Sabtu, 22 Mei 2021

 

Mengakhiri Polemik Alih Status Pegawai KPK

Aan Eko Widiarto ;  Dosen Ilmu Perundang-undangan FH Universitas Brawijaya

KOMPAS, 20 Mei 2021

 

 

                                                           

Pesan lugas, ringkas, dan jelas disampaikan Presiden Joko Widodo untuk mengakhiri polemik menyangkut alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi aparatur sipil negara atau ASN.

 

Intinya, hasil tes wawasan kebangsaan tak serta-merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos. Hasil tes itu hendaknya menjadi masukan untuk langkah-langkah perbaikan KPK, baik terhadap individu-individu maupun institusi KPK.

 

Pesan, atau secara substantifnya lebih berupa instruksi Presiden ini, mendasarkan pada konstitusi yang ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan pengujian revisi Undang-Undang KPK. MK memutuskan, proses pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN tak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat jadi ASN.

 

Standing lembaga negara Presiden dan MK yang sama ini menjadikan pimpinan KPK ”seharusnya” tak bisa memilih jalan lain untuk memproses pengalihan status pegawai KPK menjadi pegawai ASN.

 

Cabang eksekutif

 

Dalam logika penalaran hukum yang wajar, seharusnya jawaban yang diberikan adalah ”benar”. KPK merupakan lembaga negara dalam rumpun cabang kekuasaan eksekutif sebagaimana tertuang dalam putusan MK No 36/ PUU-XV/2017 dalam perkara Hak Angket DPR atas KPK.

 

Sebagai cabang kekuasaan eksekutif, KPK harus tunduk pada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan menurut undang-undang dasar (UUD). MK mengecualikan ketertundukan KPK kepada Presiden terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK, selain pelaksanaan tugas dan kewenangan yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan yudisialnya (penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan). Soal kepegawaian ini soal kewenangan nonyudisial sehingga tak ada alasan KPK tak tunduk kepada Presiden.

 

Namun, lagi-lagi, apakah KPK (dalam hal ini pimpinan KPK) akan mengikuti logika penalaran hukum yang wajar tersebut. Publik telanjur melihat bahwasanya banyak problem noninstitusional (kalau tidak mau disebut problem individual) di KPK. Koalisi Masyarakat Antikorupsi merilis rahasia di balik ketidaklulusan 75 pegawai KPK dalam tes wawasan kebangsaan.

 

Ditengarai ada problem personal, mulai dari keterlibatan mereka dalam pemeriksaan etik ketua KPK, pernah menandatangani petisi menolak calon ketua KPK, aksi advokasi agar Pansel Pimpinan KPK tidak meloloskan calon pemimpin KPK yang tidak menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), hingga melakukan aksi damai menolak calon pemimpin KPK pelanggar kode etik.

 

Jika indikasi-indikasi problem personal itu benar, KPK berada dalam posisi personifikasi. Ini sangat berbahaya bagi lembaga yang punya kewenangan sangat besar yang bisa menangkap, menahan, dan menuntut orang, bahkan sampai hukuman mati.

 

Selain itu, lembaga yang mempunyai otoritas membina ideologi Pancasila (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila/BPIP) juga sudah berdiri di belakang barisan pimpinan KPK yang menonaktifkan 75 pegawai KPK. Artinya, secara ideologi keputusan pimpinan KPK menonaktifkan itu mempunyai legitimasi ideologis.

 

Jadi, apakah pimpinan KPK masih bersikukuh dengan berkelit bahwa yang dilakukan adalah bukan memecat, melainkan menonaktifkan dengan meminta menyerahkan tugas dan tanggung jawabnya? Dalam terminologi bahasa yang itu, sangat mungkin. Pimpinan KPK hanya menonaktifkan, tidak memberhentikan atau memecat. Pimpinan KPK bisa berdalih dengan terminologi tersebut. Namun, pesan Presiden tidak bisa dipenggal atau dilokalisasi dengan kata ”memberhentikan”.

 

Pesan Presiden seharusnya dibaca utuh dengan menitikberatkan pada jiwa putusan MK, yakni proses pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN.

 

Intinya tidak boleh merugikan, ini seharusnya yang sesuai dengan ideologi Pancasila. Bukan wajarnya orang tidak lolos tes sebagaimana di BPIP. Pegawai KPK bukan job seeker atau pencari kerja dan mereka bukan fresh graduate. Pegawai KPK sudah legal bekerja dan diakui secara hukum. Pegawai KPK sudah diangkat menurut UU No 30 Tahun 2002.

 

Seharusnya demi hukum langsung beralih menjadi dan tanpa syarat sebagai ASN. Berbeda dengan calon pegawai BPIP yang statusnya ”calon pegawai” sehingga wajar apabila dites dan jika tak lulus, maka tak diterima sebagai pegawai di BPIP.

 

Mengakhiri polemik

 

Saat ini yang penting dilakukan KPK adalah menjalankan aturan peralihan yang dibuatnya sendiri melalui Peraturan KPK No 1/2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK Menjadi Pegawai ASN.

 

Sangat jelas tertulis dalam Pasal 24 huruf a bahwasanya segala kewenangan dan tanggung jawab jabatan pegawai KPK yang telah diangkat sebelum berlakunya Peraturan KPK No 1/2021 tetap sah dan tetap melaksanakan tugas dan kewenangannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Dengan demikian, Surat Keputusan Pimpinan KPK No 652/2021, yang salah satu diktumnya memerintahkan kepada pegawai yang tidak lolos tes agar menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan langsungnya, perlu dicabut.

 

Jangan sampai pegawai KPK dibebani lagi dengan harus berperkara di PTUN untuk menggugatnya. Pimpinan KPK harus gentle sebagaimana sikap yang ditunjukkan Presiden untuk berani mengoreksi keputusannya. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar