Selasa, 18 Mei 2021

 

Potensi Ekonomi Wakaf Belum Tergarap Optimal

Muchamad Zaid Wahyudi ;  Wartawan Kompas

KOMPAS, 16 Mei 2021

 

 

                                                           

Dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi ekonomi syariah yang sangat besar, salah satunya berupa wakaf. Namun, potensi yang bisa digunakan untuk mendorong percepatan kesejahteraan umat itu belum tergarap optimal. Rendahnya literasi umat terhadap wakaf dalam sistem ekonomi modern menjadi tantangan besar yang harus segera dituntaskan.

 

Dari 270 juta penduduk Indonesia, 230 juta jiwa di antaranya merupakan umat Islam. Besarnya jumlah umat Islam itu membuat potensi aset wakaf di Indonesia mencapai Rp 2.000 triliun per tahun dan potensi wakaf uang Rp 188 triliun setiap tahun. Jika potensi aset wakaf dan wakaf uang itu mampu dikumpulkan semua, Indonesia akan memiliki modal sangat besar untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan umat dan bangsa.

 

Besarnya potensi itu pula yang membuat Presiden Joko Widodo pada akhir Januari 2021 meluncurkan Gerakan Nasional Wakaf Uang. ”Kita perlu memperluas lagi cakupan pemanfaatan wakaf, tidak lagi terbatas untuk tujuan ibadah, tetapi dikembangkan untuk tujuan sosial ekonomi yang berdampak signifikan bagi pengurangan kemiskinan dan ketimpangan sosial dalam masyarakat,” katanya (Kompas, 26 Januari 2021).

 

Namun, besarnya potensi ekonomi wakaf uang itu baru sebagian kecil yang sudah tergarap. Rendahnya literasi masyarakat terhadap sistem ekonomi syariah jadi salah satu pemicu.

 

Andi Palupi dari Perwakilan Bank Indonesia (BI) Yogyakarta dalam ”Philanthropy Learning Forum tentang Wakaf Uang sebagai Sumber Pendanaan Program dan Dana Abadi Organisasi Nirlaba/Filantropi di Indonesia” yang dilaksanakan secara daring, Jumat (30/4/2021), mengatakan, Indeks Literasi Ekonomi Syariah Indonesia 2019 baru mencapai 16,3 persen.

 

Selama ini, kedermawanan masyarakat itu umumnya dilakukan secara sporadis, belum terstruktur, tidak terdokumentasi dengan baik, atau menggunakan cara-cara konvensional seperti yang dilaksanakan selama ini. Sistem modern untuk berwakaf, apalagi wakaf dengan uang melalui lembaga keuangan syariah, belum dikenal luas masyarakat.

 

”BI, Kementerian Agama, Badan Wakaf Indonesia (BWI), dan Yayasan Edukasi Wakaf Indonesia (YEWI) perlu berkolaborasi untuk mengedukasi masyarakat,” kata Palupi.

 

Wakaf uang

 

Di antara sejumlah mekanisme dalam Islam tentang pemberian harta pribadi untuk orang lain, wakaf yang paling kurang dikenal dibandingkan zakat, infak, atau sedekah. Keempat mekanisme itu sebenarnya memiliki inti yang sama, yaitu memberikan sebagian harta milik untuk kepentingan agama. Namun, setiap mekanisme itu memiliki aturan dan keperluan yang berbeda.

 

Mengutip akun media sosial Kementerian Agama, wakaf adalah menyerahkan hak milik yang umumnya berupa aset yang tahan lama untuk keperluan yang bersifat produktif dan bisa digunakan untuk kepentingan umat. Bentuk wakaf yang paling umum dilakukan di masyarakat selama ini adalah wakaf tanah atau bangunan untuk digunakan sebagai masjid, pesantren, atau makam. Namun, wakaf uang belum dikenal luas masyarakat, apalagi wakaf untuk kegiatan sosial kemanusiaan.

 

Sementara zakat adalah pemberian yang bersifat wajib yang jumlah dan waktu pemberiannya sudah ditentukan dalam hukum agama. Zakat tidak bisa diberikan ”seikhlasnya” karena makin besar aset, maka makin besar pula zakat yang harus ditanggung. Contoh zakat itu, antara lain, berupa zakat fitrah yang diberikan pada malam Idul Fitri, zakat maal atau harta benda yang besarnya berbeda-beda tergantung jenis dan jumlah hartanya, atau zakat profesi.

 

Sementara infak, bersifat lebih fleksibel, tidak wajib, tetapi sangat dianjurkan agama. Infak dilakukan dengan membelanjakan atau menyumbangkan sebagian harta untuk siapa saja, bisa untuk masjid, yayasan, atau tetangga dan orang-orang di sekitar kita yang membutuhkan.

 

Adapun sedekah adalah segala bentuk kebaikan yang diberikan kepada orang lain, bisa berupa harta, tenaga atau hal-hal baik lainnya, seperti tersenyum.

 

Untuk wakaf, selama ini masyarakat umumnya mengenal wakaf dalam bentuk benda tak bergerak, terutama tanah atau bangunan. Anggapan harta yang diwakafkan adalah sesuatu yang besar nilainya membuat wakaf jarang dipraktikkan. Padahal, pahala wakaf akan terus mengalir selama harta yang diwakafkan masih digunakan.

 

Wakaf uang juga belum dikenal luas masyarakat. Apalagi dalam nominal yang cukup kecil atau dengan sistem kolektif atau patungan. Dengan sistem keuangan modern saat ini, wakaf uang menjadi proses yang simpel dan bisa dilakukan siapa saja dan kapan saja. Selain uang, benda bergerak lain yang bisa diwakafkan, antara lain, logam mulia, kendaraan, hak sewa, surat berharga, hingga hak kekayaan intelektual.

 

Majelis Ulama Indonesia pada 2002 telah mengeluarkan fatwa bahwa hukum wakaf uang adalah jawaz atau boleh. Namun, wakaf uang ini hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang sesuai hukum agama (syar’i).

 

Selain itu, nilai pokok uang yang diwakafkan harus dijamin kelestariannya serta tidak boleh dijual, dihibahkan, atau diwariskan. Dana bagi hasil dari pengelolaan wakaf uang itulah yang digunakan untuk berbagai kegiatan atau kepentingan umat, mulai dari kegiatan keagamaan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, atau sosial.

 

Untuk mendukung wakaf uang itu, pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf maupun Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Dengan adanya dasar hukum tersebut dan fatwa MUI,  wakaf uang sah secara hukum agama dan hukum negara.

 

”Sekali berwakaf dengan uang, maka dua rekening terisi sekaligus, yaitu menambah dana abadi akhirat untuk memperbanyak pahala demi mempermudah mencapai surga dan dana abadi sosial untuk meningatkan kesejahteraan umat,” kata Direktur Pelaksana Biro Konsultan dan Perencanaan Wakaf Indonesia YEWI Roy Renwarin.

 

Wakaf adalah tindakan hukum. Saat seseorang menyerahkan wakafnya kepada orang lain atau lembaga tertentu, ada proses yang harus dijaga untuk memastikan harta yang diwakafkan dikelola dan dijaga sesuai permintaan sang pemberi wakaf. Bahkan, kepastian hukum itu tetap harus dijaga meski orang yang memberi wakaf sudah meninggal karena harta yang diwakafkan tidak bisa diperjualbelikan, dialihfungsikan, atau diwariskan.

 

Seluruh proses wakaf di Indonesia dibina dan dijamin oleh BWI, lembaga independen yang diamanatkan UU untuk mengurusi perwakafan. Selain menjamin kelancaran dan kemudahan berwakaf, BWI juga harus memastikan lembaga pengelola wakaf tetap profesional, transparan, dan menjaga amanat yang dipercayakan kepada mereka.

 

Proses wakaf uang

 

Untuk bisa berwakaf dengan uang, masyarakat hanya perlu pergi ke bank syariah yang telah ditunjuk BWI sebagai lembaga keuangan syariah penerima wakaf uang (LKS PWU). Menurut Manajer Cabang Bank Tabungan Negara (BTN) Syariah Yogyakarta Slamet Wahyudi, dalam penerimaan wakaf uang tersebut, bank syariah bertindak sebagai wakil nazir atau pengelola wakaf uang.

 

Saat ini, ada 23 bank syariah yang sudah ditetapkan sebagai LKS PWU. Namun dengan bergabungnya tiga bank syariah yang dikelola badan usaha milik negara, kini total ada 21 LKS PWU yang siap menerima wakaf uang dari masyarakat.

 

Besaran dana yang diwakafkan pun tidak harus besar. Dengan uang minimal Rp 1 juta, masyarakat sudah bisa berwakaf uang. Bahkan, masyarakat yang tidak memiliki uang sebesar itu tetap bisa berwakaf melalui sistem patungan atau kolektif hingga minimal mencapai Rp 1 juta. Dengan demikian, dengan uang Rp 50.000 pun seseorang tetap bisa berwakaf bersama orang lain.

 

Saat di bank syariah yang termasuk dalam LKS PWU, wakif atau orang yang berwakaf akan diminta untuk mengisi dan menandatangani Akta Ikrar Wakaf (AIW). Saat pengisian AIW itu, wakif akan diminta untuk memilih nazir atau pengelola wakaf yang sudah terdaftar di BWI. Hanya nazir yang sudah terdaftar di BWI-lah yang bisa menerima dan mengelola wakaf uang dari masyarakat.

 

”Nazir yang tidak terdaftar di BWI namun mengelola wakaf uang masyarakat dapat dikenai sanksi pidana, mulai dari pidana penipuan, penggelapan, hingga pencucian uang,” tambah Roy.

 

Selain menunjuk nazir, wakif juga harus memilih penerima manfaat wakaf atau disebut mauquf’alaih. Penunjukan mauquf’alaih ini membuat wakif bisa menentukan uang wakafnya akan digunakan untuk kegiatan apa saja yang dikelola oleh nazir. Penerima manfaat wakaf itu bisa berupa kegiatan pengembangan pendidikan, pemberdayaan ekonomi umat, kesehatan, sosial, peribadatan, syiar agama, hingga program kemaslahatan umat lainnya.

 

Slamet menambahan, wakif juga bisa memilih apakah uang yang diwakafkan itu untuk selamanya atau berjangka. Wakaf uang selamanya berarti dana yang diserahkan tidak akan diserahkan kembali kepada wakif. Sementara wakaf uang berjangka berarti saat jangka waktu wakafnya selesai,  wakif akan menerima kembali uang yang diwakafkannya secara utuh. Pengembalian wakaf uang itu tidak akan menerima bagi hasil seperti dalam tabungan atau deposito syariah karena dana bagi hasil itulah yang akan dikelola nazir untuk diserahkan kepada mauquf’alaih.

 

Setelah semua proses pengisian AIW selesai, AIW akan diserahkan oleh LKS PWU ke wakif beserta sertifikat wakaf uang (SWU). SWU dan AIW itulah yang menjadi bukti bahwa seseorang telah menyerahkan uangnya melalui LKS PWU untuk diserahkan dan dikelola nazir guna menjalankan kegiatan atau program untuk mauquf’alaih yang telah ditetapkan sebelumnya.

 

”SWU dan AIW harus dikeluarkan oleh LKS PWU. Jika tidak, ada ancaman pidana atas dokumen perwakafan berupa pidana penipuan atau pemalsuan dokumen,” ujar Roy.

 

Dengan wakaf uang melalui perbankan syariah itu membuat proses wakaf bisa dilakukan dengan sangat mudah, bisa dilakukan kapan saja dan oleh siapa saja. Bahkan, tambah Roy, kini juga tersedia aplikasi untuk bisa berwakaf secara daring melalui Pasifamal.id.

 

Namun, berbagai kemudahan itu tetap tidak akan menghasilkan terkumpulnya dana wakaf uang yang sangat besar sepanjang literasi masyarakat tentang wakaf dan ekonomi syariah tidak terdongkrak. Karena itu, sosialisasi dan kampanye Gerakan Nasional Wakaf Uang itu perlu terus dilakukan lebih masif hingga umat Islam sadar akan pentingnya wakaf bagi kualitas keimanan pribadi maupun bagi kemaslahatan seluruh umat Islam. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar