Sabtu, 29 Mei 2021

 

Menyikapi Merger ”Big Techs”

Agus Sugiarto ;  Kepala OJK Institute

KOMPAS, 25 Mei 2021

 

 

                                                           

Beberapa hari lalu, dua pelaku usaha di sektor ekonomi digital Indonesia, Gojek dan Tokopedia, telah menyampaikan informasi kepada publik untuk melakukan merger dan berubah namanya menjadi GoTo.

 

Merger yang dilakukan oleh Gojek dan Tokopedia tersebut termasuk dalam kategori merger vertikal, yaitu untuk menggabungkan bisnis inti mereka dari hulu ke hilir.

 

Gojek memiliki keunggulan dalam melakukan transportasi ritel untuk penumpang dan barang, sedangkan Tokopedia merupakan raksasa e-commerce yang bergerak dalam bisnis penjualan barang dan jasa secara ritel dengan platform customer-to-customer (C2C).

 

Aksi merger tersebut termasuk salah satu megamerger terbesar dalam sejarah perusahaan di Indonesia, setelah megamerger beberapa bank pemerintah menjadi Bank Mandiri akibat krisis moneter 1998. Bergabungnya kedua raksasa tersebut menjadi satu entitas baru, tentunya menjadikan mereka sebagai raksasa ekonomi digital terbesar, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di Asia Tenggara.

 

Kehadiran GoTo memberikan kebanggaan pada bangsa Indonesia dan sekaligus mengingatkan bangsa-bangsa lain Indonesia sudah selayaknya menjadi salah satu hub ekonomi digital terbesar di Asia. Dunia tak bisa lagi memandang remeh besarnya potensi ekonomi digital yang sedang tumbuh dan berkembang di Indonesia saat ini.

 

Dampak ekonomi

 

Jumlah penduduk 270 jiwa dan pengguna internet saat ini yang mencapai 202,6 juta orang, menjadikan potensi ekonomi digital ke depan sangat menjanjikan. Walaupun saat ini kontribusi ekonomi digital di Indonesia belum mencapai 5 persen dari produk domestik bruto (PDB), tetapi dengan munculnya raksasa-raksasa big tech baru, diharapkan peran ekonomi digital menjadi semakin besar. Ekonomi digital inilah yang nantinya menjadi salah satu pilar dan tulang punggung pertumbuhan ekonomi Indonesia jangka panjang.

 

Dari hasil merger kedua big tech ini diperkirakan total nilai transaksi kotor (gross transaction value) mencapai 22 miliar dollar AS atau sekitar Rp 319 triliun dengan kurs Rp 14.500 per dollar AS. Sementara valuasi perusahaan baru hasil merger diperkirakan sekitar 18 miliar dollar AS-20 miliar dollar AS atau sekitar Rp 261 triliun-Rp 290 triliun.

 

Capaian angka ekonomi hasil merger sebesar itu tentunya menjadi sesuatu yang luar biasa mengingat kedua perusahaan tersebut baru berdiri sekitar sepuluh tahun yang lalu. Bahkan, valuasi GoTo tersebut ditengarai jauh melebihi valuasi dari perusahaan maskapai penerbangan nasional Garuda Indonesia, maupun perusahaan taksi terbesar di Indonesia, yaitu Bluebird, yang notabene kedua perusahaan tersebut telah berdiri puluhan tahun sebelumnya.

 

Dengan kekuatan nilai ekonomi yang sangat besar ini, GoTo bukan hanya mampu mendongkrak nilai penjualan ataupun keuntungan yang lebih besar di kemudian hari, melainkan juga mampu memberikan keuntungan ekonomi lain. Pertama, merger vertikal ini akan menciptakan suatu sinergi baru dari kedua bidang usaha berbeda yang sebelumnya dimiliki oleh Gojek dan Tokopedia.

 

Kedua, sinergi tersebut nantinya mampu menciptakan pengembangan usaha baru di luar bisnis inti yang telah mereka geluti sekarang ini. Ketiga, proses bisnis maupun mekanisme kerja menjadi lebih efisien dan cepat, karena tidak ada hambatan prosedur dan birokrasi yang rumit. Keempat, mendorong inovasi produk maupun layanan lain dengan menggabungkan keunggulan teknologi dan pengalaman yang telah mereka miliki sebelumnya.

 

Konsumen GoTo yang saat ini diperkirakan sekitar 100 juta orang yang mengakses setiap bulan bisa bertambah lagi jumlahnya setelah mereka merger.

 

Pemerintah sendiri juga akan diuntungkan dalam beberapa hal. Pertama, dengan semakin berkembangnya kegiatan usaha GoTo ke depan, pemerintah pun juga akan mendapatkan potensi penerimaan pajak yang lebih besar lagi. Kedua, kontribusi GoTo terhadap PDB yang sudah mencapai sekitar 2 persen terus dapat ditingkatkan.

 

Ketiga, memperkuat daya saing bangsa dan negara Indonesia di mata dunia internasional, sehingga mendorong perekonomian nasional menjadi salah satu kekuatan ekonomi besar, khususnya di bidang ekonomi digital.

 

Aspek sosial

 

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa Gojek mampu menjaring lebih dari dua juta mitra pengemudi di seluruh Indonesia, sedangkan Tokopedia telah menjadi etalase penjualan barang dan jasa lebih dari 11 juta pelaku UMKM di Indonesia. Besarnya peran mereka dalam menciptakan peluang usaha dan kesempatan kerja untuk 13 juta orang tersebut, tentunya telah mendukung kesejahteraan ekonomi keluarga mereka.

 

Apabila setiap mitra GoTo tersebut menghidupi dua anggota keluarga lainnya, maka setidak-tidaknya mereka mampu memenuhi kebutuhan ekonomi untuk 39 juta orang. Di sinilah salah satu peran dari ekonomi digital yang tidak banyak diketahui oleh banyak orang bahwa digitalisasi memang akan memangkas sejumlah pekerjaan, tetapi di sisi lainnya akan menciptakan lapangan kerja baru.

 

Di samping itu, merger Gojek dan Tokopedia menjadi GoTo juga diharapkan mampu menciptakan lapangan kerja baru dan lebih luas sebagai dampak dari pengembangan kegiatan usaha baru mereka. Kita berharap nantinya GoTo bukan hanya menyerap 13 juta pelaku usaha saja, melainkan bisa membuka peluang kerja baru yang jumlahnya bisa menjadi dua kali lipat.

 

Kegiatan usaha baru tersebut bukan hanya membuka lapangan kerja baru di kota-kota besar saja, melainkan juga mampu membuka peluang pekerjaan baru di daerah-daerah lain. Masih banyak pelaku usaha UMKM yang jumlahnya jutaan di daerah-daerah yang selama ini belum memperoleh manfaat ataupun kerja sama dengan GoTo, diharapkan mampu menjadi bagian ekosistem maupun mitra bisnis dari GoTo.

 

Dampak monopoli dan persaingan usaha

 

Banyak orang sering memiliki prasangka bahwa merger dari perusahaan-perusahaan raksasa big tech akan menimbulkan monopoli dan juga mengganggu persaingan usaha. Argumen seperti itu tidak sepenuhnya benar karena merger yang dilakukan oleh mereka adalah merger vertikal. Berbeda sekali dengan merger horizontal yang melibatkan penggabungan dari pelaku usaha yang memiliki kegiatan usaha sejenis.

 

Kita ambil contoh misalnya Gojek melakukan merger dengan pelaku usaha sejenis yaitu Grab, atau Tokopedia melakukan merger dengan Shopee atau Bukalapak. Aksi merger horizontal tersebut secara teoretis berpotensi menimbulkan monopoli dan bisa menggangggu persaingan usaha yang sehat. Peta kompetisi berubah karena jumlah pemain besar menjadi dominan sehingga mampu mengontrol pasar, baik dari sisi harga, kualitas maupun aksesnya.

 

Di sinilah peran dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sangat besar untuk memastikan bahwa merger ini tak akan menciptakan monopoli, oligopoli, monopsoni maupun mengganggu persaingan usaha yang sehat. Alangkah baiknya jika KPPU bersedia memberikan opininya mengenai dampak merger dari Gojek dan Tokopedia tersebut terhadap persaingan usaha di pasar marketplace di Indonesia.

 

Dalam kasus mergernya Gojek dan Tokopedia tersebut, masih banyak pelaku usaha lainnya yang bergerak di sektor usaha yang sama sehingga mereka bukan pemain tunggal. Di samping itu, persyaratan untuk masuk menjadi pelaku usaha baru di bidang transportasi daring ritel maupun di sektor edagang juga masih terbuka lebar untuk semua pihak. Pasar ekonomi digital masih terbuka luas buat siapapun yang ingin menjadi pemain baru di sini.

 

Keterbukan dan transparansi

 

Kehadiran raksasa GoTo perlu kita dukung sepenuhnya sebagai fondasi dan cikal bakal menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara besar di bidang ekonomi digital. Namun, pertumbuhan ekonomi digital harus diikuti dengan tata kelola yang baik sehingga masyarakat semakin percaya dan juga mendorong terciptanya ekosistem digital yang tumbuh sehat dan stabil.

 

Salah satunya adalah dengan mengadopsi prinsip keterbukaan informasi mengenai perusahaan tersebut. Saat ini publik merasakan kesulitan untuk melihat kinerja keuangan maupun tata kelola dari para big tech yang sekarang beroperasi di pasar. Kita sulit mendapatkan laporan keuangan mereka karena kenyataanya mereka memang bukan perusahaan terbuka yang sudah terdaftar di bursa efek.

 

Oleh sebab itu, tidaklah berlebihan apabila GoTo perlu didorong agar segera bisa melantai di Bursa Efek Indonesia dan menjadi perusahaan terbuka sehingga para investor dan publik bisa melihat kinerja maupun tata kelola perusahaan tersebut. Bergabunganya mereka ke bursa efek juga akan menambah portofolio emiten yang bergerak di sektor ekonomi digital yang jumlahnya masih sangat sedikit.

 

Sudah saatnya GoTo menjadi salah satu bluechip perusahaan publik mengingat aset mereka sudah sangat besar dan menjadi salah satu pelaku ekonomi yang dominan di sektor ekonomi digital.

 

Selain memberikan transparansi, GoTo yang menjadi perusahaan terbuka bisa memberikan kesempatan kepada jutaan masyarakat Indonesia menjadi pemegang saham mereka. Tentunya upaya ini akan mendapatkan sambutan yang antusias dari masyarakat dan dukungan dari pemerintah. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar