Selasa, 18 Mei 2021

 

Benang Kusut Konflik Israel Vs Palestina

Trias Kuncahyono ;  Wartawan Senior

KOMPAS, 17 Mei 2021

 

 

                                                           

Mengikuti konflik bersenjata Israel-Palestina yang pecah beberapa hari terakhir ibarat menonton film perang yang diputar ulang. Berulang kali keduanya terlibat konflik dengan pola yang sama, pun pula dengan korban jiwa banyak.

 

Bermula dari kebijakan diskriminatif, kolonialistik, dan represif Israel di Jerusalem dan sekitarnya yang dilawan oleh orang-orang Palestina, dijawab tindakan lebih represif oleh polisi Israel, lalu dibalas tembakan rudal oleh kelompok Hamas di Jalur Gaza, dan dijawab lagi dengan tindakan militer tentara Israel. Begitu yang tiap kali terjadi. Selalu berulang.

 

Konflik kali ini disebut yang terburuk sejak 2014. Pada 27 Desember 2008, pecah konflik antara keduanya setelah ambruknya gencatan senjata yang disepakati pada Juni 2008. Dengan operasi militer Operation Cast Lead, Israel melancarkan serangan darat ke Jalur Gaza sebagai balasan (dalih Israel) serangan rudal Hamas (Congresional Research Service, Israel and Hamas: Conflict in Gaza, 2008-2009).

 

Walau komunitas internasional menekan kedua pihak agar menghentikan perang—bahkan DK PBB menerbitkan Resolusi 1860 pada 8 Januari 2009—konflik berlanjut hingga 18 Januari. Akhirnya, masing-masing secara sepihak menyatakan gencatan senjata. Korban tewas di pihak Palestina 1.440 orang, Israel hanya kehilangan 13 orang! (Jalur Gaza, Tanah Terjanji, Intifada, dan Pembersihan Etnis, 2009).

 

Pada 2012, pecah lagi konflik yang dimulai 14 November, setelah Israel melancarkan serangkaian serangan udara di Gaza. Menurut Israel, tindakan itu dilakukan untuk menjawab serangan roket Hamas. Akhirnya, 21 November 2012, mereka sepakat gencatan senjata.

Dua tahun kemudian, 2014, muncul ketegangan baru yang disusul konflik bersenjata yang di akhir perang tercatat 2.100 orang Palestina tewas dan penghancuran wilayah Gaza. Perang dipicu oleh hilangnya tiga remaja Israel di Tepi Barat pada 12 Juni 2014. PM Benjamin Netanyahu menuduh Hamas penculiknya. Lalu, pasukan keamanan Israel melancarkan serangan besar-besaran di Tepi Barat untuk mencari anak laki-laki yang hilang dan untuk menindak anggota Hamas dan kelompok militan lainnya.

 

Tempat suci

 

Pola di atas berulang lagi kali ini. Nyala api konflik sebenarnya sudah mulai terlihat sejak pertengahan April lalu. Saat itu, terjadi bentrokan di jalan-jalan kota Jerusalem—kota yang diklaim kedua belah pihak sebagai ibu kota negara mereka—antara orang-orang Palestina dan pihak keamanan Israel.

 

Ketika bulan Ramadhan mulai, otoritas Israel memblokir Gerbang Damaskus, akses ke Temple Mount (orang Yahudi) atau Haram esh-Sharif (Muslim), Kota Lama Jerusalem. Hanya diizinkan 10.000 jemaah masuk ke sana. Tempat itu diyakini berada di bagian timur Gunung Moria, tempat di mana Abraham (Yahudi, Kristen) atau Ibrahim (Islam) mengorbankan anaknya, Iskak (Yahudi, Kristen) atau Ismail (Islam).

 

Di tempat seluas 144.000 itu berdiri Jami’ Al-Aqsha (bangunan berkubah biru) dan Qubbat As-Sakhrah atau Dome of the Rock atau Kubah Shakhrah (bangunan berkubah emas) dan berbagai situs lainnya. Orang sering pula menyebut Haram esh-Sharif sebagai Kompleks Masjid Al Aqsa.

 

Di Qubbat As-Sakhrah dulu terjadi peristiwa Mi'raj Nabi Muhammad SAW. Mi'raj adalah perjalanan Nabi dari bumi menuju Sidratul Muntaha, langit ketujuh, yang merupakan tempat tertinggi. Karena itu, Jerusalem jadi kota tersuci ketiga setelah Mekkah dan Madinah. Jerusalem pernah jadi kiblat umat Islam pada periode awal sebelum dipindah ke Mekkah.

 

Sementara orang-orang Yahudi meyakini di kompleks itu pula dahulu dibangun Kenizah Allah Pertama (1000-576 SM) yang dihancurkan oleh Babilonia dan Kedua (586 SM-70 M) dan dihancurkan oleh Romawi. Mereka berkeyakinan bahwa nantinya di akhir zaman Yahwe Tuhan Allah mereka akan hadir kembali dalam kepenuhan-Nya.

 

Selain berkaitan dengan Kompleks Masjid Al Aqsa, api konflik juga muncul setelah terjadi pawai ribuan ultranasionalis Israel pada 6 Mei 2021. Pawai itu untuk merayakan ”Hari Jerusalem”, yang menandai direbutnya Jerusalem Timur dari tangan Jordania pada Perang Enam Hari (1967). Saat itu, terjadi insiden yang menyebabkan eskalasi yang melibatkan pasukan keamanan Israel. Mereka menembakkan peluru karet, gas air mata, dan granat setrum kepada jemaah yang berkumpul di Masjid Al Aqsa.

 

Paling sensitif

 

Tempat itu digambarkan sebagai ”situs paling sensitif dalam konflik Israel-Palestina”. Tempat itu kerap kali dijadikan panggung aksi politik. Misalnya, Jenderal Ariel Sharon (yang kemudian jadi perdana menteri) pada 28 September 2000, bersama sejumlah pejabat dikawal ratusan polisi antihuru-hara dan tentara bersenjata lengkap memasuki kompleks itu dan mendudukinya. Tindakan itu dianggap penodaan tempat suci.

 

Sharon memprovokasi orang-orang Palestina dengan mengatakan, ”Temple Mount di tangan kami.” Ia mengulang pernyataan yang pada 1967 disiarkan Israel setelah merebut Jerusalem Timur dari Jordania. Tindakan Sharon membakar kemarahan orang-orang Palestina yang baru saja memperingati pembantaian Sabra dan Shatila (1982), Lebanon. Sharon dipersalahkan dan dianggap bertanggung jawab karena tidak dapat menghentikan pertumpahan darah itu setelah invasi Israel ke Lebanon.

 

Kemarahan orang-orang Palestina itu melahirkan Intifada Kedua (Intifada Pertama, Desember 1987-September 1993), yang juga disebut Intifada Al Aqsa. Namun, menurut Komite Mitchell—komite yang dipimpin mantan senator AS, George Mitchell, yang bertugas mencari fakta penyebab pecahnya Intifada Kedua—penyebab Intifada Kedua begitu kompleks.

 

Salah satu faktornya adalah tindakan Sharon. Penyebab lainnya adalah terus berlanjutnya pendudukan Israel atas wilayah Palestina. Orang-orang Palestina berpikir, setelah kesepakatan Oslo 1993, kehidupan akan menjadi lebih baik, kebebasan semakin besar, serta pengakhiran kontrol dan pendudukan oleh Israel. Dan, pada akhirnya, tahun 1998, Negara Palestina Merdeka berdiri.

 

Namun, kenyataanya tidaklah demikian. Pendudukan Israel terus berlanjut, bahkan semakin meluas. Perundingan Camp David 2000 pun tidak membuahkan hasil.

 

Intifada Kedua—mulai September 2000 hingga akhir 2005—menurut Palestinian Center for Human Rights menewaskan sedikitnya 4.973 orang Palestina dan sekitar 1.400 orang Israel. Meski Intifada Kedua sudah berakhir, kondisi orang-orang Palestina tidak membaik, justru sebaliknya karena pendudukan di Tepi Barat terus dilakukan dan diperluas wilayahnya.

 

Otoritas Palestina tidak berdaya. Ini yang mendorong rakyat Palestina menjatuhkan pilihannya kepada Hamas dalam Pemilu Legislatif 2000. Hamas kemudian pada 2007 menguasai Jalur Gaza. Dari sana mereka melakukan perlawanan terhadap Israel, seperti sekarang.

Semakin kusut

 

Jelaslah kiranya bahwa Al Aqsa yang memiliki arti penting dalam agama dan politik adalah salah satu penyumbang kekusutan konflik Israel versus Palestina. Ada, sekurang-kurangnya, lima sumber kekusutan konflik itu, yakni masalah perbatasan, pengungsi, keamanan, air, dan status Jerusalem.

 

Hal lain yang juga menambah kekusutan proses perdamaian adalah ketidakkompakan antara Fatah dan Hamas. Meski demikian, Februari lalu, difasilitasi Mesir, para pemimpin Fatah dan Hamas bersepakat menyelesaikan perpecahan lama di antara mereka. Mereka berencana mengadakan pemilu pada tahun ini.

 

Pada akhirnya, harus diakui, bahwa upaya menyelesaikan konflik melintas abad ini masih belum jelas. Yang pasti, ketidakadilan, ketidakamanan, dan kesengsaraan yang disandang orang-orang Palestina yang tinggal di wilayah antara Sungai Yordan dan Laut Tengah sudah demikian dalam. Semua itu menyatu dalam kehidupan keseharian mereka.

 

Sementara itu, Israel semakin memperdalam cengkeraman kuku kekuasaan dan penguasaannya atas wilayah Tepi Barat; dan juga kehidupan orang-orang Palestina. Apabila konflik sekarang ini berlanjut, dikhawatirkan akan melahirkan Intifada Ketiga, yang akan kian menambah penderitaan mereka, sementara yang namanya perdamaian entah di mana. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar