Sabtu, 22 Mei 2021

 

”Intellectual Property” Vaksin Korona

Dominicus Husada ;  Kepala Divisi Penyakit Infeksi dan Tropik Anak Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran, Anggota Tim Peneliti Vaksin Covid-19 Universitas Airlangga

KOMPAS, 21 Mei 2021

 

 

                                                           

Lebih dari 100 negara menyampaikan desakan kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) agar "intellectual property" vaksin Covid-19 dibebaskan.

 

Inisiatif tentu berasal dari negara belum maju, terutama Afrika Selatan dan India. Desakan ini ternyata disambut persetujuan Presiden AS, Joe Biden, yang selanjutnya bersedia memproses lebih lanjut keputusan itu.

 

Biden bahkan sudah memerintahkan perwakilan AS di WTO untuk melanjutkan usul ini. Intellectual property mengandung unsur paten, copy right, dan royalti. Pembebasan IP mempunyai sederetan dampak yang signifikan, baik positif maupun negatif, bagi banyak negara dan pihak terkait lain di seluruh dunia. Persoalan serupa sebenarnya pernah terjadi beberapa tahun silam ketika sederetan negara mengajukan pembebasan IP obat anti virus untuk HIV.

 

Berbeda dengan kali ini, saat itu AS bersikap menentang. Pada kenyataannya pembuatan obat anti virus ini kemudian banyak dilakukan perusahaan pembuat obat di negara berkembang yang menghadapi badai penderita HIV dalam jumlah besar namun sulit mendapat akses ke obat baru.

 

Keuntungan pembebasan IP

 

Munculnya desakan pembebasan IP untuk vaksin Covid-19 didasari kepentingan bersama, untuk mempercepat proses produksi dan pengadaan vaksin Covid-19. Seperti diketahui, hingga minggu kedua Mei 2021, baru sekitar 1 miliar dosis vaksin diberikan dengan penyebaran sangat tak merata di dunia.

 

Ketimpangan terjadi antara lain karena ketersediaan vaksin yang sangat terbatas serta perbedaan kemampuan secara ekonomi untuk membeli. Jika pun negara itu telah memperoleh komitmen pengadaan, biasanya itu karena dibantu Covax, yang memang didirikan dengan tujuan membantu kelompok negara yang relatif kurang mampu. IP membuat pembuatan vaksin hanya bisa dilakukan perusahaan bersangkutan.

 

Pihak lain yang ingin memproduksi pasti tak bisa. Jika ada yang ingin memperoleh vaksin itu, jalan terbaik adalah membeli. Padahal harga vaksin Covid-19, di luar skema Covax, dan satu-dua vaksin yang dibuat dengan skema sangat murah, relatif mahal. Sementara, antrean pembelian vaksin itu panjang dan korban terus berjatuhan.

 

Pada minggu kedua Mei 2021 ada sedikitnya enam negara Asia yang menghadapi lonjakan penderita Covid-19 secara signifikan, di luar India yang sungguh menghadapi mimpi buruk. Alhasil, jika pun negara itu memperoleh vaksin, prosesnya pasti panjang, dengan jangka waktu lama, serta biaya tidak sedikit.

 

Pembebasan IP diharapkan dapat mengubah itu semua. Produksi vaksin bisa dilakukan oleh perusahaan lain yang menguasai teknologi tersebut, harga jual bisa ditekan, dan negara bisa memperoleh vaksin yang bersangkutan dalam jangka waktu yang relatif pendek. Apalagi untuk vaksin mRNA yang mempunyai masa pembuatan vaksin yang sangat cepat. Secara ideal memang gambaran ini yang muncul, namun dalam realitas kiranya proses dan perjalanan selanjutnya tidak akan mudah.

 

Sekali lagi, pertimbangan keselamatan umat manusia serta kenyataan bahwa tidak ada seorang pun di muka bumi boleh merasa aman jika masih ada orang yang tidak aman, menjadi landasan utama pembebasan IP.

 

Di antara negara maju, baru Perancis yang jelas mendukung AS. Orang berspekulasi ini dilandasi pertimbangan tak satu pun perusahaan vaksin Perancis memiliki vaksin yang sudah berlisensi. Institut Pasteur telah menghentikan riset vaksin Covid-19 dan perusahaan raksasa Sanofi belum menyelesaikan uji klinik fase 3, setelah serangkaian penundaan akibat respons imunologi yang rendah. Negara Uni Eropa lain dan Inggris menentang rencana ini.

 

Di dunia dari seluruh vaksin Covid-19 yang telah memiliki izin edar, empat berasal dari AS, empat dari China, dua dari Rusia, dan masing-masing satu dari India, Inggris, dan Kazakhstan. Lebih dari seratus kandidat vaksin lain sedang berada dalam uji klinik fase 1-2-3. India yang mempunyai pabrik vaksin berskala raksasa tentu akan mengambil keuntungan besar dari pembebasan IP. Ini juga akan dirasakan China, sekalipun kemungkinan negara panda ini juga akan menghadapi kerugian dari segi lain jika IP memang dibebaskan.

 

Kerugian pembebasan IP

 

Kerugian utama jika IP dibebaskan terutama akan memukul para peneliti dan produsen vaksin di negara maju. Mereka juga yang langsung bersuara menentang rencana ini. Dalam setiap acara ilmiah tentang vaksin, setiap kali ada usulan agar harga vaksin dibuat lebih murah, terutama bagi negara tak maju, memang selalu muncul jawaban bahwa “salah satu konsekuensi dari itu adalah terhambatnya riset vaksin baru”.

 

IP memberikan pengakuan keilmuan, proteksi hukum, serta keuntungan material bagi para peneliti dan produsen vaksin, terutama di negara maju. Pihak yang dirugikan ini mengajukan alternatif skema lain untuk mencapai tujuan yang sama tanpa perlu mengorbankan IP.

 

Salah satu model yang ditawarkan adalah kerja sama Universitas Oxford dan Astra-Zeneca di mana sejak awal sudah dibahas berbagai alternatif keuangan dan harga. Oxford secara konsisten meminta supaya perusahaan tidak mengambil banyak keuntungan dari vaksin mereka dan lebih bertujuan meningkatkan cakupan imunisasi setinggi mungkin ke seluruh dunia.

 

Model lain adalah semacam kontrak kerja sehingga perusahaan Serum Institute di India bisa memproduksi vaksin milik negara lain, tanpa mengenyampingkan IP. Alternatif ketiga, mengambil alih pabrik vaksin di negara lain dan menaikkan kemampuan produksi, baik dari segi jenis maupun jumlah. Selama pandemi, AS sendiri telah memodifikasi atau membangun puluhan pabrik baru untuk mengejar target produksi.

 

Banyak ahli berpendapat dukungan Pemerintah AS untuk membebaskan IP lebih bersifat politis. Faktanya proses yang diharapkan mengikuti pembebasan IP itu akan memerlukan banyak hal, sekiranya pada akhirnya keputusan disetujui. Kerja sama dengan perusahaan vaksin asli, misalnya. Sekalipun hak atas IP sudah tak ada, teknologi untuk vaksin mRNA dan vaksin berbasis virus adeno hanya dikuasai oleh sedikit pihak.

 

Tanpa kerja sama untuk transfer teknologi tak mungkin perusahaan atau negara lain bisa memproduksi sendiri. Sejauh ini AS punya tiga platform vaksin Covid-19: vaksin mRNA, bervektor virus, dan protein rekombinan. Tiga platform lain yang juga dikenal, yakni vaksin DNA, inaktif, dan vaksin hidup dilemahkan belum satupun yang menyelesaikan uji klinik. Dari semua platform itu protein rekombinan adalah teknologi yang paling lama dikenal. Alih teknologi untuk vaksin jenis ini relatif lebih mudah dan lebih realistis untuk dilakukan.

 

Dampak bagi Indonesia

 

Pembebasan IP juga akan berdampak bagi kita. Di Asia Tenggara hanya Indonesia, Vietnam, dan Thailand, yang mampu dan sudah memproduksi vaksin. Di Tanah Air sendiri hanya Biofarma (BUMN), yang mampu segera mengambil manfaat. Produksi vaksin inaktif dan nampaknya juga rekombinan protein menjadi dimungkinkan.

 

Teknologi sudah dikuasai. Biaya akan bisa ditekan sebab tak perlu lagi membeli vaksin dari negara lain dengan harga mahal. Kesinambungan produksi juga lebih terjamin. Apalagi jika perjanjian pemerintah kita dan China memang benar direalisasikan. Perusahaan vaksin lain saat ini belum benar-benar siap.

 

Perusahaan yang sudah memproduksi obat bagi manusia memerlukan modifikasi tertentu untuk dapat memproduksi vaksin. Pabrik vaksin untuk hewan perlu pula menaikkan kondisi yang dimiliki guna memenuhi ketentuan good manufacturing product. Itu semua perlu waktu dan biaya relatif mahal.

 

Bagi para peneliti vaksin yang saat ini sedang mendapat angin segar karena dukungan besar pemerintah dalam skema vaksin merah putih, pembebasan IP akan menjadi buah simalakama. Aliran dana penelitian mungkin dikurangi. Gairah meneliti untuk menghasilkan vaksin sendiri ditakutkan tergusur keinginan mengambil ciptaan negara lain yang lebih murah dan lebih cepat dibuat.

 

Riset vaksin mungkin meredup dan kita kembali menjadi negara di dunia dengan penduduk lebih dari 250 juta orang yang tidak mampu meneliti dan menghasilkan vaksin mandiri.

 

Apapun keputusan akhir kelak, pembebasan IP selalu seperti pedang bermata dua. Semoga manfaat maksimal akan bisa dirasakan oleh sebanyak mungkin umat manusia sambil mengurangi kerugian bagi peneliti dan produsen vaksin. Sementara menunggu, mari kita tetap konsisten melanjutkan diseminasi vaksinasi Covid-19 yang jelas sudah memberi manfaat nyata di negara dengan cakupan tinggi seperti Seychelles, Israel, dan Uni Emirat Arab.

 

Mari juga melanjutkan penelitian vaksin merah putih sampai sungguh terwujud dan bisa dirasakan masyarakat banyak. Dinamika vaksin Covid-19 memang masih akan panjang. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar