Sabtu, 29 Mei 2021

 

Pemailitan Asuransi

Irvan Rahardjo ; Arbiter Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI )

KOMPAS, 29 Mei 2021

 

 

                                                           

PT Asuransi Jiwasraya mengumumkan skema lengkap dari restrukturisasi polis "saving plan". Terdapat tiga skema yang ditawarkan, mulai dari pembayaran 15 tahun, hingga pembayaran lima tahun dengan potongan penyesuaian hingga 31 persen.

 

Produk saving plan adalah biang keladi dari ambruknya kondisi keuangan Jiwasraya, sehingga perseroan mengalami gagal bayar sejak Oktober 2018. Oleh karena itu, manajemen Jiwasraya menawarkan penghentian polis berjalan hingga 31 Desember 2020 dan utang klaim terakhir dikonversikan menjadi dana awal program baru.

 

Terdapat tiga opsi pembayaran klaim bagi nasabah saving plan, yakni JS Mantap Plus Plan A, Plan B, dan Plan C. JS Mantap Plus Plan A sebagai alternatif utama adalah pembayaran nilai tunai secara penuh atau 100 persen dengan dicicil selama 15 tahun tanpa bunga. Pembayaran klaim dilakukan sebesar 5 persen setiap tahun dalam sepuluh tahun pertama dan 10 persen setiap tahun dalam lima tahun terakhir.

 

Plan B adalah pembayaran klaim dengan tempo cicilan yang lebih cepat, yakni lima tahun tanpa bunga. Namun, pembayaran dilakukan sebesar 71 persen atau terdapat haircut sekitar 29 persen dari nilai tunai. Pembayaran dilakukan sebesar 15 persen pada tahun pertama; 5 persen pada tahun kedua, ketiga, dan keempat; serta 41 persen sisanya dibayarkan pada tahun kelima.

 

Plan C adalah cicilan klaim selama lima tahun dengan pembayaran di muka 10 persen oleh IFG Life, perusahaan baru yang dibentuk untuk mengambil alih utang Jiwasraya. Dalam skema ini terdapat haircut 31 persen, sehingga setelah dikurangi pembayaran di muka, pembayaran sisa nilai tunai sekitar 59 persen dilakukan dalam lima tahun.

 

Pembayaran di skema ketiga ini 10 persen di muka, lalu 5 persen di tahun kedua dan ketiga, 9 persen di tahun keempat, serta 30 persen tahun kelima.

 

Selain ketiga opsi, terdapat alternatif lain jika nasabah menolak restrukturisasi dan tetap mempertahankan polisnya di Jiwasraya. Namun, pembayaran klaim hanya akan dilakukan sesuai kondisi keuangan Jiwasraya, yang saat ini jumlah asetnya kurang dari satu per tiga total liabilitas.

 

Jiwasraya membukukan ekuitas negatif Rp 38,5 triliun per Oktober 2020. Nilai itu terus memburuk dibandingkan 2018 yang negatif Rp 30,3 triliun dan 2019 yang negatif Rp 34,6 triliun. Kondisi liabilitas dan aset per Oktober 2020, liabilitas polis tradisional Rp 37,2 triliun dan liabilitas polis saving plan mencapai Rp 16,8 triliun.

 

Aset yang dimiliki persero Rp 15,4 triliun dengan mayoritas aset tak likuid dan berkualitas buruk. Nilai aset turun terus dari Rp 23 triliun di 2018 menjadi Rp 18 triliun di 2019.

 

Tim Percepatan Restrukturisasi mencatat sebanyak 15.771 atau 90,3 persen pemegang polis bancassurance sudah mengikuti program restrukturisasi. Disusul pemegang polis kategori korporasi sebanyak 75,3 persen atau 134.161 peserta. Pemegang polis ritel sudah yang ikut restrukturisasi mencapai 65,8 persen atau 127.339 peserta (13/4/2021) .

 

Ada tiga opsi yang bisa ditempuh pemegang saham . Pertama , opsi bailout. Namun opsi ini tak ditempuh mengingat belum ada aturan terkait bailout dengan industri asuransi, baik dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

 

Kedua, opsi likuidasi atau pembubaran perusahaan. Opsi ini harus dengan seizin OJK berdasarkan UU No 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Opsi likuidasi ini juga tidak diambil karena pertimbangan BUMN lain yang memiliki portofolio pensiun di Jiwasraya. Dampak ekonomi, sosial, dan politiknya besar jika dilakukan likuidasi.

 

Ketiga, opsi restrukturisasi, transfer, dan bail-in. Ketiga langkah itu dilakukan bersamaan. Dukungan dana dari pemegang saham Jiwasraya pelaksanaannya dilakukan secara tak langsung melalui PT Bahana Pembiayaan Usaha Indonesia (BPUI). Pemegang saham menempuh opsi ketiga yakni lewat restrukturisasi, transfer, dan bail-in agar Jiwasraya tak mewariskan kerugian ke IFG Life setelah transfer portofolio.

               

Masalah pendanaan yang dibutuhkan dari PMN sebesar Rp 20 triliun ditambah Rp 2 triliun pada 2020 plus bunga surat utang yang akan dimintakan pada RAPBN 2022. Angka ini masih jauh dari kebutuhan Jiwasraya. Selain itu, tentu negara juga akan menerima aset sitaan setelah keputusan terhadap perkara Tipikor yang melibatkan enam terdakwa kasus Jiwasraya sebesar Rp 16,8 triliun menurut hitungan BPK, berkekuatan hukum tetap.

 

Namun restrukturisasi yang ditempuh ini menuai penolakan dan gelombang gugatan hukum. Penolakan datang dari pensiunan di 12 perusahaan BUMN terdiri dari Garuda Indonesia, Pupuk Kaltim, Petro Kimia Gresik, Rekayasa Industri, Bukit Asam, Garuda Maintenance Facility, Gapura Angkasa, Timah, Asuransi Kesehatan, Surveyor Surveyor Indonesia dan Sucofindo.

 

Hingga saat ini terdaftar sebanyak 12 gugatan hukum atas kasus gagal bayar Jiwasraya oleh sejumlah nasabah di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Di PN Jakarta Selatan tercatat berlangsung gugatan perwakilan kelompok (class action) nomor perkara 43/Pdt.G/2021/PN JKT.SEL tanggal 8 Januari 2021 oleh 195 warga Korea nasabah KEB Hana Bank tergugat KEB Hana Bank yang menyalurkan produk Saving Plan asuransi Jiwasraya.

 

UU Kepailitan guncang asuransi

 

Hingga 1999 hanya sedikit sengketa klaim asuransi yang diselesaikan melalui arbitrase dan di pengadilan negeri. Ketentuan perundangan yang jadi landasan hukum penyelesaian sengketa pada waktu itu juga masih berdasarkan perundangan yang sudah sangat lama dan warisan pemerintah kolonial yaitu Reglemen Acara Perdata atau Reglement of de Rechrsvordering, Staablad 1847.52 dan Reglemen Indonesia yang diperbaharui atau Het Herziene Indonesich Reglement Staatblad 1941.44.

 

Keadaan berubah setelah pemerintah mengundangkan dan memberlakukan UU No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa . Namun, kehadiran UU ini dalam kenyataannya tak serta-merta membuat masyarakat pemegang polis membawa sengketa klaim asuransi yang dialami ke arbitrase untuk mendapatkan penyelesaian klaim asuransi yang dihadapi.

 

Keadaan menunjukkan telah terjadi peningkatan keluhan, kekecewaan dan kebingungan dari masyarakat konsumen asuransi dan pemegang polis dalam proses penyelesaian permohonan/tuntutan ganti rugi, manfaat polis atau klaim.

 

Kekecewaan masyarakat pada perusahaan asuransi kemudian dilampiaskan dengan mengajukan permohonan pemailitan perusahaan asuransi oleh nasabah asuransi tahun 2000 hingga 2002 dan pengadilan niaga/negeri menjatuhkan putusan pernyataan pailit pada perusahaan asuransi itu. Ada perusahaan asuransi yang dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga pada 2002, padahal perusahaan asuransi itu bukan tak mampu untuk membayarkan kewajibannya.

 

Perusahaan itu mempunyai kesehatan keuangan yang baik dan sehat, namun UU No 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan yang berlaku saat itu tak memberikan perlindungan pada perusahaan asuransi dari pemailitan yang dapat dengan mudah diajukan oleh setiap orang.

 

Untuk dapat mengajukan permohonan pailit sangat mudah karena hanya diperlukan dua kreditor yang mempunyai piutang atau tagihan yang sudah jatuh tempo dan belum dibayar. Artinya sangat mudah memailitkan suatu perusahaan asuransi.

 

Putusan pengadilan niaga yang telah menyatakan pailit beberapa perusahaan asuransi telah mengguncang industri asuransi, karena di antara yang dinyatakan pailit ada perusahaan patungan yang cukup besar dengan kesehatan keuangan yang baik dan mampu menyelesaikan kewajibannya dan punya jutaan pemegang polis.

 

Pemailitan perusahaan asuransi terus berlangsung karena pada 2004 terdapat perusahaan asuransi besar dengan keuangan sangat sehat, mampu membayar kewajibannya , tetapi oleh pengadilan niaga di putusannya dinyatakan pailit.

 

Putusan pengadilan kian menimbulkan keresahan tidak saja bagi perusahaan asuransi, tetapi juga para pemegang polis dan masyarakat umumnya. Hal ini karena tak ada jaminan kepastian atas polis yang telah mereka beli, jika setiap orang dengan sangat mudah dapat mengajukan permohonan pailit terhadap perusahaan asuransi dan pengadilan akan mengabulkan karena adanya syarat yang sangat mudah yang dinilai tidak mencerminkan rasa keadilan dalam pemailitan perusahaan asuransi.

 

Izin menteri keuangan

 

Merespons perkembangan dan keluhan atas UU Kepailitan yang telah menimbulkan keresahan industri asuransi dan usulan untuk segera dilakukan perubahan, pemerintah menyampaikan RUU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban pembayaran Utang tanggal 13 Mei 2002 Perihal Pengantar RUU PKPU kepada pimpinan DPR yang memuat sejumlah usulan perubahan terhadap UU Kepailitan No 4 Tahun 1998. Termasuk substansi pihak yang berhak mengajukan permohonan pailit ke pengadilan untuk perusahaan asuransi. Bahwa permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan RI.

 

DPR menyetujui RR KPKPU menjadi UU dengan keputusan No 09/DPR-RI/ 2004-2005 Tentang Persetujuan DPR RI terhadap RUU-KPKPU tanggal 22 September 2004 yang kemudian disahkan dan diundangkan jadi UU No 37 Tahun 2004 tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Kepailitan.

 

Ancaman pemailitan perusahaan asuransi seperti dilakukan terhadap Manulife dan Prudential yang telah menimbulkan dampak buruk yang luas, ditiadakan dengan ketentuan pemailitan perusahaan asuransi hanya dapat dilakukan dengan seizin menkeu.

 

Dapat disimpulkan, latar belakang perubahan UU No UU Kepailitan No 4 Tahun 1998 menjadi UU No 37 Tahun 2004 tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Kepailitan adalah untuk melindungi perusahaan asuransi dari upaya pemailitan dan sebaliknya membuka peluang melakukan perdamaian dengan mekanisme Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

 

Namun patut diingat, tatkala pembuat UU No 37 Tahun 2004 menentukan permohonan pernyataan pailit atas suatu perusahaan asuransi hanya dapat diajukan oleh menkeu ke pengadilan niaga (Pasal 2 Ayat (5) UU Kepailitan dihapus dengan pasal 90 b UU 40 No Tahun 2014 tentang Perasuransian), pada hakikatnya itu membatasi kebebasan berkontrak dari para pihak yang mengikatkan diri pada perjanjian asuransi yang substansi perjanjiannya dipandang berkekuatan UU bagi mereka sebagaimana dimaksud Pasal 1338 KUH Perdata.

 

Demikian pula negative confirmation yang digunakan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) terkait penawaran restrukturisasi kepada seluruh pemegang polis. Bahwa yang tak memberikan tanggapan dalam 30 hari akan dilakukan restrukturisasi sepihak, itu juga nyata melanggar asas konsensus dan asas itikad baik yang menjadi dasar perjanjian asuransi yang diatur dalam KUH Perdata.

 

Jika rezim UU No 4 Tahun 1998 yang lahir di masa krisis moneter dimaksudkan untuk mempermudah kreditor hengkang dari Tanah Air , maka sebaliknya kini rezim UU No 37 Tahun 2004 dimaksudkan untuk mencegah debitor dari upaya damai dan pemailitan. Maka, tekad untuk mengundang investasi menjadi sia-sia bila ketidakpastian hukum berlangsung dengan tidak menghormati hak-hak debitor dan kreditor dalam hubungan keperdataan yang dijamin UU.

 

Kita tidak berharap menegakkan hukum dengan cara melanggar hukum yang hanya akan menjauhkan kita dari negara yang ramah bagi investasi. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar