Minggu, 23 Mei 2021

 

Di Kalasan, Waktu Buku Berhenti

Anas Syahrul Alimi ;  Ketua Bidang Pengembangan dan Pendidikan Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI); CEO Prambanan Jazz Festival

KOMPAS, 22 Mei 2021

 

 

                                                           

Sejak kelas I MAN Yogyakarta 1, saya tinggal di Kalasan. Tepatnya nyantri sekaligus nyantrik di Pesantren Raudhatul Muttaqien. Jika saya menyebut diri dari Yogya, artinya saya tinggal di Kalasan. Mungkin, pembaca kurang akrab dengan Kalasan. Namuun, jika saya sebutkan Prambanan, semua langsung mengenalinya. Kalasan itu bersisian dengan Prambanan.

 

Saya tidak sedang membicarakan mahakarya Prambanan itu yang dalam setengah dekade mutakhir dikenali sebagai latar dari megatrend industri kreatif di bidang musik, Prambanan Jazz Music International Festival. Bukan. Saya ingin merenungkan tentang saya dan Kalasan.

 

Di Kalasan-lah visualisasi dari isi bacaan tertua di Nusantara terpahatkan. Pernyataan itu datang dari filolog dan ahli sastra Jawa masyhur, Prof Dr RM Ng Poerbatjaraka. Kata pendiri program studi Sastra Indonesia di UI dan UGM ini, Tjanda Karana yang tertulis di atas daun tal dan berisi tembang atau nyanyian itu menukil riwayat raja keturunan Wangsa Syailendra yang mendirikan Candi Kalasan pada 700 Saka.

 

Ya, di poros mahakarya antara Borobudur dan Prambanan terdapat Kalasan sebagai candi yang riwayatnya kompatibel dengan, sekali lagi meminjam suara maestro Poerbatjaraka, ”kitab batjaan jang tertua”.

 

Saya pun masygul dan merenung. Sebagai salah satu bagian dari arus kehebohan munculnya industri rumahan perbukuan alternatif di Yogyakarta pada 1999, saya sesungguhnya selalu menghindari bisnis bacaan ini. Terutama, saat saya mengucapkan selamat tinggal pada 2004. Saya merasa, dunia buku ini mengutuk jalan hidup saya. Di bukulah saya mengenal bagaimana sakitnya bangkrut dalam usaha dan hidup berada di titik nadir.

 

Namun, setiap kali saya menjauh, saya selalu ditarik kembali. Termasuk ketika bisnis panggung musik yang saya helat dihajar oleh kegagalan; dunia buku yang saya jauhi seperti sekoci kecil yang datang mendekat dan membuka dirinya untuk saya pegangi tatkala nyaris kewalahan diombang-ambingkan nasib baik yang menjauh.

 

Tidak pernah saya lupa kejadian bagaimana buku yang saya terbitkan enam tahun sebelumnya, Rahasia Sufi, mengetuk pintu kemalangan bisnis saya. Ada distributor buku besar di Surabaya yang entah bagaimana memesan buku karya Syaikh Abdul Qadir Al Jailani itu dalam jumlah sangat fantastis.

 

Karena sekoci penyelamat itulah perusahaan pertunjukan musik saya beri nama Rajawali. Jangan keliru, itu bukan representasi dari burung (garuda). Itu adalah pengindonesiaan dari gelar Syaikh Abdul Qadir Al Jailani yang digelari ”Sulthanul Auliya”, rajanya para wali.

 

Mula-mula, saya merasa bahwa keberkatan ekonomi dari buku dari rajanya wali-wali ini yang membuat saya tetap berada dalam pelukan industri perbukuan. Bahkan, kecintaan dan intimasi kepada buku itu saya ikat dalam pegelaran panggung yang megah, diskusi literasi, serta pameran buku bernama Mocosik dengan tagline ”Book and Music Festival”.

 

Saya menambahkan bahwa ada yang lebih sublim dari itu semua. Saya selalu ada dalam energi buku karena pancaran energi Kalasan di mana saya telah di sini sejak masa pencarian eksistensi saya sebagai manusia muda dimulai.

 

Di Kalasan, karya Maharaja Tejapurnapana Panangkaran itu menyatu dalam kesadaran. Tentu saja, kesadaran dan sekaligus kebanggaan itu bukan karena dipicu bahwa pada 2016, sebuah gim komputer Age of Empires II yang mengisahkan ekspansi keempat kebangkitan Sang Raja memakai pola Candi Kalasan sebagai mandala ajaib peradaban.

 

Kesadaran saya bersifat sehari-hari lantaran Kalasan adalah bagian hidup saya yang tidak terpisahkan. Betapa tidak, bangunan suci satu abad lebih tua dari Prambanan dan Borobudur itu nyaris tiap hari saya lewati; dari sejak saya pertama kali belajar seluk-beluk ilmu agama di MAN 1, menekuni studi psikologi (pendidikan), menjadi jurnalis kampus, mencoba memantapkan cita menjadi jurnalis profesional, membikin rupa-rupa nama penerbitan buku, hingga menjadi promotor musik seperti saat ini.

 

Batu tua persegi delapan yang berisi penghormatan atas keanggunan Dewi Tara Bhawana itu seperti monumen suci yang menjadi saksi agung bagaimana saya berproses. Bermula dari berbisnis buku, melangkah ke industri (panggung) musik, lalu bolak-balik di antara keduanya.

 

Bisa disebutkan, Kalasan adalah ari-ari penting yang di sana terpaku buku-batu yang sampai kini masih terpelihara dari mereka yang menghargai budi luhur (keluhuran budaya) sebagai proses yang panjang dan jauh dalam etape pencapaian kreativitas. Saya menyadari, monumen adalah artefak kukuh dari mana pride atas goresan masa silam terpacak di dada.

 

Kalasan adalah sulur plasenta dari mana tubuh literasi saya mendapatkan pasokan gizi. Lalu, di Prambanan yang anggun dan di Borobudur yang teduh, saya persembahkan tembang-tembang kontemporer milenium ketiga yang berpendaran secara harmonis dengan pancaran nilai-nilai mahakarya milenium pertama yang tertanam di ceruk batu-batu tua yang nilainya tak tertandingi itu.

 

Di Kalasan, waktu buku berhenti. Lalu, berawal. Dengan alasan buku batu kalasan, saya mengelanai dunia di mana buku dan musik saling menimba dan menembang; di Frankfurt Book Fair, di London Book Fair, di Shanghai Book Fair.

 

Sejauh berangkat, saya kembali. Di altar Dewi Tara di Kalasan, saya lalu menghirup aroma daun tal dari ”kitab batjaan jang tertua” bertitel Tjanda Karana itu. Dan, dari Kalasan pula, saya berucap sepenuh hikmat selamat Hari Buku Nasional. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar