Akhirnya, Geertz mengakhiri etnografi budaya Jawa-nya dengan simpulan yang sangat menarik mengenai Riyaya. Kata dia, ”Riyaya itu—karena merupakan perayaan yang paling umum, paling meriah dan paling kolektif—lebih jelas lagi menampakkan, sekalipun kurang terang-terangan, kesatuan dasar orang Jawa, dan di balik itu, kesatuan orang Indonesia pada umumnya….

 

Dengan cara yang luas panjang dan sangat umum ia menekankan kesamaan di antara semua orang Indonesia, menekankan toleransi dalam menghadapi perbedaan-perbedaan mereka, menekankan pada kesatuan, menekankan kesatuan mereka sebagai bangsa. Sebenarnya Riyaya adalah yang paling nasionalis di antara semua ritual mereka, dan begitu saja ia menandakan realitas dan kemungkinan tercapainya apa yang sekarang menjadi cita-cita semua orang Indonesia—kesatuan budaya dan kemajuan sosial yang teurs bersinambung” (hal 509).

 

Dari simpulan Geertz, ada setidaknya tiga ciri perayaan Idul Fitri di Mojokuto, yang juga dapat kita temukan di sejumlah kota dan wilayah di Indonesia dewasa ini. Pertama, bahwa perayaan tersebut bersifat sinkretis. Artinya, di situ ada berbagai unsur budaya lokal yang turut mewarnainya.

 

Kedua, bahwa perayaan tersebut tidak hanya milik umat Islam. Seperti halnya di Mojokuto, perayaan Idul Fitri di banyak tempat di Indonesia boleh dikata sudah menjadi perayaan semua orang Indonesia, terlepas dari suku, agama, dan kelas sosial mereka.

 

Ketiga, perayaan Idul Fitri tidak selalu menonjol nuansa keagamaannya karena sifatnya yang sudah menasional. Hal ini sangat terasa terutama di kota, di kampung-kampung di mana penduduknya sangat heterogen.

 

Apa hubungan etnografi Geertz tentang perayaan Idul Fitri di Mojokuto dengan kontroversi pernyataan Presiden Jokowi mengenai bipang ambawang?

 

Bipang merupakan akronim dari ”babi panggang”. Menurut Tribunnews.com, ”Bipang ambawang” adalah makanan khas saudara-saudara kita orang Dayak di Kalimantan Barat. Bahan dasarnya adalah babi muda berusia 3-5 bulan. Cara memasaknya dilakukan dengan memanggang babi tersebut di atas tungku arang. Penyajiannya diiringi dengan sambal antuha dan kit iu.

 

Antuha dalam bahasa Dayak setempat berarti ’tante tertua’. Entah mengapa disebut demikian. Kit iu adalah saus cocolan yang dibuat dari cabai, jeruk, dan gula pasir. Tentu saja pola penyajian ini dapat dibuat bervariasi sesuai dengan permintaan pembeli. Misalnya, saus cocolan bisa saja tidak hanya kit iu, tetapi juga saus yang lain. Begitu pula sayuran pelengkapnya.

 

Bipang ambawang juga merupakan nama restoran yang menyajikan makanan khas tersebut, yang berlokasi di Jalan Trans Kalimantan Km 23, Kalimantan Barat. Sebagai sebuah merek dagang, nama bipang ambawang telah didaftarkan oleh Juniarto pada 26 Agustus 2020.

 

Nama bipang ambawang menjadi viral karena disebut-sebut dalam pidato Presiden Jokowi tentang mudik, yang kemudian menuai perdebatan di sejumlah kalangan. Salah satu pendapat yang paling mencolok adalah yang intinya menyesalkan, jika tidak menyalahkan, Presiden Jokowi karena menyebut nama makanan khas tersebut sebagai salah satu makanan yang dapat dipesan secara daring untuk mereka yang ingin mudik guna merayakan Lebaran, tetapi tidak dapat melakukannya karena menaati anjuran pemerintah.

 

Dalam pidatonya—sebagaimana ditayangkan dalam video yang diunggah di Yotutube Kementerian Perdagangan—Presiden Jokowi, antara lain, mengatakan, ”Untuk bapak, ibu, dan saudara-saudara yang rindu khas kuliner daerah atau yang biasanya mudik membawa oleh-oleh, tidak perlu ragu untuk memesannya secara online.”

 

”Yang rindu makan gudeg jogja, bandeng semarang, siomay bandung, empek-empek palembang, bipang ambawang di Kalimantan, dan lain-lainnya tinggal pesan, dan makanan kesukaan akan diantar sampai ke rumah.”

 

Mereka yang tidak tahu mengenai bipang ambawang, tentu tidak akan merasakan adanya kejanggalan, apalagi kesalahan, dalam pidato tersebut. Sementara mereka yang tahu bereaksi menyesalkan atau menyalahkan Presiden.

 

Penyebutan nama kuliner ini mungkin tidak akan menimbulkan kegaduhan sosial jika dilakukan dalam konteks yang lain. Kebetulan Presiden Jokowi menyebut nama kuliner ini—yang bahan dasarnya diharamkan oleh agama Islam—dalam konteks perayaan hari besar Islam, yaitu Idul Fitri. Hal ini dipandang oleh sebagian orang sebagai ketidakpantasan, jika bukan sebuah kesalahan. Penjelasan tentang konteks pidato Presiden dan permohonan maaf telah disampaikan oleh Menteri Perdagangan.

 

Simbol budaya

 

Memahami simbol-simbol budaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia—yang begitu beragam budaya, kepercayaan, agama, dan pola kehidupan sosialnya—sebenarnya tidak dapat dilakukan hanya dengan menggunakan sudut pandang suatu budaya atau agama tertentu saja. Cara pandang seperti ini tidak sesuai dengan kerangka berpikir kebinekaan yang menjadi semboyan kebangsaan kita. Demikian pula halnya dalam memaknai perayaan Idul Fitri dan ritus sampingannya, mudik.

 

Pidato Presiden Jokowi akan dapat disikapi dengan lebih arif dan santai jika kita melihat perayaan Idul Fitri sebagai ”Lebaran”, yaitu sebuah ritus sosial nasional yang tidak hanya milik umat Islam. Kalau pada 1950-an saja masyarakat kota Mojokuto, yang hubungan sosial di antara tiga golongannya (abangan, santri, priayi) tidak sangat harmonis, dapat melakukan perayaan Riyaya, perayaan Idul Fitri, dengan penuh kebersamaan, di masa kini umat Islam Indonesia semestinya lebih mampu lagi melakukannya dengan penuh inklusivitas, tanpa harus melanggar norma-norma agama.

 

Umat Islam Indonesia patut merasa bangga bahwa paradigma Idul Fitri-nya, yaitu saling memaafkan, telah menjadi paradigma nasional. Umat Islam Indonesia semestinya bangga bahwa perayaan hari besarnya telah menjadi sebuah peristiwa nasional, yang melampaui sekat-sekat keagamaan, kesukuan, kedaerahan, ras, dan golongan sosial.

 

Presiden Jokowi menyebut bipang ambawang sebagai salah satu makanan khas Indonesia yang dapat dipesan secara online (daring) adalah dalam rangka untuk merayakan Lebaran. Beliau tidak menyebut perayaan Idul Fitri.

 

Merayakan ”Lebaran” tidak harus dimaknai sebagai hanya merayakan Idul Fitri. Lebaran dalam konteks masyarakat Indonesia adalah sebuah ritus nasional—yang di tingkat lokal dapat diberi nama lain, seperti Riyaya di Mojokuto—yang melibatkan hampir seluruh lapisan dan golongan masyarakat.

 

Merayakan Lebaran bukan hanya hak pemeluk agama tertentu. Lebaran dalam masyarakat Indonesia adalah berkumpul bersama keluarga, saling memaafkan, saling berkunjung, makan-makan enak bersama, berpakaian bagus, dan piknik atau jalan-jalan di mal. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar