Sabtu, 29 Mei 2021

 

Parlemen di Jalanan

Budiman Tanuredjo ; Wartawan Senior Kompas

KOMPAS, 29 Mei 2021

 

 

                                                           

...Wakil rakyat seharusnya merakyat

 

Jangan tidur waktu sidang soal rakyat

 

Wakil rakyat bukan paduan suara

 

Hanya tahu nyanyian lagu setuju…

 

Refrain lagu ”Wakil Rakyat” yang dinyanyikan Iwan Fals saya dengar dari mobil dalam perjalanan ke Yogyakarta. Beberapa kali saya resapi lirik lagu Iwan, ”…Wakil rakyat seharusnya merakyat…”. Rasanya lirik lagu itu pas dengan suasana kebatinan sekarang ini. Kritik sosial dari lagu-lagu Iwan pada saat DPR Orde Baru terasa relevan dan menemukan aktualisasinya kini.

 

Tiba-tiba, saya teringat ketika seorang anggota Komisi III DPR berbicara bahwa anggota DPR akan menggunakan pelat nomor mobil khusus. Anggota DPR yang terhormat memiliki mobil pribadi dengan pelat nomor yang didesain khusus. Pelat nomor itu merujuk tempat anggota DPR bertugas, komisi dan nomor urut.

 

Latar belakangnya agar jika ada anggota DPR melanggar saat menjalankan tugas konstitusionalnya akan langsung ketahuan. Permintaan pelat nomor khusus diajukan Sekjen DPR atas usulan Majelis Kehormatan Dewan (MKD). Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco dari Fraksi Partai Gerindra seperti dikutip sejumlah portal berita daring mengatakan, dengan nomor khusus MKD bisa mengetahui secara pasti kendaraan dinas anggota DPR.

 

”Agar mudah dipantau di DPR sendiri, gampang dikenali mana anggota, mana bukan. Di jalan raya bisa dipantau apabila kemudian ada mobil yang melakukan pelanggaran,” ujar Dasco.

 

Polri telah mengeluarkan telegram untuk menyosialisasikan adanya pelat nomor khusus bagi anggota DPR.

 

Pelat nomor khusus bagi anggota DPR banyak dikritik. Ada yang menyebut pelat nomor khusus bagi anggota DPR hanya untuk gagah-gagahan, untuk mendapatkan privilese di jalan raya. Seorang anggota DPR menanggapi, ”Saya sudah lihat contohnya. Kalau alasannya seperti mobil TNI, Polri, Kemenhan, dan Lemhannas, itu semua mobil dinas. Kalau ini mobil pribadi. Saya tidak berminat. Aneh-aneh saja,” tulis seorang anggota Komisi I DPR melalui pesan Whatsapp kepada saya.

 

Kritik datang tentunya karena kinerja DPR yang mengecewakan. Citra DPR dan partai politik paling buruk dibandingkan lembaga negara lain. Target legislasi tidak tercapai. Legislasi yang dibuat cenderung mengabaikan aspirasi publik. Sebut saja revisi UU Mahkamah Konstitusi yang memperpanjang usia jabatan hakim konstitusi menjadi 70 tahun. Untuk kepentingan siapa? Itu, kan, hadiah untuk hakim konstitusi yang punya fungsi dan bisa membatalkan undang-undang yang diproduksi DPR dan pemerintah.

 

Revisi UU KPK ditolak publik, tetapi disahkan DPR. Presiden Jokowi menyetujui, tetapi tidak menandatangani. Dampak revisi UU KPK terbukti hingga kini. KPK yang dipimpin Komisaris Jenderal (Pol) Firli Bahuri terus dilanda masalah internal. Dewan Pengawas KPK yang didesain sebagai pengawas juga tak berkutik. Sebanyak 51 pegawai KPK ditandai centang merah, bukan buku merah, yang pernah menghebohkan KPK. Tanda merah ditujukan kepada pegawai KPK yang disebut tak bisa dibina lagi untuk menjadi aparatur sipil negara (ASN). Alasan Wakil Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Supranawa Yusuf, waktu tidak cukup untuk membina pegawai yang dicentang merah.

 

Padahal, untuk seorang teroris yang telah melakukan tindakan terorisme, pemerintah memperkenalkan deradikalisasi untuk menjadikan orang radikal menjadi lebih moderat. Namun, bagi pegawai KPK yang telah bekerja memberantas korupsi, justru vonis ”mati” diajukan, ”Mereka tidak lagi bisa dibina”.

 

Kisruh itu akibat revisi UU KPK yang inisiatifnya dari DPR. Kini, ketika kisruh berlanjut, DPR diam. Wakil Ketua DPR malah memanggil penyidik KPK ke rumah dinas dan mempertemukannya dengan pihak terkait dalam penyelidikan itu. Kemudian, ada permintaan dari pihak terkait itu agar penyelidikan tak naik ke penyidikan. Dugaan pelanggaran itu nyata, tetapi MKD juga belum berbuat apa-apa. Terasa ironis.

 

Pelat nomor khusus anggota DPR rasanya bagus saja, jika anggota DPR mau jemput bola menyerap aspirasi. Anggota Komisi III yang membidangi hukum dengan pelat nomor khususnya bisa mendatangi pegawai KPK yang dipecat ataupun yang tak dipecat, mendatangi pimpinan KPK, Dewan Pengawas KPK, mendatangi BKN, untuk membantu mencari model tes seperti apa yang dilakukan BKN.

 

Wakil rakyat harus punya compassion terhadap derita rakyat dan menyuarakan suara rakyat. DPR harus punya kemampuan teknis menyerap suara rakyat. DPR harus always connecting dengan rakyat. Semoga, pelat nomor khusus bisa membuat ”parlemen selalu berada di jalan”. Always connecting dengan rakyat.

 

Di tengah revolusi digital, always connecting wakil rakyat dengan rakyat bisa dilakukan dengan bantuan teknologi digital. Anggota DPR bisa terkoneksi dengan daerah pemilihannya, menggali aspirasi, dan melaporkan kinerjanya kepada rakyat. Tapi karena prinsip always connecting masih terlalu maju, ya jadikan ”parlemen di jalanan” dengan pelat nomor khusus sebagai tempat tujuan rakyat mengadu. Kembali terdengar syair lagu Iwan.

 

...Di hati dan lidahmu kami berharap

 

Suara kami tolong dengar lalu sampaikan

 

Bicaralah yang jantan jangan hanya diam…. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar