Selasa, 18 Mei 2021

 

Imperatif Kategoris

L Wilardjo ;  Pengajar Filsafat Ilmu, PDIH Undip

KOMPAS, 16 Mei 2021

 

 

                                                           

Diberitakan di media massa bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah membuat konsep atau draf peta jalan pendidikan Indonesia. Peta jalan pendidikan Indonesia diteriaki kritik alim-ulama dan agamawan, sebab kata agama atau frasa yang memuat kata itu tidak terdapat di dalamnya.

 

Saya belum melihat peta jalan pendidikan tersebut, apalagi mencermatinya. Namun, katanya di dalamnya ada pendidikan Budi Pekerti. Saya yakin bahwa di dalam pendidikan Budi Pekerti itu ada—kendati hanya tersirat—pendidikan agama.

 

Namun kalau publik, terutama tokoh-tokoh agamawan, menghendaki penyebutan agama secara eksplisit dalam peta jalan pendidikan, apa salahnya? Kalau kata agama dikhawatirkan kurang inklusif karena hanya mengacu ke agama-agama yang diakui secara resmi oleh pemerintah, boleh juga pada kata agama itu ditambahkan frasa ”dan kepercayaan kepada Tuhan YME”. Tak perlu ada WNI yang menaruh keberatan, sebab ”Ketuhanan YME” adalah sila pertama dalam Pancasila.

 

Budi Pekerti

 

Kalau—lebih tepatnya: bila—agama disebutkan secara eksplisit, maka budi pekerti kita maknai sebagai telaah tentang nilai-nilai kebaikan dan kejahatan, tentu dengan anjuran untuk memilih kebaikan. Amar makruf nahi mungkar.

 

Pendidikan Budi Pekerti dapat pula disebut pendidikan Etika, atau Achlaq, atau Moral. Inilah unsur yang kedua dari trilogi aksiologi (logika, etika, dan estetika). Kedua unsur lainnya dari aksiologi, yakni logika dan estetika, diliput dan dicakup di dalam konten pendidikan lainnya—utamanya dalam TRIMS (teknologi, rekayasa, ilmu, matematika, dan seni).

 

Kita mengikuti kecenderungan di negara-negara maju, yang program pendidikannya ditekankan pada STEAM (science, technology, engineering, art, mathematics). Porsi terbesar dari telaah tentang nilai-nilai keindahan dan kejelekan tentulah ada dalam unsur S (seni) dari TRIMS.

 

Pendidikan Agama (dan Kepercayaan kepada Tuhan YME) dan pendidikan Budi Pekerti merupakan ejawantahan (manifestasi) sila-sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” dan ”Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” dalam Pancasila.

 

Agama

 

Pendidikan Agama itu, walaupun intinya sama untuk agama-agama apa pun, yakni: mengasihi Tuhan, Allah kita, dengan sepenuh hati, dengan sepenuh jiwa, dan dengan sepenuh akal budi kita, pelaksanaannya disesuaikan dengan akidah dan tata ibadah dalam agama kita masing-masing, dan kita harus menghormati—dan bertenggang rasa terhadap—agama-agama lain yang bukan agama kita sendiri. Tuhan kita semua toh sama, yakni Tuhan YME yang Mahapengasih, yang juga Tuhan yang memerintahkan kita untuk mengasihi-Nya?!

 

Bertenggang rasa terhadap perbedaan antara agama kita sendiri dan agama-agama lainnya tersirat dalam perintah Tuhan agar kita mengasihi sesama kita, manusia, seperti diri kita sendiri. Di dalam Pancasila, itulah sila kedua: Kemanusiaaan yang Adil dan Beradab.

 

Mengamini Prof Bambang Hidayat (”Pendidikan dan Kepemudaan” (Kompas, 9 Maret 2021), pendidikan ”moralitas (baca: budi pekerti) memang harus selalu menjadi perhatian.” Di sini ”budi pekerti” ditekankan pada etika, tanpa mengabaikan etiket. Tentulah etika itu semesta (universal), sedangkan etiket (tata krama/sopan-santun) sedikit atau banyak tentu gayut-budaya setempat.

 

Intinya, budi pekerti ialah usaha yang kita lakukan sekuat-kuatnya untuk menghadirkan summum bonum commune (kebaikan tertinggi bagi kehidupan bersama) untuk sebanyak-banyaknya liyan dan diri kita sendiri, tanpa mengorbankan siapa pun sebagai tumbal.

 

Kedua sila yang pertama dalam Pancasila itu unversal dan berlaku bukan saja bagi bangsa kita, Indonesia, tetapi juga dapat berlaku untuk bangsa-bangsa lain yang mana pun. Itu amanah atau perintah ”harga mati” yang tidak kita pertanyakan atau kita tawar-tawar. Itulah kategorischer Imperativ. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar