Sabtu, 22 Mei 2021

 

Kebangsaan dan Epistemi Intelektual

Fachry Ali ;  Salah satu pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (Lspeu Indonesia)

KOMPAS, 20 Mei 2021

 

 

                                                           

Di sela-sela seminar "State and Transnationalization" di Penang, Malaysia, pertengahan 1980-an, saya bercakap-cakap dengan antropolog negara jiran itu, Sayyid Husin Ali.

 

“Saya,” ujarnya, “adalah orang yang ditinggal oleh keduanya.” Yang dimaksud “keduanya” adalah Indonesia dan Malaysia. Ketika saya bertanya alasannya, Sayyid yang menulis disertasi tentang peranan bomoh (dukun) dalam masyarakat jiran itu di Oxford University, Inggris, menjawab: “Karena saya membuat program penyatuan Indonesia dan Malaysia.” Lalu saya dan tokoh yang ikut “tergetar” dalam pergolakan etnik di Malaysia pada 1969 itu tertawa lepas.

 

Sepintas lalu, dorongan hati menyelenggarakan program yang kini terasa aneh dan menimbulkan tawa spontan ini saya anggap hanya refleksi kedekatan psikologis antar masyarakat Melayu. Namun, belakangan saya ketahui hasrat itu tegak atas dasar, seperti akan kita lihat, kesadaran intelektual dan epistemik.

 

Dalam telaah lanjutan, saya menemukan konsep Indonesians as a sense pre-Malay, seperti dikembangkan antropolog Perancis ET Hamy pada 1877. Melalui Justus Van der Kroef dalam tulisannya The Term Indonesia; Its Origin and Usage (1951), Hamy menggunakan kata “Indonesia” itu untuk mengidentifikasikan ras Polinesia di Indonesia Timur dan beberapa etnik minoritas kepulauan Melayu, seperti Dayak di Kalimantan dan Batak di Sumatera. Menurut Hamy, etnik-etnik ini lebih memperlihatkan karakter Kaukasus daripada etnik Melayu lain yang lebih berciri Mongoloid.

 

Jadi, betapapun terasa aneh dan menimbulkan tawa, melalui konsep Indonesians as a sense pre-Malay Hamy, gagasan dan program Sayyid menyatukan Indonesia-Malaysia pada 1960-an itu ada preseden intelektual dan akademiknya. Dalam perspektif preseden intelektual dan akademik inilah saya memahami apa yang disebut dengan “kebangkitan nasional” di Indonesia melalui “gerakan” dr Wahidin mendirikan Budi Utomo pada 1908 hanya merupakan salah satu respons kecendekiaan dari kerangka pergerakan “global” tadi.

 

Alasannya, “gerakan” yang dimulai pada 1907 ─melalui pertemuan dr Wahidin, R Soetomo dan R Soeradji itu hanya mencapai puncaknya pada 20 Mei 1908, dengan berdirinya Budi Utomo (BU) di Jakarta. Selanjutnya, sebagaimana dinyatakan Drs Sudijo dalam Perhimpunan Indonesia Sampai dengan Lahirnya Sumpah Pemuda (1989), melalui kongres pertamanya di Yogyakarta 3-5 Oktober 1908, kepemimpinan BU jatuh ke tangan “orang-orang tergolong tua.”

 

Mereka, tulis Sudijo, “sebagian besar terdiri dari pejabat Regent dan Bupati. Sedangkan para pelajar STOVIA yang telah berhasil mendirikan perkumpulan BU, tak ada yang duduk di Pengurus Besar itu.” Jika kita mendefinisikan kebangkitan nasional sebagai peristiwa besar yang melahirkan dampak kesadaran berkelanjutan, semangat perubahan yang dilahirkan peristiwa 20 Mei 1908 itu tak cukup kuat jadi landasan. Beberapa bulan kemudian kalangan muda “setengah revolusioner” itu tercampak dari panggung BU di kongres Yogya.

 

Maka, jika ingin tahu mengapa proses kebangkitan nasional mampu melahirkan big bang (dentuman besar) berkelanjutan, jawabannya harus dicari di tempat lain. Yakni lapisan-lapisan sejarah pergulatan akademik-epistemik dan politik dalam menemukan konsep Indonesia dan penggunaannya untuk tujuan identitas kolektif sebuah bangsa pada tingkat global.

 

Dasar akademik-epistemik

 

Di sini, kita bisa memulai dengan penjelasan "sepintas lalu" Klaas Stutje tentang tindakan Mohamad Hatta setelah, dengan Soekarno, memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Yaitu, seperti tertera di buku Stutje, Campaigning in the Europe for A Free Indonesia: Indonesian Nationalists and the Worldwide Anti Colonial Movement 1917-1931 (2019), imbauan Hatta ke kawan-kawan lamanya “to revive the spirit of unity of Brussels” (menghidupkan kembali semangat kesatuan Brussel).

 

Hatta, sebagai pemimpin Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda, bersama empat tokoh muda lain, diundang menghadiri “Congress against Colonial Oppression and Imperialism” di Brussel, 10-15 Februari 1927. Di Kongres Brussel ini, Hatta bukan saja berkesempatan menguraikan sepak terjang penjajahan Belanda, tapi juga memproklamasikan diri sebagai wakil bangsa Indonesia.

 

Peristiwa ini punya pengaruh signifikan dalam konteks epistemik global. Sebab, bukan saja dihadiri 174 partisipan yang mewakili 137 organisasi dari 34 negara, melainkan “ditongkrongi” pemenang hadiah Nobel Albert Einstein, Romain Rolland dari Jerman, Jawaharlal Nehru dari Partai Kongres India, Liao Huanxing dari Chinese Guomindang Party (GMD) dan Messali Hadj dari Ĕtoil nord-africaine Aljazair. Tokoh-tokoh terakhir itu, menurut Stutje, “pentolan” gerakan anti kolonial tingkat global.

 

Tentu, itu bukanlah debut global Hatta yang pertama. Agustus 1926, seperti ditulis Ketua Lembaga Penelitian Sejarah Nasional Universitas 17 Agustus 1945, Drs Sudijo, Hatta telah mewakili bangsa Indonesia di Bierville, sebuah kota kecil dekat Paris, Perancis, dalam Congress Democratique Internationale Pour la Paix. Bernada herisme, Drs Sudijo melukiskan peristiwa Bierville ini melalui tekanan bahwa Hatta “dengan terang-terangan menggunakan nama Indonesia dalam pidatonya itu, dan tidak lagi menyebut ‘Hindia Belanda’.”

 

Dengan demikian, pengertian Indonesia,” lanjut Sudijo, “tidak lagi dalam arti kata etnologi dan antropologi, melainkan sudah mempunyai pengertian politik. Segenap cita-cita tentang kemerdekaan nasional, dilambangkan dalam nama ‘Indonesia’ itu.” “Dengan demikian, PI lah yang pertama kali, memberi arti politik dan ketatanegaraan, tentang nama Indonesia tersebut.”

 

Kendatipun demikian, Kongres Brussel punya arti lebih spesifik. Stutje melukiskan, pasca-kongres ini Hatta dkk meluapkan kegembiraan. Mereka bukan saja berhasil membuat tujuan perjuangannya didengar di atas panggung internasional, melainkan juga memperoleh posisi dalam panitia kerja organisasi pergerakan internasional itu.

 

Di atas semua itu, tulis Stutje, Hatta dan kawan-kawan layak gembira. Sebab, posisi PI yang hanya beranggotakan 150 orang mahasiswa dan tak berpengalaman secara politik, diposisikan sejajar dengan Partai Kongres India dan GMD yang beranggotakan jutaan orang.

 

Kehadiran ilmuwan dunia Einstein di forum itu untuk jadi saksi kehadiran wakil bangsa Indonesia dalam situasi yang sangat muskil itu, pastilah juga bermakna besar dalam konteks epistemik global. Bukankah apa yang dimaksud “Indonesia’ oleh Hatta dkk itu secara resmi belum ada? Dalam konteks inilah segera setelah memproklamasikan kemerdekaan, untuk mengkonsolidasikan kekuatan epistemik itu, Hatta mengimbau “kawan-kawan” lamanya melanjutkan “semangat persatuan Brussel”.

 

Dan kata “Indonesia”, yang digunakan Hatta dkk sebagai sebuah identitas politik alternatif, memang lahir dari dinamika akademis abad ke-19. Dan karena itu, tentu hanya bisa dipahami oleh segelintir kaum terdidik Indonesia pula. Ini berkaitan dengan George Winsor Earl (1813-65), asal Inggris. “Pengamatan mendalam”-nya atas fakta etnologi dan geografi wilayah Asia Tenggara dan Australia mendorong Earl berkembang menjadi, seperti dinyatakan Russell Jones dalam George Windsor Earl and ‘Indonesia’ (1975), a gifted scholar.

 

Hasil pengamatan ini dituangkan dalam serial karya ilmiah di Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia di bawah asuhan James Richardson Logan (1819-69). Dalam sebuah nomor jurnal itu, Earl, pada Februari 1850, menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian, and Melayu-Polynesian Nations. Pada catatan kaki yang panjang, Earl menulis: “By adopting the Greek word for ‘islands’ as a terminal, for wich we have a precedent in term ‘Polynesia’, the inhabitants of the ‘Indian archipelago’ or ‘Malayan archipelago’ would become respectively Indu-nesians or Melayunesians.”

 

Kata “Indu-nesia” atau kemudian “Indonesia”, dengan demikian, telah lahir lebih dari 70 tahun sebelum Hatta dkk mendeklarasikannya di depan publik global Eropa pada 1926-1927. Namun, hal penting dicatat adalah, pengawetan kata “Indonesia” itu terjadi di kalangan akademisi abad ke-19 itu. Sebab, setelah Earl, di sebuah buku yang terbit 1869, Logan melanjutkan penggunaan kata “Indonesia” itu. Melalui karya Logan inilah, ET Hamy mengawetkan lebih lanjut kata “Indonesia” dalam Les Alfourous de Gilolo yang terbit pada 1877.

 

Dokter kapal-cum-etnolog Jerman, Adolf Bastian (1826-1905), bahkan menggunakan kata ini sebagai judul karyanya yang terbit pada 1884: Indonesien ode die Inseln des Malayischen Archipel. Seperti dinyatakan Russell Jones, Bastian, dalam catatan kaki, menyebut kata “Indonesia” itu mengacu ke karya Logan yang terbit 15 tahun sebelumnya.

 

Di sini, kita dientakkan oleh sebuah kesadaran berbeda. Bahwa bagaimanapun juga, kata “Indonesia” lahir oleh sebuah proses akademik-epistemik. Karena itu, tidaklah melebih-lebihkan jika kita menyatakan kelahiran kata “Indonesia” adalah scientific-based conception (konsepsi yang didasarkan pada ilmu pengetahuan).

 

Dalam arti kata lain, baik penciptaan maupun pengawetannya telah berlangsung di lingkaran kaum akademisi yang mengabdikan hidup demi ilmu pengetahuan. Itu sebabnya, hanya segelintir kaum terpelajar yang mampu menghormati karya monumental ini. Dilihat dari perspektif ini, kebangkitan nasional, dengan demikian, punya dasar konseptual yang kokoh.

 

Berdasar keterpelajaran

 

Dalam tulisannya di Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, di bawah judul Nusantara: History of a Concept (2016), sosiolog Jerman Hans-Dieter Evers memperkenalkan frasa the power of words (kekuatan kata). “Kata-kata, konsep, dan slogan,” tulisnya, “can be a powerful movers of history” (dapat jadi penggerak sejarah berdaya kuat). Melalui frasa inilah konsep “Indonesia” yang selama ini terawetkan di lingkaran kaum akademisi abad ke-19, di tangan kaum terpelajar Indonesia di Eropa, tertransformasikan menjadi kekuatan perlawanan dahsyat.

 

Dalam arti kata lain, “peluncuran” kata “Indonesia” dalam cakrawala politik global Eropa kala itu telah bersifat eruditeness-based political expression (ungkapan politik berdasarkan keterpelajaran). Di sini, kaum terpelajar itu telah menjadi kaum epistemik yang keberanian dan sikap kalkulatif terhadap konsekuensi mereka terbimbing oleh pengetahuan yang memadai.

 

Ini terlihat pada perubahan nama Perkumpulan Hindia Belanda (Indische Vereeninging) yang didirikan mahasiswa Indonesia di Belanda pada 1908 menjadi Perhimpunan Indonesia (PI) pada 1925 di bawah kepemimpinan Sukiman Wirjosandjojo. Bahkan, seperti ditulis Sudijo dalam PI, nama terbitan berkalanyapun berubah jadi lebih “provokatif”: Indonesia Merdeka, dari sebelumnya Hindia Putera.

 

Penggunaan kata “Indonesia” baik untuk nama perkumpulan maupun terbitan berkala ini, dengan demikian, sebuah watershed (pemisah pamungkas) dalam struktur kesadaran mereka. Maka, kata “Hindia Belanda” bukan saja dianggap terbelakang, melainkan mencerminkan ketundukan. Sebaliknya, kata “Indonesia” menyimbolkan perlawanan, pembebasan dan tekad merdeka.

 

Dasar eruditeness penggunaan kata “Indonesia” ini sudah tentu terlihat dalam struktur kokoh logika yang dikembangkan para penulis atau penyumbang terbitan Indonesia Merdeka PI dalam bahasa Belanda. Ini juga terjadi dalam percaturan organisasi mahasiswa antar bangsa di Belanda.

 

Seperti dilukiskan Drs R Nalenan dalam Arnold Monotutu Potret Seorang Patriot (1981), sebagai anggota PI, Ahmad Subardjo, AA Maramis dan Moh Nazif menulis surat dalam bahasa Perancis ke setiap perwakilan negara anggota Academic du troit international de la Haye, organisasi mahasiswa antar-bangsa sebuah akademi di Den Haag yang dipimpin seorang diplomat Polandia dengan sekjen asal Belanda. Isi surat adalah protes atas penempatan Monotutu, mahasiswa asal Indonesia di akademi itu pada 1920-an itu, sebagai wakil dari Belanda.

 

Karena itu, mereka menuntut menempatkan Monotutu sebagai wakil bangsa “Indonesia”. Walau dalam realitasnya Monotutu berasal dari wilayah jajahan Belanda, melalui keterpelajaran mereka, usul anggota PI itu bisa diterima. Dengan demikian, tanpa preseden dan di tengah sorotan kecurigaan pemerintah Belanda, “Indonesia” secara resmi tercantum sebagai salah satu bangsa di organisasi antar-mahasiswa, di Belanda, negara induk Hindia Belanda.

 

Peristiwa terakhir ini memberi contoh bahwa pada esensinya “kebangkitan nasional” tak terperangkap wilayah geografis. Melainkan produk dari jaringan eruditeness yang melampauinya. Dalam konteks PI, Hatta dkk memberi bukti konkret bahwa “kebangkitan nasional” justru bisa lahir dari the belly of the beast (perut otoritas pusat sang penjajah) itu sendiri.

 

Dan gerakan itu bukan saja mampu menyebarkan epistemologi kebangsaan di tingkat global secara meyakinkan, melainkan, seperti Stutje tulis dalam Campaigning in Europe, menjadi golongan yang pertama menyadari bahwa perpecahan etnik dan agama adalah penghambat utama pembentukan kekuatan politik penekan yang efektif terhadap penguasa kolonial. Dan memang, merekalah yang turut menggenapkan bara api nasionalisme di Tanah Air ketika kembali ke Indonesia. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar