Sabtu, 29 Mei 2021

 

Tabiat Politik Kekuasaan

Biyanto ;  Guru Besar UIN Sunan Ampel, Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur

KOMPAS, 26 Mei 2021

 

 

                                                           

Panggung politik nasional selalu menghadirkan kejutan. Di antara kejutan yang terjadi setiap jelang pemilu adalah drama perebutan kepemimpinan di sejumlah partai politik. Selain itu, juga ada pendirian partai baru oleh elite politik berwajah lama. Para pemain lama itu mendirikan partai baru sebagai kendaraan berpolitik. Mereka keluar dari partai lama yang telah membesarkan namanya, kemudian beralih ke partai baru.

 

Karena itu, dapat dikatakan bahwa tabiat politik kekuasaan memang cenderung berpecah dan memecah. Semua akrobat elite politik tampaknya harus dipahami dalam konteks persiapan menghadapi Pemilu 2024.

 

Dinamika politik nasional yang diwarnai intrik dan perilaku nir-etika dari antar-elite partai semakin menunjukkan bahwa negeri ini terlampau banyak melahirkan politisi dan defisit negarawan. Terkait kondisi ini, jurnalis senior Saur Hutabarat pernah mengatakan, ”Setelah Bung Hatta, tiada lagi negarawan. Bangsa ini juga telah kehilangan Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid.” Kegalauan senada dikemukakan Ahmad Syafii Maarif (Buya Syafii). Buya Syafii menyatakan bangsa ini semakin banyak melahirkan politisi, tetapi miskin negarawan.

 

Untuk membedakan politisi dan negarawan dapat dipahami dari pernyataan James Freeman Clarke (1810-1888). Teolog Amerika Serikat ini pernah berkata, ”The difference between a politician and a statesman is that a politician thinks about the next election while the statesman thinks about the next generation” (Perbedaan politikus dan negarawan adalah bahwa politikus berpikir tentang pemilu berikutnya, sementara negarawan memikirkan generasi masa depan).

 

Politisi dengan syahwat politik tinggi selalu berpikir cara meraih kekuasaan dan mempertahankannya selama mungkin. Bahkan, saat dirinya baru dilantik sekalipun, yang dipikirkan adalah strategi untuk mempertahankan kekuasaan pada pemilu berikutnya. Bagi mereka, soal etika berpolitik sementara waktu harus diabaikan karena yang lebih penting adalah memenangi perebutan kekuasaan. Itulah sebabnya politik selalu didefinisikan sebagai who gets what, when, how (siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana).

 

Doktrin politik juga mengajarkan tidak ada teman dan lawan abadi, yang ada adalah kepentingan abadi. Bahkan, ada politisi yang berseloroh, ”Perbedaan pendapat itu biasa terjadi. Yang tidak boleh terjadi adalah perbedaan pendapatan.” Karakter ini menjadikan politik dan partai akrab dengan budaya berpecah. Perpecahan merupakan hal yang lumrah terjadi dalam dunia politik dan kepartaian. Apalagi jika politisinya telah kehilangan ideologi yang menjadi dasar nilai perjuangan dalam berpolitik.

 

Narasi ideologi yang biasanya ideal akan ditransaksikan dengan kepentingan pragmatis untuk meraih kekuasaan. Itu karena tabiat kekuasaan memang selalu menghadirkan godaan. Elite politik yang tahan menghadapi godaan pasti akan selamat. Sebaliknya, mereka yang tidak tahan godaan pasti akan tergelincir. Terkait dengan kerinduan negeri ini untuk melahirkan negarawan, kita penting merenungkan pandangan bapak sejarah modern, Ibn Khaldun (1332-1406).

 

Dalam karya monumentalnya, The Muqaddimah an Introduction to History (1989), Ibn Khaldun mengingatkan bahwa kekuasaan itu jika tidak dijalankan dengan amanah pasti akan membawa kerusakan. Ibn Khaldun juga mengatakan bahwa tabiat politik kekuasaan selalu menghendaki berada di satu tangan (the royal authority, by its very nature, must claim all glory for itself). Itulah sebabnya banyak elite politik yang asalnya menunjukkan kebersamaan selama proses pencalonan, tetapi kemudian berpisah justru ketika memenangi pertarungan politik kekuasaan.

 

Mereka seakan tidak rela berbagi kekuasaan dengan pasangan atau pengusungnya. Penguasa umumnya juga tidak rela jika kekuasaan yang diraih dengan berdarah-darah harus berpindah tangan. Jika terpaksa harus berpindah tangan, diusahakan agar pemegang kekuasaan berikutnya adalah orang-orang yang masih berhubungan darah atau memiliki kekerabatan dengan dirinya. Pada kontes inilah lahir budaya politik dinasti yang berakar kuat di negeri tercinta.

 

Momentum pemilihan kepala daerah dan anggota legislatif menunjukkan betapa kuat budaya politik dinasti. Bahkan, terjadi di suatu daerah, kepala daerah dan ketua DPRD berasal dari satu keluarga. Dalam kondisi budaya politik tersebut, rasanya checks and balances sangat sulit terwujud. Selanjutnya, Ibn Khaldun mengingatkan bahwa tabiat politik kekuasaan juga selalu menghendaki kemewahan (the royal authority, by its very nature, requires luxury). Padahal, kemewahan pada saatnya akan merusak akhlak para pemegang kekuasaan.

 

Peringatan senada pernah dikemukakan Lord Acton (1834-1902) tatkala menulis surat pada Bishop Mandell Creighten (1843-1901). Dalam surat itu Acton menulis ungkapan yang hingga kini masih sangat popular, yakni: ”Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely” (Orang yang memiliki kekuasaan cenderung menyalahgunakannya dan orang yang memiliki kekuasaan absolut sudah pasti akan menyalahgunakannya).

 

Peringatan Ibn Khaldun dan Acton terasa sangat penting menjadi refleksi bagi pemegang politik kekuasaan di negeri tercinta agar berhati-hati menunaikan amanah bangsa. Jika elite politik tidak berhati-hati menjaga amanah kekuasaan, dampaknya negeri ini akan semakin terperosok. Bahkan, terlintas dalam bayangan, negeri ini menjadi negara gagal (failed state). ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar