Senin, 24 Mei 2021

 

Berkembangnya Narasi Intoleran Warganet Selama Pandemi

Wasisto Raharjo Jati ;  Staf Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI, Fellow Researcher di INFID

KOMPAS, 24 Mei 2021

 

 

                                                           

Kondisi demokrasi digital Indonesia selama periode pandemi Covid-19 ini cenderung mengkhawatirkan. Hal ini terutama terkait dengan interaksi warganet yang didominasi oleh kalangan milenial dan warga usia produktif.

 

Menurut survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2020, terjadi kenaikan signifikan pengguna internet yang semula 64,8 persen menjadi 73,7 persen. Persentase itu setara dengan 196,71 juta dari 266,91 juta penduduk kini sudah melek internet di mana usia remaja/generasi Z (15-20 tahun) dan usia dewasa muda/generasi milenial (25-34 tahun) adalah segmen pengguna terbesar.

 

Kenaikan pengguna internet rupanya tidak berbanding lurus dengan kenaikan jumlah penduduk yang rasional dan terbuka karena derasnya arus informasi daring. Studi perbandingan Indeks Keadaban Digital (Digital Civility Index) yang dirilis oleh Microsoft selama masa pandemi (2020-2021) justru memperlihatkan tren penurunan warganet Indonesia yang semakin tidak beradab di dunia maya.

 

Fakta yang paling krusial adalah turunnya skor keadaban warganet yang semula 67 menjadi 76. Penurunan tersebut menempatkan posisi warganet Indonesia berada di posisi ke-29 dari 32 negara yang disurvei oleh Microsoft pada tahun 2021.

 

Ada sejumlah parameter yang dinilai dalam melihat mengapa warganet Indonesia menjadi semakin tidak beradab ketika mengakses internet. Pertama, seberapa kuat Anda mempertahankan argumen kritis Anda. Kedua, berpikir sejenak sebelum membalas komentar warganet lainnya. Ketiga, menghargai pendapat orang lain. Keempat, memperlakukan warganet lain dalam posisi setara dan seimbang. Kelima, membela warganet lain dari segala bentuk perundungan daring.

 

Ketika lima parameter tersebut ditanyakan kepada responden warganet Indonesia secara acak justru menghasilkan adanya berkembangnya narasi intoleran selama pandemi ini. Warganet menjadi semakin tidak beradab dan intoleran karena menguatnya narasi religius (42 persen), narasi seksis (37 persen), narasi politis (36 persen), dan narasi rasis (35 persen) dalam warganet Indonesia selama kurun waktu pandemi sekarang ini.

 

Hal tersebut berdampak luar biasa pada menguatnya perundungan daring (cyber bullying) sebesar 80 persen, menguatnya diskriminasi daring sebesar 86 persen, dan berkembangnya sentimen personal terhadap reputasi individu sebesar 85 persen. Berbagai macam hasil figur statistik ini memperlihatkan bahwa pandemi ini semakin membuat warganet Indonesia tidak sopan, baik dalam interaksi dunia maya maupun dunia nyata.

 

Adanya temuan menguatnya narasi intoleran yang mendasari warganet Indonesia semakin tidak beradab dan tidak sopan sebenarnya merupakan puncak gunung es dari studi-studi sebelumnya yang memperlihatkan demokrasi digital Indonesia semakin tidak sehat dalam kurun waktu terakhir ini. Hal tersebut setidaknya bisa disimak dari adanya beberapa studi mutakhir soal kebebasan berekspresi di dunia maya.

 

Secara lebih lanjut, aktor yang terlibat bisa dari aktor negara, tokoh masyarakat, bahkan kelompok berbasis identitas tertentu. SAFEnet (2019-2020) menggunakan istilah ”otoritarianisme digital” untuk menyebut tendensi negara untuk melakukan pemutusan/pelambatan akses internet untuk ekspresi kebebasan berpendapat di area isu sensitif, misalnya kebijakan publik maupun figur pejabat tinggi. Hal tersebut memicu polarisasi digital antara warganet yang pro dan kritis terhadap pemerintah.

 

Implikasi lanjutannya adalah munculnya doxing (dropping documents) yang merujuk pada kegiatan meretas informasi pribadi yang telah dilabeli sebagai orang/kelompok pro atau kritis terhadap pemerintah yang biasa dilakukan tokoh/kelompok berbasis identitas tertentu. Adanya pembungkaman tersebut berdampak pada kuat dan kencangnya narasi intoleran warganet Indonesia, terlebih di era pandemi ini.

 

Tak terelakkan

 

Adanya aksi dan perilaku pembungkaman daring tersebut, ditambah dengan efek pandemi sekarang ini, sekiranya membuat narasi intoleran menjadi sebuah keniscayaan yang tidak bisa dielakkan. Orang Indonesia, baik itu seorang warganet maupun penduduk biasa, kini mudah sekali tersinggung dengan persoalan remeh-temeh.

 

Hal yang paling umum dan sering dilakukan oleh banyak orang saat ini adalah membuat sebuah isu/masalah menjadi isu viral di dunia maya. Hal tersebut merupakan bentuk aksi sepihak dari masyarakat agar muncul efek jera bagi si pelaku, baik secara sosial maupun hukum. Meski demikian, membuat isu menjadi isu viral di media sosial sebenarnya adalah puncak dari intoleransi warganet Indonesia selama ini yang sudah sering dijejali narasi religius, narasi seksis, narasi politis, dan juga narasi rasis.

 

Berbagai macam berkembangnya narasi intoleran tersebut sebenarnya merupakan puncak frustrasi warganet Indonesia yang kini dipaksa hidup dalam kondisi tidak menentu selama pandemi. Kondisi tersebut membuat orang kini semakin menerima berbagai narasi tersebut sebagai sebuah kenormalan baru.

 

Terkait dengan narasi religius dan narasi politis selama pandemi, hal tersebut merupakan bentuk efek lanjutan dari menguatnya intoleransi karena besarnya persepsi individu untuk enggan hidup bersama dan menerima pendapat orang yang beda agama dan pilihan politik. Studi survei PPIM (2017), CSIS (2017), dan Indikator Politik Indonesia (2019-2020) memperlihatkan lebih kurang dua pertiga orang kini semakin curiga dengan orang lain yang tidak sama latar belakang identitasnya di satu komunitas tertentu.

 

Sementara terkait narasi rasis dan seksis, Survei Ada Apa dengan Covid-19 (AADC-19) 2020 oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyebutkan perempuan rentan terkena frustrasi karena pengurangan tenaga kerja sehingga membuat ketergantungan terhadap laki-laki menjadi besar. Efek lainnya yang muncul dari rasa frustrasi itu adalah menguatnya kembali sentimen ”pribumi” dan ”pendatang” yang bernuansa rasis.

 

Adanya dampak pembatasan mobilitas selama pandemi ini membuat warganet menyalahkan mereka yang berbeda suku dan ras sebagai agen transmisi Covid-19. Melalui akun media sosial masing-masing, warganet berusaha untuk menumpahkan ekspresi rasis dan eksis semakin lebar di dunia maya.

 

Kesimpulan yang bisa dipetik adalah narasi intoleran yang berkembang selama pandemi ini telah membuat perilaku warganet Indonesia menjadi semakin tidak beradab dan tidak sopan. Hal ini berdampak pada kuatnya pemikiran sumbu pendek yang berwujud pada beraksi dulu dan berpikir kemudian.

 

Adanya kenormalan baru tersebut seolah melegitimasi bahwa orang bisa seenaknya bisa berekspresi, baik itu rasis, seksis, agamis, maupun politis, karena pandemi. Dengan kata lain, alih-alih dengan meningkatnya arus informasi daring ini berdampak pada solidaritas selama pandemi, malah justru warganet Indonesia semakin tersekat dengan berkembangnya narasi intoleran tersebut. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar