Sabtu, 22 Mei 2021

 

Ekosistem Perbukuan Nasional

Damar Tri Afrianto ;  Dosen di Program Studi Desain Komunikasi Visual Institut Teknologi Telkom Purwokerto, esais dan Penulis Buku Dialektika Seni

KOMPAS, 22 Mei 2021

 

 

                                                           

Segelintir yang mengetahui bahwa  17 Mei diperingati sebagai Hari Buku Nasional. Momen ini diperingati atas dasar berdirinya Perpustakaan Nasional Republik Indonesia pada 1980. Berdirinya perpustakaan itu dilatarbelakangi bahwa pada tahun tersebut perbukuan dan minat baca yang memprihatinkan. Peran perpustakaan penting dalam perjalanan menumbuhkembangkan literasi bangsa.

 

Uniknya fenomena literasi hari ini menunjukkan sesuatu yang unbalanced (tidak seimbang) antara produksi buku dan tingkat membaca. Arita Nugraheni (Litbang Kompas, 2021) menyebutkan data Perpusnas menunjukkan jumlah judul buku meningkat, pada tahun 2012 ada 20.691 judul buku dan pada 2020 ada 135.081 judul buku, rata-rata terjadi penambahan 20 persen judul buku baru per tahun. Hingga 12 Mei 2021 ada 55.508 buku yang telah ber-ISBN.

 

Di sisi lain, dari PISA (Programme for International Student Assesment), tingkat literasi masih di urutan ke-65 dari 67 negara. Laporan Indeks Aktivitas Literasi Membaca 2019 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Litbang Kompas, 2021) beberapa provinsi besar di Jawa masuk dalam kategori tingkat membaca rendah. Anomali ini menjadi sebuah pertanyaan besar, bagaimana hubungan buku dengan pembaca, dua hal yang tidak bisa dipisahkan sebagai modal arus pengembangan intelektual bangsa.

 

Data di atas menunjukkan bahwa ekosistem buku dan keterampilan membaca masih menjadi urusan domestik sebagian orang, dan belum masuk dalam garda depan pembangunan karakter bangsa. Atas fenomena ini masyarakat perlu dibukakan tabir bahwa ketertinggalan bangsa ini dengan bangsa-bangsa yang maju lainnya salah satu faktornya, yaitu perbukuan dan kemampuan masyarakatnya dalam membudayakan membaca dan menulis.

 

Contoh gamblang dalam hal ini adalah Jepang dan Korea. Meski tahun 1913 Jepang secara ekonomis masih sangat tertinggal, ternyata saat itu negara tersebut sudah menerbitkan lebih banyak buku daripada negara di Eropa. Di kemudian hari menjadi nyata bahwa kemajuan ekonomi Jepang yang pesat, terutama adalah berkat kebijakan politik-kulturalnya yang memprioritaskan melalui pendidikan lewat baca dan tulis serta budaya perbukuannya yang berkualitas. Hal serupa dengan negara Korea, yang setelah Perang Dunia II, memfokuskan program pembangunannya pada pendidikan.

 

Jalan pendidikan adalah momen pertama mengenalkan perbukuan kepada masyarakat terutama pada siswa di sekolah. Hal ini sebenarnya telah dilakukan oleh bangsa ini, di tiap sekolah selalu diwajibkan memiliki buku pegangan maupun buku wajib. Namun, bagaimana buku itu bisa hidup di tangan pembaca dan pendidik itu yang menjadi persoalannya. Buku segenap dengan isinya masih menjadi bagian formalitas, bukan menjadi budaya reflektivitas.

 

Belum selesai dengan kemampuan tentang pencerapan pada isi buku, kini kita masuk di dunia digital, di mana akses membaca semakin luas, buku-buku konvensional (cetak) sebagian telah bermigrasi menjadi buku elektronik (e-book). Kini perbukuan kita telah memiliki dua wajah di dalam dua dunia, cetak dan maya.

 

Dua wajah

 

Sejak masuk budaya layar digital, buku yang biasa kita nikmati dalam lembaran-lembaran kertas seketika dilipat di ruang maya menjadi e-book di tangan Anda. Atas perkembangan ini tentu juga dapat dilihat dari beberapa perspektif. Lahirnya buku-buku digital dan akses kemudahan mendapatkan informasi di satu sisi melahirkan budaya baru, yaitu budaya pengetahuan siap saji.

 

Dalam dunia digital buku seolah berubah menjadi obyek yang dikendalikan, di otomatisasikan dengan fitur pencarian yang serba mudah, pembaca tidak perlu meruntut dari awal, bisa langsung melompat untuk mencari yang diinginkan. Pada titik ini pembaca akan menemui situasi jumping dan ahistoris karena struktur tahapan-tahapan itu tidak terbaca dari awal.

 

Lain hal membaca buku dari lembaran kertas, pembaca dipaksa meruntut keterikatan di antara ribuan deskripsi kata, menjelajah kalimat dan paragraf serta melakukan penafsiran frasa per frasa hingga menemukan pengetahuan yang dicarinya. Penjelajahan inilah sebenarnya proses intelektual yang matang.

 

Arus digital di satu sisi tidak bisa ditolak, segala sumber pengetahuan kini dikemas lebih lengkap dan sangat visualitable. Para pembaca yang terbiasa dengan perbukuan cetak bertransformasi dalam kultur membaca yang bisa jadi sangat berbeda. Kultur membaca di dalam kultur digital harus memiliki kemampuan literasi digital yang baik agar tidak terombang-ambing pada ilusi dan citra media digital yang menyilaukan. Literasi penting untuk menakar sisi mana yang penting atau tidak penting dan bijak dalam memasuki rimba digital.

 

Di pihak lain, perbukuan nasional kita juga mendapat dampak yang positif di dalam kultur digital. Perbukuan dalam kultur digital telah maju, buku elektronik atau e-book mudah diakses. Desiminasi pengetahuan menjadi lebih luas, terkait atas hak kekayaan intelektual kini juga lahir metode pengunci e-book sehingga tidak bisa di-share atau digandakan secara bebas tanpa seizin dari pemilik buku dan harus mengikuti prosedur yang ditetapkan.

 

Kemajuan-kemajuan atas lahirnya digitalisasi buku juga memiliki peran penting dalam inventarisasi dan pengarsipan bagi buku-buku penting yang tidak diterbitkan kembali. Buku-buku nasional, baik terkait dengan sejarah bangsa, dan ilmu pengetahuan tentang budaya nusantara kini menemukan tempat pengarsipan yang baik, sebagaimana ruang digital adalah jejak keabadian.

 

Daya baca

 

Dua wajah perbukuan menurut klasifikasi (cetak dan digital) di atas kita dapat mencari jalan tengah, yaitu tetap berpegang pada kemampuan literasi dan daya baca yang interpretatif dan kritis. Keduanya pada akhirnya memiliki kesamaan pada efek luarannya, yaitu budaya membaca. Melalui momentum hari buku nasional tahun ini selayaknya pemerintah mulai memperhatikan perkembangan perbukuan sebagai modal pembangunan manusia yang lebih manusia.

 

Daya baca masyarakat harus didorong dari beberapa pintu, pintu pendidikan, keluarga, masyarakat, komunitas dan pintu-pintu lain yang harus segera dibukakan. Dengan demikian tidak ada lagi pembredelan buku dan penyitaan buku atas nama kepentingan dan politik, kejadian ini kerap terulang karena di tingkat jajaran pemerintah dan aparatnya sebagian masih kurang daya baca serta jauh dari literasi yang mendalam.

 

Momentum hari buku nasional ini menjadi penanda betapa titik kemajuan perbukuan kita dimulai dari intensifikasi budaya literasi sebagai langkah awal membentuk ekosistem perbukuan. Daya baca perlu ditingkatkan melalui sebuah kesadaran bahwa membaca bukanlah hanya membawa efek ’informatif’, melainkan juga membentuk kemampuan ’formatif’, ’refleksif’, dan ’kreatif’. Tiga konsep ini dikenalkan oleh Guru Besar Filsafat Bambang Sugiharto dalam buku Kebudayaan dan Kondisi Post Tradisi (2019).

 

Formatif dalam artian mampu membentuk cara berpikir mendalam dan sistematik atas apa yang telah dibaca sehingga kita mampu memformulasikan hasil bacaan pada pemecahan persoalan-persoalan (problem solving). Kemudian, membaca mampu membentuk pribadi yang refleksif, yaitu kondisi kritis dan memiliki perspektif pemikiran yang luas karena terbiasa membaca, kondisi ini penting untuk melihat fenomena kontemporer hari ini yang semakin disruptif.

 

Membaca dalam hal ini yaitu kemampuan menangkap isi bacaan dan mengolah isi bacaan menjadi visi pribadi. Kreatif, daya baca mampu menumbuhkan kreativitas karena membaca memungkinkan kita menemukan suatu hal yang baru atas realitas, lalu kemudian mengartikulasikannya dalam bentuk karya tulis, film, lukis, teater, puisi dan sebagainya. Tidak mengherankan para penulis dan seniman yang jenius mereka semua ’kutu buku’.

 

Pada momen hari buku nasional ini perlu ditinjau ulang bagaimana membentuk ekosistem perbukuan nasional yang seimbang antara produksi buku dan daya kemampuan membaca. Ketidakseimbangan selama ini akan berdampak pada keterputusan pengetahuan dan dis-desiminasi ilmu karena daya baca masyarakat yang masih rendah. Buku masih kita harapkan sebagai jendela dunia, teman atas semua keterbatasan, ilmu atas semua kesempitan, dan juru selamat atas kebodohan. Selamat Hari Buku Nasional. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar