Minggu, 30 Mei 2021

 

Dunia dalam Kelindan Mitos, dari Virus hingga Sisyphus

Ni Wayan Idayati ; Penyair dan Penulis Lepas

KOMPAS, 30 Mei 2021

 

 

                                                           

Pandemi Covid-19 yang dialami seluruh dunia seolah sebuah siklus yang tidak ada ujungnya. Sesudah virus pertama yang ditemukan di Wuhan menjelang akhir 2019, dalam waktu lebih kurang setahun vaksin berhasil diciptakan. Di Indonesia, vaksin mulai didistribusikan kepada masyarakat pada 2021. Maka, setelah hampir dua tahun berhadapan dengan ancaman Covid-19, masyarakat kita, dan dunia, tentulah berharap pandemi akan segara dapat dilampaui, bahkan mungkin diakhiri.

 

Namun, belum lagi upaya ”preventif” dan ”perangkat imun” siap, kini muncul aneka varian baru virus Covid-19 yang bermutasi—konon memiliki tingkat penularan lebih tinggi daripada pendahulunya. Ada varian E484K atau Eek yang dilaporkan ditemukan pertama kali di Afrika Selatan dan Brasil, Corona B1525 yang memiliki mutasi ”Eek” E484K terdeteksi mulanya di Inggris, hingga jenis B.117 juga asal Inggris, B.1.351 asal Afrika Selatan, dan varian mutasi ganda dari India B. 1.617. Di luar itu, mungkin masih ada varian-varian lain yang telah atau tengah bermutasi dan bermigrasi dari satu negara ke negara lain sebelum perangkat kesehatan kita berhasil mendeteksinya.

 

Bagaimana kiranya jika ketika pertama kali virus ini ditemukan, pihak berwenang melakukan penanganan dengan cara yang berbeda? Mungkinkah situasi dunia akan berbeda? Tidak ada virus yang bermigrasi ke banyak negara, tidak ada penularan, tidak ada situasi darurat pandemi, tidak ada penguncian wilayah (lockdown), dan tidak ada peluang mutasi virus.

 

Ya, barangkali banyak orang berharap dapat kembali lagi ke masa-masa sebelum pandemi, sebelum virus korona baru menyerang. Kehidupan ketika kita tidak perlu setiap saat menggunakan masker, bebas bertemu dengan siapa saja tanpa perasaan cemas, dan bebas bepergian ke mana pun tanpa perlu melewati aneka syarat pemeriksaan dan bermacam berkas. Mungkinkah?

 

Siklus sang Sisyphus

 

Dalam latar situasi berbeda, drama Korea Selatan, Sisyphus: The Myth, yang tayang di Netflix (2021) boleh dikata merepresentasikan ide atau harapan orang-orang dapat melakukan perjalanan waktu ke masa lalu untuk mengubah situasi di masa depan.

 

Berbeda dengan kebanyakan imajinasi dan penggambaran soal masa depan—utopia kehidupan dengan segala kemudahan dan perangkat serba canggih—di sebuah dunia yang entah, di masa depan, bangunan dan gedung-gedung telah hancur, taman hiburan terbengkalai dipenuhi belukar merambat, setiap gang dan distrik telah jadi kota mati akibat perang nuklir. Orang-orang justru hidup dalam sebuah distopia atau sebuah situasi kelompok masyarakat yang tidak didambakan. Obat-obatan dan kebutuhan pokok sulit diperoleh, bahkan sekelompok orang ”terpaksa” jadi penyamun untuk bertahan hidup, menjarah sisa-sisa toko atau barang-barang apa pun yang bisa ditemukan.

 

Dalam situasi itu, orang-orang mulai berpikir untuk kembali ke masa lalu—ke masa, atau mungkin dimensi lain, di mana mereka bisa menjalani hidup dengan ”normal”. Dengan mesin waktu yang disebut ”pengunggah” dan ”pengunduh”, seseorang di masa depan dapat melakukan perjalanan waktu ke masa lalu, sebagaimana dilakukan Kang Seo Hee (Park Shin Hye). Seo Hee yang berasal dari masa depan kembali ke tahun 2020 dengan misi menyelamatkan Han Tae Sul (Cho Seung Woo), insinyur genius penemu alat transmisi kuantum. Seo Hee meyakini, dengan menyelamatkan Tae Sul dari kematian dan mencegahnya menciptakan mesin waktu, maka tidak akan terjadi peperangan yang menghancurkan dunianya di masa depan.

 

Ya, premis dari drama ini adalah mereka yang datang dari masa depan ke masa lalu (kini) memiliki tujuan untuk mengubah masa depan dengan ”memperbaiki” situasi di masa lalu (kini), atau justru secara diam-diam ”bermigrasi” ke masa lalu (kini) untuk mengelak dari distopia di masa depan.

 

Namun, tidak seperti kebanyakan kisah atau film-film hero Barat, ketika ”sang pahlawan” yang kembali ke masa lalu untuk menyelamatkan masa depan berhasil mengubah situasi, dalam Sisyphus: The Myth penonton seakan diminta untuk berhadapan dengan imajinasi dan pengharapan mereka masing-masing tentang akhir dari drama ini.

 

Drama 16 episode ini ditutup dengan open ending; tidak ada penegasan apakah sungguh Seo Hee berhasil menyelamatkan Tae Sul dan mencegah terjadinya kehancuran di masa depan, ataukah yang terjadi sesungguhnya hanya sebuah ilusi imajinasi. Entah ada berapa Seo Hee yang berulang melakukan perjalanan melintasi waktu untuk menyelamatkan Tae Sul, atau tidak menyelamatkan Tae Sul, bahkan mungkin menyelamatkan dirinya sendiri dari momen yang mungkin (akan) disesalinya. Tak ada yang dapat memastikannya, kecuali sang penulis naskah, Lee Je-in dan Jeon Chan-ho.

 

Dari judul drama ini, yang berangkat dari mitos Sisyphus, tentulah kita boleh menafsir bahwa sebuah perjalanan waktu (time travel), atau upaya mereka yang ingin kembali dan ”memperbaiki” masa lalu, ibarat sebuah siklus yang tiada habisnya.

 

Drama Sisyphus: The Myth menarik dibincangkan bukan semata karena naskah, kualitas, atau para pemainnya. Namun, lebih kepada ide yang menjadi titik berangkatnya, menautkan mitos dengan kekinian dan situasi dunia kita hari ini—sebuah gagasan yang tampaknya belum sampai pada wilayah kreatif para kreator sinema atau drama kita di Indonesia.

 

Apabila diselami lebih mendalam, sewaktu menonton drama ini kita sesungguhnya tidak sedang menyaksikan akting atau paras rupawan para aktor-aktrisnya—yang semata hiburan—melainkan merenungkan ulang hakikat keberadaan kita hari ini, dan bagaimana mitos-mitos meliputi keseharian kita, seakan menjadi jawaban atas pengharapan yang boleh jadi utopis.

 

Masa depan, masa kini, dan masa lalu saling bersinggungan dan melaju bersisihan. Kita bahkan tidak bisa lagi memastikan; mana waktu masa lalu, masa kini, dan masa depan. Semua menyatu menjadi waktu kita hari ini.

 

Mitos dalam keseharian kita

 

Dalam mitologi Yunani, Sisyphus atau Sisifus dikisahkan sebagai sosok yang harus menjalani hukuman dari dewa, yakni mendorong bongkahan batu besar dari lembah hingga ke puncak gunung. Namun, begitu tiba di puncak, batu itu akan kembali menggelinding ke bawah; dan Sisyphus akan terus-menerus mengulangi pekerjaan yang sama, kembali mendorong batu itu ke puncak hingga tiada habisnya.

 

Filsuf Albert Camus, melalui tulisannya, Le Mythe de Sisyphe, menerjemahkan mitos itu sebagai sebuah absurditas. Ia meyakini bahwa upaya pencarian tujuan oleh manusia adalah sesuatu yang sia-sia di tengah dunia yang tak terpahami. Camus mengungkapkan, ”Perjuangan itu sendiri... sudah cukup untuk mengisi hati manusia. Kita harus membayangkan bahwa Sisifus berbahagia.”

 

Apakah situasi yang tengah di hadapi dunia kita hari ini ibarat kisah Sisyphus? Benarkah upaya kita menghadapi virus adalah sebuah pertarungan yang sia-sia; siklus tak berujung? Apakah suatu saat, barangkali di masa depan, seseorang akan menemukan mesin waktu yang bisa membawa kita kembali ke masa lalu dan ”memperbaiki” keadaan?

 

Virus—dalam konteks hari ini—bukan lagi semata mikroorganisme patogen yang asal-usulnya diteliti secara ilmiah, melainkan telah ”bermutasi” menjadi ”mitos” yang mencekam keseharian kita. Virus tidak saja menjangkiti sebagai penyakit jasmani, tetapi juga hidup di alam pikir manusia sebagai sesuatu yang mengganggu atau diyakini, namun sekaligus juga penuh ”desas-desus”.

 

Apabila selama ini mitos dianggap hanya bagian dari kisah-kisah masa lalu, alam para leluhur, atau dongeng yang berkaitan dengan dewa-dewa, kini ia telah bertransformasi selaras dengan dinamika masyarakat kontemporer. Mitos telah menjelma dalam media sosial, berita-berita online (daring), hingga perangkat seluler.

 

Ibarat siklus, varian demi varian virus selalu datang berulang pada periode-periode tertentu kehidupan umat manusia. Karena itu, manusia mau tidak mau memang harus bersiap menghadapi batu nasibnya, laiknya Sisyphus. Ataukah, manusia di masa depan akan mencari jalan pembebasan lain; membuat mesin waktu dan kembali ke masa lalu—yang mungkin juga tiada berujung?

 

Drama Sisyphus: The Myth barangkali memang tidak hendak memberikan akhir yang pasti bagi para tokohnya. Penonton ditinggalkan dalam penutupan yang ambigu. Apakah dunia masa depan terselamatkan, ataukah para tokohnya hanya mengulang siklus yang sama seperti Sisyphus, kita tidak pernah tahu. Namun, setidaknya, marilah kita bayangkan Seo Hee dan Tae Sul telah hidup bahagia di sebuah tempat yang indah, barangkali pengujung tanjung pulau kecil Banda Neira, atau jangan-jangan di Sibanggede, Badung—desa kelahiran saya di Bali. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar