Sabtu, 29 Mei 2021

 

Masalahnya Sampah, Bukan Listrik

Agunan Paulus Samosir ; Peneliti Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan

KOMPAS, 27 Mei 2021

 

 

                                                           

Peresmian pengolah sampah menjadi energi listrik atau PSEL di Tempah Pembuangan Akhir Benowo di Surabaya, Jawa Timur, pada 6 Mei 2021 oleh Presiden Joko Widodo menjadi tonggak baru pengelolaan sampah di Indonesia. Sejak Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang percepatan PSEL ramah lingkungan diterbitkan, baru Kota Surabaya yang berhasil membangun PSEL dibandingkan 11 kota lain yang juga mendapat dukungan pemerintah untuk pengelolaan sampah.

 

Perpres No 35/2018 memberikan dukungan kepada daerah dalam dua hal. Pertama, bantuan biaya layanan pengolahan sampah (BLPS) maksimal sebesar Rp 500.000 per ton sampah yang diproses melalui teknologi tertentu. BLPS ini dikenal dengan tipping fee (biaya yang perlu dibayarkan untuk pengembangan energi berbasiskan sampah) di dunia internasional.

 

Kedua, penetapan tarif listrik yang lebih tinggi, yaitu 13,35 sen dollar AS per kWh dibandingkan harga yang biasanya dibeli PT PLN sebesar 6,91 sen dollar AS per kWh. Selisih harga listrik tersebut ditanggung pemerintah dalam bentuk kompensasi atau subsidi listrik. Diharapkan kedua dukungan tersebut dapat membantu pemda menyelesaikan masalah sampah di daerahnya.

 

Dukungan pemerintah pusat untuk pengelolaan sampah ini sempat terhenti karena ada rekomendasi KPK akhir Maret 2020 kepada Presiden bahwa BLPS yang dibebankan ke pemda memberatkan APBD dan diperkirakan mencapai 23 persen dari pendapatan asli daerah. Selain itu, pembelian listrik yang harganya tinggi akan memberatkan keuangan PT PLN.

 

KPK merekomendasikan hasil olahan sampah dijadikan briket atau pelet dicampur dengan batubara terhadap pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Rekomendasi lain adalah merevisi Perpres No 35/2018 dengan memasukkan briket atau pelet sebagai rencana aksi percepatan implementasi di lapangan.

 

Masukan dan rekomendasi inilah yang membuat beberapa pemda yang masuk dalam daerah percepatan pembangunan PSEL menjadi ragu untuk melaksanakan Perpres No 35/2018. Padahal, timbulan sampah yang terbuang ke TPA lebih dari 1.000 ton per hari. Belum ada cara lain seperti briket dan pelet terbukti bisa mengurangi sampah minimal 85 persen dari sumbernya.

 

Teknologi yang lazim digunakan di dunia internasional untuk mengolah sampahnya adalah termal. Singapura yang sampahnya mirip dengan Indonesia telah menggunakan teknologi ini untuk mengurangi sampah. Hasil olahan sampah adalah listrik dan sisa hasil olahan malah dijadikan reklamasi, yaitu Pulau Semakau.

 

Urusan wajib ketiga

 

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 12 Ayat (1) butir C, menyebutkan bahwa pengelolaan sampah merupakan urusan wajib ketiga setelah pendidikan dan kesehatan. Alokasi anggaran untuk pendidikan diamanatkan 20 persen dari APBD dan sektor kesehatan minimal 5 persen dari APBD.

 

Sayangnya, alokasi anggaran pengelolaan sampah belum menjadi perhatian besar bagi pemda. Rata-rata alokasi anggaran pengelolaan sampah masih di bawah 0,4 persen dari APBD.

 

Padahal, Pasal 282 UU No 23/2014 menyebutkan bahwa urusan yang menjadi kewenangan daerah wajib didanai dari APBD. Selain mengalokasikan anggaran pengelolaan sampah, pemda juga telah diberikan mandat untuk mencari sumber pembiayaan, yaitu retribusi.

 

Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2021 tentang Tata Cara Perhitungan Tarif Retribusi dalam Penyelenggaraan Penanganan Sampah. Permendagri ini merupakan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, yang tertuang dalam Pasal 29.

 

Mengingat tidak semua daerah peduli dengan pengelolaan sampah dan dampak negatif yang dirasakan masyarakat, seperti pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan, terbitlah dukungan pemerintah pusat terhadap 12 kota, yaitu Kota Palembang, kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, DKI Jakarta, Kota Bekasi, Kota Bandung dan sekitarnya, Kota Semarang, Kota Solo, Kota Surabaya, Kota Denpasar dan sekitarnya, Kota Makassar, serta Kota Manado dan sekitarnya.

 

Selain Perpres No 35/2018, pemerintah pusat menerbitkan Perpres No 109/2020 tentang percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional (PSN). Kedua belas daerah percepatan pembangunan PSEL ramah lingkungan juga masuk dalam PSN. Dengan demikian, dukungan yang diberikan pemerintah adalah membantu pemda untuk mengelola sampahnya dengan baik, tidak angkut buang ke TPA.

 

Baru-baru ini juga terbit Peraturan Menteri Keuangan Nomor 26 Tahun 2021 tentang Dukungan Pendanaan APBN bagi Pengelolaan Sampah di Daerah. Dukungan ini diberikan kepada daerah yang memiliki kinerja pengelolaan sampah secara baik.

 

Untuk memperoleh dukungan tersebut, pemda harus mengalokasikan anggaran yang memadai untuk pengelolaan sampah dalam APBD dan memiliki dokumen perencanaan yang berisi arah kebijakan dan strategi daerah dalam melaksanakan pengelolaan sampah.

 

Lima aspek

 

Mengelola sampah bukanlah sekadar angkut dan buang. Peter Schubeler (1996) menyebutkan, ada lima aspek yang harus dipenuhi untuk mengelolanya, yaitu aspek regulasi, aspek kelembagaan, aspek pembiayaan, aspek sosial budaya, dan aspek teknologi. Kelima aspek tersebut saling terkait dan menjadi kunci keberhasilan suatu daerah dalam pengelolaan sampahnya.

 

Kota Surabaya merupakan kota pertama yang menerapkan lima aspek pengelolaan sampah secara konsisten sejak tahun 2012. Kota Surabaya menjadi tempat studi banding bagi daerah lain untuk memahami isu tata kelola sampah. Tata kelola sampah yang baik itu terlihat hasilnya dari dukungan pemerintah pusat melalui dana insentif daerah, dana alokasi fisik, dan dukungan dana lain.

 

Manfaat yang diperoleh Kota Surabaya dari PSEL adalah tidak perlu membeli lahan baru untuk TPA, ikut berpartisipasi menurunkan emisi gas rumah kaca, tidak ada bau yang mengganggu kesehatan, dan tidak ada lagi pencemaran ke tanah dan sungai yang bermuara ke laut.

 

Kunci keberhasilan Kota Surabaya adalah mampu mengidentifikasi secara baik permasalahan tata kelola sampah. John Dewey (1927) menyatakan, a problem is solved half, if it is clearly defined, yang relevan dengan kondisi Kota Surabaya bahwa masalah sampah akan selesai sebagian apabila sudah jelas teridentifikasi.

 

Hal ini berlaku juga bagi pemda yang mengalami kedaruratan sampah. Urusan yang harus diselesaikan adalah pengurangan sampah, bukan listrik. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar