Sabtu, 29 Mei 2021

 

Menggaungkan Kurikulum Borobudur

A. Windarto ;  Peneliti di Litbang Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta

KOMPAS, 26 Mei 2021

 

 

                                                           

Bukan sebuah kebetulan bahwa menjelang peringatan hari raya Waisak pada 26 Mei mendatang, harian Kompas (Minggu, 23/6/2021) menerbitkan infografik berjudul ”Gunung Kebajikan di Jantung Jawa”. Melalui infografik yang cukup eksentrik itu, ditampilkan bagaimana Candi Borobudur dibangun dengan amat teliti dan hati-hati.

 

Dengan penampilan itu, para pembaca Kompas dapat belajar bahwa Candi Borobudur tidak sekadar tempat wisata, tetapi juga sebuah kurikulum yang mampu memperlihatkan jejak langkah pembelajaran para peziarah untuk mencapai apa yang telah dijalani oleh Buddha.

Pertanyaannya, apakah pada zaman yang semakin global dan serba modern ini pembelajaran itu masih mungkin untuk dilakukan? Bagaimana pembelajaran itu dapat menjadi sebuah pembelajaran yang komprehensif dan terpadu? Adakah catatan atau rekaman sejarah yang dapat dijadikan referensi untuk hal itu?

 

Dalam film dokumenter berjudul ”Belajar dari Borobudur/Learning from Borobudur” (1989) yang diproduksi oleh Studio Audio Visual PUSKAT, Yogyakarta, dipertontonkan bagaimana sesungguhnya Candi Borobudur dijadikan napak tilas bagi para peziarah dari sejumlah negeri di dunia. Napak tilas yang sebenarnya diawali dari Candi Mendut dan Candi Pawon itu bermuara di Candi Borobudur sebagai puncak dari peziarahan.

 

Di puncak itulah, para peziarah diundang untuk merenungi kehidupan yang ditampilkan lewat beragam relief yang terpahat pada setiap tembok candi. Sebagaimana dikaji oleh Claire Holt dalam bukunya yang berjudul Art in Indonesia: Continuities and Change (Cornell University Press, 1967), di candi Borobudur terdapat 1.460 gambar, 1.212 hiasan panel, dan 27.000 kaki persegi permukaan batu yang dipahat dalam relief yang teliti. Salah satunya adalah relief tentang napak tilas calon Buddha yang bernama Sidharta Gautama dengan jumlah 120 relief.

 

Dari sebagian relief itu, para peziarah diperlihatkan bagaimana calon Buddha menjalani napak tilas yang tidak cukup hanya didongengkan, tetapi juga perlu dilakukan dengan sepenuh hati. Sebagian relief lain juga menampilkan tentang berbagai cerita binatang. Contohnya, seperti cerita mengenai angsa dan kura-kura, kambing dan singa, kera dan burung manyar, kucing dan tikus, serta burung berkepala dua.

 

Pada setiap cerita yang dipahat menjadi relief itu terkandung beragam pelajaran tentang kebajikan. Relief-relief itu menyampaikan pesan reflektif tentang kebaikan dan keburukan diri manusia yang dituturkan dengan amat imajinatif dan kreatif. Maka, tak heran jika film dokumenter itu mendapat perhargaan berupa Prize Feldafest Golden Award dari Festival Film Prix Futura di Berlin tahun 1992.

 

Berdasar hal itu, menjadi menarik sebenarnya untuk menggaungkan spirit pembelajaran kembali mengenai Candi Borobudur. Itu karena di sana dapat dijumpai beragam bahan pembelajaran yang tidak mudah lagi untuk dicari dan ditemukan di mana pun. Dengan kata lain, di Candi Borobudur itulah catatan atau rekaman sejarah mengenai laku hidup spiritual sebagai napak tilas untuk menjadi manusia yang seutuhnya masih tersimpan dengan cukup baik.

 

Meski ada kerusakan, bahkan kehancuran, khususnya di beberapa relief dan patung, masih belum terlambatlah agaknya jika Candi Borobudur dijadikan sebagai salah satu tempat pembelajaran alam. Itu artinya, sisi kunjungan wisata yang bersifat rekreatif ke Candi Borobudur perlu diimbangi dengan sisi pembelajaran yang menuntun dan menuntut siapa pun untuk belajar menjadi peziarah yang sedang dan selalu bernapak tilas dalam kehidupan sehari-hari.

 

Sementara dalam disertasinya yang berjudul ”A Study on the Origin and Significance of Borobudur” (2004), Hudaya Kandahjaya menunjukkan bahwa Candi Borobudur adalah sebuah biara yang mengandung berlipat-lipat kebajikan Sugata atau Buddha. Struktur bangunannya seperti sebuah altar yang ditinggikan (altar panggung). Di atasnya terletak kediaman para Buddha yang menyerupai jari-jari sebuah altar yang dibentuk seperti sebuah roda (Kompas, 10 Juni 2004).

 

Maka, Candi Borobudur memang tak ubahnya seperti visualisasi dari ajaran-ajaran Buddha, khususnya adalah berbagai ajaran Buddha Sakyamuni saat tinggal selama berada di dalam rahim ibunya. Hal itulah yang membuat setiap relief, patung, bahkan batu-batu yang terdapat di Candi Borobudur mencerminkan beragam kebajikan Sakyamuni, seperti keharmonisan, keseimbangan, dan keselarasan dengan alam dan penampakan ekologis lainnya.

 

Dalam konteks ini, film dokumenter di atas dapat dijadikan semacam ”buku pegangan” bagi para peziarah pemula. Itu karena dalam film dokumenter tersebut secara praktis dipertontonkan jalan apa yang mesti ditempuh untuk menjadi seorang peziarah. Meski masih amat terbatas, melalui film dokumenter itu para peziarah dapat mempelajari secara intensif, efektif, dan operatif apa saja yang diperlukan untuk menjalani suatu napak tilas.

 

Di sini pembelajaran mengenai napak tilas itu dipertontonkan melalui beragam cerita binatang yang sesungguhnya sudah diawali di Candi Pawon dan Candi Mendut. Pada tahap awal ini dikenal sebagai kawasan kamadatu pada candi Borobudur.

 

Selanjutnya, pembelajaran mengenai berbagai patung, khususnya patung Buddha dalam stupa dengan lubang berbentuk kotak atau persegi empat, yang mencerminkan bagaimana wujud dari berbagai makhluk hidup dengan segala sifat dan wataknya.

 

Dengan pembelajaran ini, para peziarah dituntun dan dituntut untuk dapat mengetahui siapa dan apa sesungguhnya yang menjadi keutamaan-keutamaan dalam hidup bersama dengan yang lain. Karena itulah, pada tataran ini pembelajaran lebih dikenal sebagai bagian dari lingkup yang di Candi Borobudur disebut sebagai kawasan Rupadatu.

 

Sementara kawasan di atasnya disebut sebagai Arupadatu, yang berarti kosong atau tanpa wujud. Di sinilah kekosongan yang telah dialami oleh Buddha ditampilkan melalui stupa-stupa yang tanpa siapa atau apa pun di dalamnya dan lubangnya berbentuk persegi delapan. Dengan kekosongan yang direpresentasikan melalui stupa yang paling besar di puncak Candi Borobudur, memang tiada apa pun atau siapa pun yang dibawa dalam menjalani suatu napak tilas.

 

Jadi, napak tilas itu sebenarnya adalah jalan kesendirian atau kesunyian yang juga dikenal sebagai jalan pedang bagi seorang samurai dalam kebudayaan masyarakat di Jepang.

 

Dari segenap pembelajaran itu, tampak bahwa kurikulum Borobudur memang masih layak untuk digaungkan kembali. Dengan kata lain, pembelajaran terhadap apa yang telah disusun melalui candi yang dibangun pada abad ke-8 itu tetap dapat menjadi pembelajaran hidup bersama pada masa kini yang telah sedemikian rupa mengabaikan, bahkan menghilangkan, warisan nilai-nilai hidup dari masa lalu. Dengan demikian, inilah saat dan tempat yang tepat untuk mempelajari kembali apa yang sudah dianggap langka dan selalu dibuang dari pikiran.

 

Menarik untuk dicatat bahwa pada infografik di harian Kompas di atas, antara lain tertulis nama Ratu Tara dan Putri Pramodhawardhani. Mengapa? Karena kedua nama itulah yang akan menjadi sosok penting dalam pembangunan Candi Prambanan pada abad ke-9. Candi yang menjadi representasi dari perpaduan dua keluarga besar dari Wangsa Syailendra yang menganut Buddha dan Wangsa Sanjaya yang memeluk Hindu, melalui perkawinan antara Pramodhawardani dan Rakai Pikatan. Sementara saudara lelaki dari Pramodhawardhani, Balaputradewa, justru menjadi penguasa di Kerajaan Sriwijaya, Sumatera.

 

Selain itu, pada infografik juga divisualkan bagaimana Candi Borobudur dibangun dengan dukungan dari arsitek, biksu Buddha, seniman pemahat, ratusan pekerja, rakyat petani, bahkan pedati kerbau. Namun, bagaimana sesungguhnya proses pembangunan itu dikerjakan?

 

Teknologi apa yang dipakai, misalnya untuk mengangkat dan mengangkut batu-batu, kemudian memahat dan menyusunnya, hingga terbentuk secara simetris menjadi Candi Borobudur dengan konsep Mandala atau Kosmologis (maharaja menjadi pusat kekuasaan dan berkedudukan di pusat wilayah)?

 

Sekali lagi, Kandahjaya menjelaskan bahwa batu-batu itu diangkat dan diangkut dengan teknologi tertentu dan ditempatkan sesuai dengan perhitungan yang sedemkian cermat dan teliti, kemudian dipahat oleh para ahli tanpa ada kegagalan sedikit pun dan disusun sesuai dengan rancangan.

 

Meski baru dugaan belaka, paling tidak penjelasan itu memberi semacam gaung dari kurikulum Borobudur yang selama berabad-abad hanya menjadi ”puing-puing reruntuhan” (the ruins) sebelum ditemukan dan dipugar oleh sarjana Belanda, Dr Th van Erp, tahun 1911. Selamat hari raya Waisak. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar