Sabtu, 29 Mei 2021

 

Jejak Kekerasan Seksual Masa Lalu, Negara Jangan Diam

Dahlia Madanih ; Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia; 12 Tahun sebagai Badan Pekerja Aktif Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)

KOMPAS, 28 Mei 2021

 

 

                                                           

Hingga kini, keberadaan perempuan korban kekerasan seksual masa lalu merupakan jejak paling nyata yang ada. Mereka masih hidup dalam rasa takut, terluka, dan ketidakpastian akan keadilan dan kebenaran atas peristiwa yang mereka alami.

 

Dari hasil pemantauan Komnas Perempuan yang mendokumentasikan rekam jejak peristiwa-peristiwa kekerasan seksual masa lalu, ratusan korban tersebar dari Sabang hingga Merauke. Hingga kini, sebagian besar dari mereka tidak punya pilihan selain membungkam luka, hidup dan berjuang setiap hari untuk pulih, kuat, dan punya harapan.

 

Bulan Mei ini menjadi penting bagi Indonesia sebagai bangsa untuk bangkit dari kebiadaban yang terjadi pada masa lalu. Bukan saja agar peristiwa-peristiwa kekerasan seksual, seperti perkosaan, eksploitasi seksual, perbudakan seksual yang dialami segenap perempuan Indonesia sejak masa Jugun Ianfu, peristiwa korban 1965, kerusuhan Mei 1998, konflik Aceh, konflik Poso, dan konflik Papua tidak terulang kembali, tetapi juga sebagai titik berangkat bagaimana membangun bangsa yang beradab dalam menghargai perempuan sebagai manusia yang bermartabat.

 

Apa yang terjadi?

 

Dari kekerasan seksual masa lalu di awal menjelang Indonesia merdeka, jejaknya kita lihat pada para penyintas Jugun Ianfu. Mereka merupakan perempuan Indonesia yang diculik paksa oleh tentara Jepang pada periode 1942-1945 yang ditempatkan di Ianjo, sebutan rumah bordil Jepang yang didirikan di sejumlah daerah, dengan jumlah lebih dari 1.000 perempuan dari sejumlah daerah di Indonesia, seperti Jawa, Kalimantan, Maluku, dan Sulawesi. Sebagian besar mereka sudah meninggal sebelum ada permintaan maaf Pemerintah Jepang kepada para penyintas.

 

Kekerasan seksual selanjutnya dialami oleh sejumlah besar perempuan di Indonesia yang menjadi korban peristiwa 1965. Salah satu pola kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan korban adalah penyiksaan seksual, yaitu dengan bentuk ditelanjangi dengan alasan mencari lambang palu arit di tubuh perempuan. Dari 122 kesaksian korban, ada 74 kasus perkosaan dan 21 kasus perbudakan seksual yang diceritakan oleh penyintas.

 

Sebagian besar perempuan korban mengalami perkosaan pada saat mereka ditangkap, ada juga yang diperkosa berulang kali selama mereka ditahan, bahkan menjadi korban perbudakan seksual setelah dibebaskan, perkosaan berulang pada saat rumahnya diserang secara massal, serta dipaksa melayani kebutuhan seks karena suami ditahan agar cepat dibebaskan (Komnas Perempuan; 2007).

 

Hingga kini tidak ada satu pun kekerasan seksual yang mereka alami diproses secara hukum. Banyak perempuan korban peristiwa ini mengalami kelumpuhan karena penyiksaan yang diterima, hilangnya ingatan, depresi, gegar otak, rusaknya alat reproduksi karena penyetruman, bahkan berlanjutnya persekusi selepas dari tahanan, mereka mengalami penghancuran kehidupan berkeluarga dan hidup di masyarakat.

 

Utang reformasi sampai saat ini yang belum terlunaskan adalah justru pada para korban perempuan perkosaan massal Mei 1998. Hingga kini, korban hidup tanpa ada kepastian penanganan pada apa yang mereka alami.

 

Peristiwa kerusuhan Mei pada 13-15 Mei 1998 direkam oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pemerintah pada Juli 1998, termasuk mandat dalam mencari fakta terjadinya perkosaan masal. Dari 168 laporan kasus kekerasan seksual, 152 terjadi di Jakarta, sedangkan 16 kasus lainnya terjadi di Solo, Medan, Surabaya, dan Palembang. Sebanyak 52 di antaranya korban perkosaan, 14 korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 korban penyerangan dan penganiayaan seksual, serta 9 korban pelecehan seksual.

 

Ratusan korban pelecehan seksual terjadi pada tanggal 4-8 Mei 1998. Pola perkosaan massal yang dilakukan dalam peristiwa Mei sebagian besar berupa kasus perkosaan gang rape, yaitu korban diperkosa secara bergantian pada waktu dan tempat yang sama dan dilakukan di hadapan orang lain. Sebagian besar menyasar perempuan etnis China, meskipun tim menyatakan tidak semua korban merupakan etnis China, mereka berasal dari lintas kelas sosial (Laporan TGPF; 1999). Dua puluh tiga tahun telah berlalu, kasusnya bahkan seperti terpendam bersama luka para korban hingga kini.

 

Pascareformasi, konflik yang berkecamuk di beberapa wilayah Indonesia juga menorehkan jejak luka mendalam bagi perempuan di sejumlah daerah menjadi korban kekerasan seksual, seperti Aceh, Ambon, Poso, dan Papua, bahkan reformasi tak menggeser sedikit pun ancaman kekerasan seksual yang dialami perempuan. Dari 103 perempuan korban kekerasan di Aceh, 60 di antaranya adalah korban kekerasan seksual yang terjadi sejak 1999, yaitu bertepatan dengan operasi militer di Aceh, hingga masa darurat sipil dan militer pada 2003-2005.

 

Sebagian besar perempuan korban di Aceh mengalami perkosaan, penyiksaan seksual, dan perlakuan kejam bernuansa seksual. Salah satu pola eksploitasi seksual yang sangat khas terjadi pada wilayah konflik bersenjata di Indonesia, termasuk di Aceh, adalah dengan memperdaya korban melalui janji untuk menikahi pascahubungan seksual atau sekadar menikah secara siri kemudian ditinggalkan, yang sebagian besar dilakukan aparat keamanan (Komnas Perempuan; 2007). Dampak kekerasan seksual tersebut tidak hanya berakibat pada cacat, rusak, ataupun kesakitan yang hebat pada fisik, alat, dan fungsi reproduksi dan seksual; perempuan korban di Aceh mengalami trauma yang berkepanjangan serta kehilangan sumber penghidupan.

 

Sementara pada konflik yang terjadi di Poso, yang direkam sejak 1998 hingga 2005, dengan 72 kasus kekerasan terhadap perempuan, 62 kasusnya (86 persen) dialami perempuan dalam bentuk kekerasan seksual, antara lain penelanjangan paksa yang terjadi pada 200 perempuan anggota suatu komunitas. Perkosaan, ancaman perkosaan, eksploitasi seksual, serta pemaksaan aborsi adalah bentuk-bentuk kekerasan yang secara khas ditujukan pada perempuan.

 

Kekerasan yang dialami perempuan pada konflik Poso terjadi ketika eskalasi konflik terjadi, ketika penempatan aparat keamanan dan militer, serta pada saat pengungsian. Sayangnya, dalam salah satu kasus yang maju dalam proses hukum mengenai penyerangan suatu desa di Poso, peristiwa penelanjangan paksa diabaikan menjadi fakta hukum dalam persidangan.

 

Sementara Papua merupakan daerah konflik yang sampai saat ini masih  bergolak. Kasus kekerasan seksual yang dilaporkan terjadi sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, dan didokumentasikan oleh para perempuan penyintas di Papua pada tahun 2009-2010. Dengan menemukan 261 laporan kasus, 138 perempuan mengalami bentuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh aparat negara, dengan bentuk perkosaan, perbudakan seksual, penyiksaan seksual, pemaksaan aborsi, eksploitasi seksual dan terkait penggunaan alat kontrasepsi (KB), serta percobaan perkosaan.

 

Pada laporannya bertema stop sudah, Komnas Perempuan menggambarkan bahwa korban perempuan Papua terjerumus dalam siklus penderitaan panjang karena ketidakberdayaan berlapis yang tumpang tindih dan tidak tertangani. Penderitaan berkepanjangan selama masa konflik menyebabkan trauma berlapis. Pada saat yang sama, tekanan psikososial menyebabkan perempuan korban makin kesulitan dari segi keberdayaan ekonomi, akses pendidikan, termasuk melindungi dirinya dari persoalan sosial lainnya, seperti penularan HIV/AIDS, masalah poligami, dan miras (Komnas Perempuan; 2009).

 

Puluhan tahun mereka para perempuan korban berjalan dalam sunyi. Menyembunyikan identitasnya sebagai korban. Mungkin mereka hidup di tengah kita sebagai saudara, tetangga, teman, atau lainnya. Sebagian besar mereka memilih untuk membisu dari peristiwa yang dialaminya.

 

Mengapa mereka memilih bungkam? Membisu menjadi cara karena tiadanya pilihan lain bagi perempuan korban. Tiadanya kepastian jaminan perlindungan dari rasa aman, ancaman stigma dan perundungan, serta penyangkalan yang kuat baik oleh pelaku, masyarakat, maupun negara mengenai peristiwa yang mereka alami, bahkan impunitas bagi pelaku mendesak korban terbungkam. Membungkam menjadi cara korban membentuk rasa aman bagi dirinya dan keluarga hidup terus menatap masa depan, karena absennya negara mengungkapkan keadilan dan kebenaran serta pemulihan bagi mereka.

 

Negara jangan diam

 

Dokumentasi pada peristiwa dan pengalaman yang dialami perempuan korban oleh lembaga hak asasi manusia di Indonesia merupakan proses menemukan kebenaran yang terjadi di masa lalu. Dengan demikian, negara dapat melakukan langkah-langkah pengungkapan kebenaran dan upaya pemulihan bagi perempuan korban.

 

Langkah tersebut juga sebagai bentuk dukungan terhadap korban karena adanya upaya penyangkalan yang dilakukan banyak pihak. Tidak mudah mengumpulkan cerita-cerita tersembunyi dari para korban, atau bahkan menemukan korban itu sendiri, tanpa adanya dukungan secara keberlanjutan pada proses penanganan terhadap korban dan kasusnya.

 

Negara melalui Presiden ke-3 Republik Indonesia BJ Habibie memberikan jejak awal negara berkomitmen pada upaya penanganan kekerasan seksual, yang dinyatakan pada tahun 1998. Negara telah memberikan mandat dan bentuk memorialisasi untuk merawat ingatan dengan didirikannya salah satu lembaga HAM yang fokus pada penanganan kekerasan terhadap perempuan, yaitu Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, melalui Peraturan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 dan diperkuat melalui Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005.

 

Melalui peraturan presiden ini, kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM. Sejak 23 tahun pendiriannya, rekam jejak pengalaman korban kekerasan seksual masa lalu untuk mendapatkan hak atas kebenaran, keadilan, rasa puas, dan ketidakberulangan menjadi tonggak Komnas Perempuan mendesak pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai bentuk mendorong negara tidak diam pada penderitaan panjang perempuan korban. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar