Sabtu, 29 Mei 2021

 

Alutsista Idaman Kita

Tajuk Kompas ; Dewan Redaksi Kompas

KOMPAS, 29 Mei 2021

 

 

                                                           

Selama tiga hari terakhir harian ini menurunkan liputan dan jajak pendapat khusus tentang alat utama sistem persenjataan atau alutsista.

 

Dua pandangan umum yang bisa kita garis bawahi adalah perlunya pembangunan alutsista (postur kekuatan) pertahanan yang konsisten, dan alutsista tersebut yang punya daya penggentaran (deterens) yang kuat.

 

Bukan saja di masa pandemi, di luar era wabah pun, wacana tentang alutsista bukan wacana arus utama. Lazimnya wacana ini muncul ke permukaan manakala terjadi musibah—seperti terakhir ketika KRI Nanggala-402 tenggelam—dan ada pembelian alutsista baru.

 

Namun, sebenarnya alutsista harus selalu hidup dalam benak bangsa, karena alutsista simbol kesungguhan kita untuk mempertahankan kedaulatan dan menegakkan postur kekuatan untuk melindungi hasil-hasil pembangunan.

 

Tak hanya itu, di era yang berubah di tahun-tahun terakhir ini, kita juga perlu lebih tajam lagi melihat perkembangan global menyangkut pertahanan dan keamanan negara.

 

Pertama, dari sisi tata wajah geografi Indonesia, yang dua pertiganya laut, maka wajar jika pembangunan kekuatan yang selama ini lebih terfokus ke darat digeser ke laut, dan kemudian ke udara. Kita perlu membangun kekuatan laut yang kredibel. Dengan garis pantai lebih dari 80.000 kilometer, masuk akal jika kita punya korvet, fregat, dan kapal selam yang sepadan dengan luas wilayah laut yang harus kita jaga kedaulatannya. Apalagi kita sering mendengar bahwa masa depan perekonomian akan bergeser ke sumber daya laut.

 

Setelah laut, kita juga perlu memperkuat pertahanan udara. Selain adanya skuadron buru sergap dari generasi minimal 4,5, kita juga harus punya pesawat latih dan simulator untuk mencetak pilot-pilot tempur yang andal. Bisa ditambahkan pula bahwa di era pesawat nirawak, bisa juga dipertimbangkan kekuatan tempur udara nirawak.

 

Dalam perkembangan masa kini, mengingat ada pandangan bahwa perang konvensional cenderung anatematik, tidak sedikit negara yang lalu mengambil opsi melancarkan perang siber. Dalam genre perang ini, sumber daya musuh lumpuh tanpa disertai korban nonkombatan yang tidak perlu.

 

Satu hal yang kita ikuti dengan prihatin adalah meski ekonomi—sedikitnya hingga sebelum pandemi—membaik, kita selalu dalam kesempitan untuk membangun kekuatan. Minimum essential force yang dijadwalkan terpenuhi tahun 2024, tetapi syukur jika bisa dicapai hingga 60 persennya.

 

Tahun ini, misalnya, dengan budget Rp 134 triliun, postur anggaran ini ada di bawah 1 persen dari produk domestik bruto. Jika kita rinci, untuk alutsista paling hanya berkisar sepertiganya. Kita bisa membuat perkiraan kasar berapa yang bisa dianggarkan untuk kapal selam kelas Nanggala modern yang harganya disebut mendekati Rp 5 triliun.

 

Wacana alutsista tentu bisa kita perpanjang, misalnya tentang industri pertahanan dalam negeri, alih teknologi, dan inovasi dalam negeri. Namun, uraian di atas kiranya bisa sedikit memberikan gambaran tentang masih adanya kesenjangan antara hal ideal dan realitas (pahit) yang ada. Namun, kita tak boleh menyerah dan harus terus menghidupkan tercapainya postur pertahanan nasional didukung oleh alutsista canggih. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar