Sabtu, 22 Mei 2021

 

Aib

Ariel Heryanto ;  Profesor Emeritus dari Universitas Monash, Australia

KOMPAS, 22 Mei 2021

 

 

                                                           

Jarang sebuah film memicu debat emosional berskala nasional sebelum film itu ditayangkan meluas. Kini terjadi di Belanda dengan film De Oost (2020, Jim Taihuttu) atau "Timur". Film ini dirilis di Amazon Prime (Belanda-Jerman-Belgia) minggu lalu. Baru sekali diputar perdana di Festival Film Belanda (September 2020).

 

De Oost menggambarkan ganasnya pasukan tentara KNIL pimpinan Raymond Westerling yang ditugaskan "menumpas pemberontak dan teroris" di Hindia Belanda yang sudah jadi RI. Protagonis dalam film ini Johan de Vries, relawan muda Belanda yang direkrut untuk membantu terciptanya "Indonesia damai". Tapi pengalaman di medan perang merontokkan keyakinannya pada kebijakan negara sendiri.

 

Tahun lalu film itu sudah diprotes sejumlah organisasi di Belanda, termasuk federasi veteran Indo di Belanda (FIN). Debat publik meluas beberapa hari belakangan. Bulan ini ada gugatan hukum di pengadilan dan demonstrasi di depan gedung pengadilan. Minggu lalu pengadilan menggugurkan gugatan FIN, pembuat film dianggap tidak bersalah.

 

FIN menilai film itu mencemarkan nama baik pejuang KNIL yang dulu bertempur membela negara. Film itu dianggap propaganda "anti-Belanda". Dalam surat terbuka Palmyra Westerling, putri Raymond Westerling, mengecam De Oost yang dinilai memalsukan sejarah. Yang lebih merisaukan para pengecamnya, produksi film itu disertai bahan ajaran untuk siswa Belanda tentang penjajahan Hindia Belanda.

 

Jika film itu diputar di Indonesia hampir pasti tidak akan diprotes ramai. Ia mendukung propaganda nasionalis yang sudah ditelan beberapa generasi sejak di sekolah dasar. Kisah jahatnya kolonial Belanda juga berlimpah dalam hampir semua film Indonesia bertema revolusi kemerdekaan.

 

Di Belanda De Oost menggaruk luka bangsa. Untuk perbandingan, bayangkan jika ada film Indonesia tentang peristiwa Santa Cruz di Dili (12 November 1991). Atau tentang operasi bumi hangus seusai Referendum Timor Timur (30 August 1999). Bahkan Balibo (2009, Robert Connolly) buatan negara lain saja batal tayang sesudah dijadwal dalam Jakarta International Film Festival (2009). Terlepas dari mutunya, De Oost adalah film Belanda pertama yang menabrak tabu nasional. Tapi ia hanya satu mata rantai dari sederet panjang gugatan pada tabu yang sama. Berpuluh tahun terakhir sudah tampil veteran perang, sarjana dan jurnalis Belanda yang angkat suara. Awalnya suara mereka langka dan diabaikan. Belakangan seruan itu meluas dan lantang.

 

Kebenaran tak pernah dimonopoli satu pihak. Debat di Belanda tidak akan segera tuntas dengan kesepakatan bulat bersama. Terlepas apa hasilnya kelak, debat terbuka itu sendiri sebuah langkah awal yang terpuji.

 

Lebih dari 100 tahun lalu Ernest Renan berpendapat kekejaman luar biasa di masa lalu menjadi faktor terpenting dalam terbentuknya bangsa-bangsa di dunia. Semua bangsa mewarisi aib demikian. Kebanyakan menguburnya hidup-hidup sebagai tabu.

 

Jerman menjadi salah satu negeri paling sukses membongkar sejarah aib nasional. Segelintir negara lain (termasuk Afrika Selatan, Australia dan Amerika Serikat) menyatakan permintaan maaf secara resmi atas kekejaman negara di masa lampau. Permintaan maaf Raja Belanda ketika berkunjung ke Indonesia (2020) atas kekejaman kolonial merupakan bagian dari proses panjang yang memanas di Belanda.

 

Berbagai usaha di beberapa negara itu ditolak sebagian pihak karena dianggap berlebihan. Tapi dianggap kurang memadai oleh pihak lain. Dibutuhkan usaha maraton beberapa generasi untuk pemulihan luka-luka bangsa yang diderita semua pihak yang dulu saling bermusuhan.

 

Kompleksnya setiap peristiwa konflik besar masa lalu menyulitkan kesepakatan di masa kemudian. Dalam laporan berita, penulisan sejarah, kampanye politik atau kisah fiksi, kompleksitas itu tidak tertampung utuh. Bukan hanya karena terbatasnya ruang atau waktu pembahasan. Tapi tak ada medium bahasa, tekstual, visual, audio atau pun sinematik yang memadai.

 

Lebih parah jika ada kesengajaan negara untuk membesar-besarkan bagian tertentu dari masa lampau yang menguntungkan dan mengabaikan bagian-bagian lain yang dianggap merugikan. Peristiwa sejarah yang kompleks berwarna-warni dikemas jadi pertentangan hitam/putih, kita/mereka, salah/benar. Ini yang sering terjadi.

 

Tahun 1946-1949 dikenang di Belanda semata-mata atau terutama sebagai masa "teror" massa pribumi. Pembantaian, perkosaan, penjarahan menimpa ribuan warga sipil berkulih putih dan warga berkulit-coklat yang dianggap dekat Belanda. Ratusan ribu warga Indo meninggalkan tanah airnya dan telantar di banyak negara sebagai pengungsi. Juga warga Maluku termasuk leluhur Jim Taihuttu (sutradara De Oost). Itu aib nasional RI yang pertama, bukan terakhir, setelah merdeka dan masih menjadi tabu hingga kini.

 

Tanggapan Belanda terhadap "teror" di Indonesia itu juga "teror" dalam skala lebih besar yang digambarkan De Oost. Puluhan ribu warga biasa di Indonesia gugur sebagai korban agresi militer mereka. Itulah aib besar Belanda di mata dunia. Itu aib Belanda yang paling akhir, bukan satu-satunya, sejak dibentuknya Hindia Belanda sebagai satu negara utuh dengan harga mati. Di Belanda aib nasional itu ditabukan selama berpuluh tahun.

 

Setiap bangsa menanggung aib kekejaman leluhurnya. Tapi umumnya yang diketahui hanya aib bangsa lain. Bukannya mereka menyangkal atau lupa. Mereka sama sekali tidak tahu-menahu. Mereka hanya diajar sebagai bangsa yang menjadi korban kekejaman bangsa lain.

 

Film Indonesia bertema kemerdekaan nasional umumnya menampilkan kepahlawanan orang Indonesia melawan penjajah, dan kejamnya kaum berkulit putih. Film Belanda bertema kemerdekaan nasional umumnya menampilkan kepahlawanan rakyat Belanda melawan penjajahan Nazi.

 

Dari Indonesia dunia sudah belajar tentang perjuangan menolak kolonialisme, bersemboyan "kemerdekaan adalah hak setiap bangsa". Dari Belanda kini dunia menanti (jika ada) hikmah perjuangan mereka mengakui kejahatan bangsa sendiri, dan mengajar generasi mudanya berdamai dengan aib nasional yang berpuluh tahun disembunyikan negara. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar