Rabu, 19 Mei 2021

 

Postur dan Konsep Pencegahan Terorisme di Indonesia

Robi Sugara ;  Pemerhati Terorisme dan Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

KOMPAS, 18 Mei 2021

 

 

                                                           

Isi dua surat wasiat yang ditinggalkan pelaku aksi teror di Makassar dan Mabes Polri Jakarta menunjukkan program kontra radikalisasi belum berjalan secara maksimal. Salah satu narasi dari surat itu adalah meyakini perbuatan mereka adalah sebagai jihad. Postur dan konsep keterbukaan dan pelibatan sejumlah kelompok masyarakat perlu segera dilakukan dalam pencegahan terorisme ke depan.

 

Pencegahan terorisme berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dibagi dalam tiga model. Pertama, kesiapsiagaan nasional, kedua kontra-radikalisasi, dan ketiga deradikalisasi.

 

Kesiapsiagaan nasional adalah suatu kondisi siap siaga untuk mengantisipasi terjadinya tindak pidana terorisme melalui proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan. Tugas ini dilakukan oleh kementerian/lembaga yang terkait di bawah koordinasi badan yang menyelenggarakan urusan di bidang penanggulangan terorisme. Kesiapsiagaan nasional juga dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat, peningkatan kemampuan aparatur, pelindungan dan peningkatan sarana prasarana, pengembangan kajian terorisme, serta pemetaan wilayah rawan paham radikal terorisme.

 

Kemudian kontraradikalisasi merupakan suatu proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan yang dilaksanakan terhadap orang atau kelompok orang yang rentan terpapar paham radikal terorisme yang dimaksudkan untuk menghentikan penyebaran paham radikal terorisme. Tugas ini diemban oleh pemerintah yang dikoordinasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dengan melibatkan kementerian/lembaga terkait. Kontra-radikalisasi dilakukan secara langsung atau tidak langsung melalui kontranarasi, kontrapropaganda, atau kontra-ideologi.

 

Kemudian deradikalisasi merupakan suatu proses yang terencana, terpadu, berkesinambungan yang dilaksanakan untuk menghilangkan atau mengurangi dan membalikkan pemahaman radikal terorisme yang telah terjadi. Program ini dilakukan kepada tersangka, terdakwa, terpidana, narapidana, mantan narapidana terorisme, atau orang atau kelompok orang yang sudah terpapar paham radikal terorisme. Program ini dilaksanakan oleh pemerintah yang dikoordinasikan oleh BNPT dengan melibatkan kementerian/lembaga terkait.

 

Deradikalisasi terhadap orang melalui tahapan identifikasi dan penilaian, rehabilitasi, reedukasi, dan reintegrasi sosial. Kemudian deradikalisasi terhadap orang atau kelompok orang dilaksanakan melalui pembinaan wawasan kebangsaan, pembinaan wawasan keagamaan, dan/atau kewirausahaan.

 

Lebih detail dari pencegahan terorisme ini telah diatur dalam peraturan pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2019 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme melalui Kesiapsiagaan Nasional, Kontra-Radikalisasi dan Deradikalisasi. Bahkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan Esktremisme Berbasis Kekerasan (RAN PE) bisa mengatur lebih sinergis antara pemerintah pusat dan daerah.

 

Postur pencegahan terorisme

 

Postur pencegahan dalam tiga model tersebut belum terlihat secara maksimal. Atau jika merujuk undang-undang harusnya bisa sampai pada proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan. Pemerintah dalam hal ini BNPT sepertinya belum menyediakan postur dari kesiapsiagaan nasional meski sekadar menyiapkan data pemetaan wilayah rawan paham radikal terorisme berbasiskan teknologi. Ini bisa meniru penanganan Covid-19 di mana masyarakat bisa secara terbuka melihat beberapa wilayah yang masuk wilayah dengan penyebaran virus paling tinggi yang kemudian ditandai dengan zona merah.

 

Dengan begitu masyarakat bisa terlibat meski tidak harus menunggu kehadiran negara dalam pencegahan terorisme. Masyarakat sering diminta terlibat dalam penanganan terorisme dalam bidang pencegahan, akan tetapi pemerintah tidak pernah memberikan data awal dari pemetaan daerah-daerah rawan penyebaran paham radikal terorisme.

 

Pemerintah juga belum terlihat menggandeng kementerian atau lembaga terkait sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang. Tiga kementerian atau lembaga yang paling mungkin melakukan kesiapsiagaan nasional adalah kementerian dalam negeri, kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sebab, penyebaran mereka sampai ke tingkat desa atau kelurahan.

 

Kemudian kontra radikalisasi juga demikian. Narasi para pelaku teror masih sama dari mulai orang atau kelompok yang berafiliasi dengan Jemaah Islamiyah (JI) sampai Jamaah Ansharu Daulah (JAD). Bahkan, narasinya lebih berkembang. Itu artinya bahwa narasi itu belum benar-benar mati. Dua surat wasiat peninggalan pelaku teror di Makassar dan Mabes Polri adalah bukti dari narasi itu masih eksis.

 

Pelaku teror di Makassar pada 29 Maret 2021 dilakukan oleh pasangan suami-istri. Dalam surat wasiat yang ditinggalkannya, pelaku meyakini bahwa aksi bom bunuh diri yang mereka lakukan bisa mengantarkannya ke surga. Pelaku teror di Mabes Polri, Zakiya Aini, juga mengatakan hal yang serupa.

 

Dua kasus bom ini memperlihatkan belum maksimalnya program kontra-radikalisasi yang dilakukan BNPT. Pada pelaksanaannya bisa meniru penanganan Covid-19, bisa mengeluarkan kata-kata sederhana dam melekat, seperti jaga jarak, pakai masker, cuci tangan, hindari kerumunan, dan lain sebagainya.

 

Kementerian yang bisa diorong untuk bertanggung jawab sangat mungkin dari Kementerian Agama. Kementerian ini juga memiliki unit kerjanya sampai ke tingkat kecamatan. Dalam beberapa hal juga bisa dilibatkan pada kesiapsiagaan nasional dan deradikalisasi. Bahwa kemudian melibatkan organisasi keagamaan dalam pelaksanaannya adalah sesuatu yang juga diamanatkan undang-undang.

 

Sementara deradikalisasi secara singkat keberhasilannya bisa diukur dengan tidak kembalinya para mantan teroris melakukan aksi terornya. Dari jaringan yang terkait dengan teror di Makassar, ada pelaku di antaranya adalah mantan teroris. Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) melaporkan sejak tahun 2002-Mei 2020 ada 94 orang residivis kasus terorisme dari 825 orang. Itu artinya ada sekitar 10-11 persen mantan teroris yang Kembali beraksi.

 

Program deradikalisasi memang memiliki tantangan tersendiri. Sebab, mereka berhadapan dengan para pelaku teroris langsung. Tapi, kesempatan program ini ketika mereka berada di dalam penjara. Pelaksana yang paling kompeten, tentunya adalah pihak Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang bisa juga dibantu oleh penyuluh agama, pekerja sosial, dan penyuluh kesehatan. Ini tentu di bawah koordinasi langsung BNPT sebagaimana diamanatkan undang-undang. Setelah lepas dari Lapas, amanat pekerjaan bisa digarap oleh Kementerian Sosial dan Kementerian Tenaga Kerja.

 

Konsep pencegahan terorisme

 

Dari tiga model pencegahan, pada tataran konsepsi harus dilakukan dengan prinsip-prinsip keterbukaan dan dorongan kerja sama yang kuat dari sejumlah kelompok masyarakat sipil. Dimulai, pertama, dari membuka akses pemetaan daerah-daerah yang rawan pada penyebaran paham-paham radikal terorisme. Ini sembari dianalisis polanya karena tidak setiap wilayah yang rawan radikal terorismenya kemudian ada aksi teroris di sana.

 

Aksi terorisnya bisa di wilayah lain. Akan tetapi, fakta yang tidak bisa disembunyikan adalah masyarakat sekitar bisa direkrut secara langsung karena rawannya wilayah tersebut. Data ini tentunya bisa digunakan oleh masyarakat atau aparat negara yang paling bawah, yakni pejabat RT (rukun tetangga). Ini hanya bisa dilakukan oleh kementerian dalam negeri.

 

Kedua, posisi dalam undang-undang, masyarakat mendapatkan pemberdayaan oleh pemerintah. Dari sini, masyarakat akhirnya menunggu saja. Padahal, upaya pencegahan sangat membutuhkan peran serta sejumlah organisasi keagamaan moderat dua di antaranya adalah Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhamadiyah.

 

Bahasa publik terkait pelibatan mereka tentu tidak memungkinkan bahwa pemerintah melakukan pemberdayaan atau penguatan kapasitas terhadap dua organisasi tersebut. Jalan yang paling mungkin adalah menjembatani sejumlah organisasi keagamaan kepada lembaga-lembaga amal untuk membantu program pencegahan terorisme sehingga tercipta dorongan yang kuat dari sejumlah kelompok masyarakat sipil.

 

Selain itu, masyarakat sipil bisa dilibatkan dalam proyek penelitian dengan memperlihatkan bahwa ancaman teroris itu nyata. Dia mencuri anak, saudara dan teman-teman kita untuk kemudian dijadikan tumbal aksi teror yang bejat tersebut. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar