Sabtu, 22 Mei 2021

 

Pendidikan, Riset, dan Kemajuan Bangsa

Rokhmin Dahuri ;  Guru Besar Manajemen Pembangunan Pesisir dan Lautan – IPB University, Member of International Scientific Advisory Board, University of Bremen, Germany)

KOMPAS, 20 Mei 2021

 

 

                                                           

Sejarah dan fakta empiris membuktikan bahwa sejak kejayaan Romawi hingga kini, bangsa-bangsa yang maju, makmur, dan berdaulat adalah mereka yang menguasai iptek dan mampu menghasilkan inovasi secara berkelanjutan. Bukan negara yang melimpah kekayaan sumber daya alamnya.

 

Kemudian, penguasaan iptek dan kemampuan berinovasi sangat bergantung pada kapasitas riset dan kualitas sumber daya manusia (SDM) dari suatu bangsa. Sayangnya, semua indikator kinerja utama bangsa Indonesia yang terkait dengan iptek, inovasi, dan SDM masih rendah.

 

Kapasitas iptek Indonesia baru mencapai kelas-3 (technology-adaptor country), di mana lebih dari 70 persen kebutuhan teknologi nasional berasal dari impor. Sementara negara maju adalah yang kapasitas ipteknya kelas-1 (technology-innovator country), yang lebih dari 70 persen kebutuhan teknologinya dihasilkan oleh bangsa sendiri (UNESCO, 2019).

 

Kapasitas inovasi kita menempati peringkat ke-85 dari 126 negara yang disurvei, dan pada urutan ke-7 di ASEAN. Kualitas SDM Indonesia yang tecermin pada IPM (Indeks Pembangunan Manusia) pun baru mencapai 0,71, belum memenuhi syarat sebagai bangsa maju dengan IPM di atas 0,8. Pada tataran global, IPM Indonesia berada di peringkat ke-107 dari 189 negara yang disurvei, dan ke-6 di kawasan ASEAN.

 

Selain itu, kemampuan literasi kita masih sangat rendah, tercermin pada indeks minat baca yang hanya 0,001. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, hanya satu orang yang rajin membaca (UNESCO, 2012). Hasil survei PISA yang mengukur kemampuan membaca, matematika, dan sains pelajar kelas tiga SLTP di seluruh dunia, mengungkapkan bahwa pada 2018 dari 78 negara yang disurvei, Indonesia hanya menempati peringkat ke-72.

 

Meskipun, berdasarkan bidang keilmuan (fakultas) yang mencakup pertanian, kehutanan, dan perikanan; IPB University sudah mencapai peringkat ke-62 dunia, tetapi secara kelembagaan, dari 4.500 perguruan tinggi di Indonesia, belum ada satu pun yang masuk dalam 100 perguruan tinggi terbaik di dunia. UI baru mencapai peringkat ke-657, diikuti oleh UGM di urutan ke-813, IPB University ke-1.089, ITS (1.091), Unibraw (1.221), Unair (1.323), Telkom University (1.376), dan ITB (1.650) (Webometrics, 2021).

 

Hal yang lebih mencemaskan, kita pun menghadapi darurat gizi buruk, di mana 30 persen anak balita mengalami stunting growth (tengkes) dan 33 persen menderita gizi buruk. Jika tidak segera diperbaiki, niscaya kita akan mewariskan generasi yang lemah fisiknya dan rendah kecerdasannya, a lost generation.

 

Penyebab ketertinggalan

 

Sejumlah faktor telah mengakibatkan rendahnya kapasitas iptek, inovasi, dan kualitas SDM. Pertama, belum ada Peta Jalan Pendidikan dan Riset Nasional yang komprehensif dan benar yang diimplementasikan secara berkesinambungan. Setiap kali ganti menteri, ganti pula kebijakannya sehingga ibarat membangun ”istana pasir” atau tarian poco-poco.

 

Kedua, ekosistem Perguruan Tinggi (PT) yang meliputi: (1) SDM; (2) prasarana dan sarana; (3) tata kelola (visi pimpinan, culture of excellence, kebebasan akademik, kurikulum, teknik pengajaran, dan regulasi); dan (4) anggaran pada umumnya masih jauh dari standar PT berkelas dunia (World Class University). Metode pengajaran di sebagian besar PT di Indonesia hanya berupa transfer pengetahuan. Bersifat hafalan, bukan mengembangkan kapasitas analisis, kreativitas, inovasi, dan pemecahan masalah (problem solving).

 

Kewirausahaan (entrepreneurship), kerja sama (team work), kemampuan berkomunikasi, kepemimpinan (leaderships), dan aspek keterampilan lunak (soft skill) lainnya pun kurang mendapat perhatian. Kebanyakan program studi tidak dilengkapi dengan laboratorium dan sarana praktikum lainnya. Sedikit sekali PT di Indonesia yang berbasis riset (Research-Based University) seperti di negara-negara industri maju. Sehingga, lulusan PT di Indonesia pada umumnya kurang kompeten, tidak siap kerja, dan kalah bersaing dengan lulusan PT dari negara-negara lain.

 

Wajar, bila banyak lulusan PT yang menganggur. Tulisan (karya) ilmiah dari berbagai hasil penelitian PT yang dipublikasikan di jurnal-jurnal ilmiah internasional ternama pun jumlahnya masih terbatas. Dan, masih sedikit sekali (kurang dari 15 persen) hasil penelitian PT kita yang mendapatkan hak paten berupa prototipe (invention) kemudian sukses diindustrikan (scalled-up) menjadi produk, proses produksi atau aplikasi (innovation) komersial yang laku di pasar domestik maupun global.

 

Ketiga, mirip dengan di PT, pusat-pusat riset di bawah kementerian maupun lembaga pemerintah (seperti LIPI, BPPT, Batan, dan Lapan) pun hasilnya sebagian besar berakhir pada prototipe (invention). Sedikit sekali hasil penelitian yang sudah mencapai tahap prototipe (technological readiness) berhasil diindustrikan menjadi produk inovasi komersial (market and business-readiness) untuk memenuhi kebutuhan nasional maupun ekspor.

 

Kondisi memprihatinkan ini disebabkan minimnya infrastruktur dan sarana riset, rendahnya kesejahteraan serta penghargaan sosial bagi para peneliti, dan terbatasnya anggaran. Betapa tidak, saat ini anggaran riset Indonesia hanya sebesar 0,24 persen PDB. Sedangkan, Vietnam 0,53 persen, Thailand 1 persen, Malaysia 1,44 persen, Singapura 2 persen, dan China 2,19 persen. Sementara itu, negara-negara industri maju, seperti Amerika Serikat mencapai 2,84 persen, Jepang 3,26 persen, dan Korea Selatan 4,81 persen. Idealnya, anggaran riset suatu negara minimal 1,5 persen dari PDB-nya (UNESCO, 2021).

 

Selain itu, banyak program (topik) penelitian yang sama dikerjakan oleh beberapa pusat riset (overlaping). Di sisi lain, beberapa topik penelitian yang sangat dibutuhkan, justru tidak ada lembaga yang mengerjakannya (mismatch).

 

Sebagian besar topik penelitian juga tidak sesuai dengan kebutuhan pembangunan atau pasar. Akibatnya, begitu banyak hasil penelitian yang secara ilmiah sangat bagus (world-class), tetapi tidak bisa diindustrikan menjadi produk inovasi komersial. Karena, mayoritas peneliti mendesain dan melaksanakan penelitian bukan berdasarkan pada apa yang dibutuhkan oleh industri atau pasar, tetapi lebih untuk memenuhi pengembaraan ilmiah (scientific adventure).

 

Namun, yang lebih menyesakkan dada, hampir semua perusahaan swasta, BUMN, dan lembaga pemerintah lebih suka mengimpor produk teknologi ketimbang mengembangkan inovasi teknologi dari hasil penelitian karya bangsa sendiri. Banyak pengusaha kita yang dulunya industriawan berubah menjadi sekadar pedagang pengimpor.

 

Keempat, kebanyakan lulusan pendidikan dasar dan menengah kita, mulai dari tingkat PAUD, SD, SLTP, hingga SLTA hanya unggul di hafalan, namun lemah daya talar, kemampuan analisis, dan kreativitasnya. Kemampuan literasi, komunikasi, dan kerja sama pun kurang berkembang. Selain itu, kemampuan dasar di bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) yang merupakan pondasi dari inovasi dan produktivitas suatu bangsa pun masih lemah.

 

Tak mengherankan, jika proporsi ekspor produk manufaktur berteknologi tinggi Indonesia hanya 8,1 persen; selebihnya (91,9 persen) berupa komoditas. Sementara itu, Singapura sudah mencapai 85 persen, Malaysia 52 persen, Vietnam 40 persen, dan Thailand 24 persen (UNDP, 2021). Pendapatan Nasional Bruto (GNI) per kapita Indonesia pun pada 2020 baru 4.050 dollar AS, masih sebagai negara berpendapatan-menengah atas (GNI per kapita antara 4.046 hingga 12.535 dolar AS). Indonesia belum menjadi negara makmur (high-income country) yang GNI per kapitanya di atas 12.535 dollar AS.

 

Agenda pendidikan dan riset

 

Untuk itu, membenahi benang kusut permasalahan pendidikan dan riset nasional yang tak kunjung usai, mesti ditangani secara holistik, terpadu, dan berkesinambungan. Tidak bisa didekati secara tambal sulam, sektoral, dan terputus-putus seperti yang terjadi selama ini.

 

Di bidang riset, prioritas agenda penelitian seyogianya difokuskan pada semua aspek yang terkait dengan kebutuhan dasar manusia, yakni pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, elektronik, transportasi, serta pertahanan dan keamanan (hankam). Selain itu, bidang SDA yang merupakan keunggulan komparatif Indonesia, termasuk kemaritiman, kehutanan, pertanian, pariwisata, energi, dan sumber daya mineral, juga mesti mendapatkan prioritas.

 

Guna mendukung pembangunan berkelanjutan, prioritas riset juga perlu dicurahkan untuk segenap aspek tentang pengelolaan lingkungan hidup, Perubahan Iklim, tsunami, gempa bumi, dan bencana alam lainnya. Karena kita hidup pada era Industri 4.0, maka segenap prioritas penelitian itu harus berbasis pada teknologi generasi Industri 4.0 seperti IoT (Internet of Things), Artificial Intelligent, Block Chain, Cloud Computing, Big Data, Robotics, Drone, Human-Machine Interface, New Materials, Nanoteknologi, dan Bioteknologi. Lebih dari itu, aspek yang diteliti dan dikembangkan untuk setiap agenda penelitian bukan hanya terkait dengan teknologi dan teknik (engineering), tetapi juga aspek pemasaran (marketing), serta sosial, ekonomi, dan budayanya.

 

Kemudian, harus ada pembagian tugas antarlembaga penelitian yang tersebar di sejumlah PT, kementerian, dan lembaga pemerintah sesuai dengan kompetensinya. Mekanisme kerja sama antarlembaga penelitian, termasuk dengan lembaga penelitian negara lain, pun mesti disusun dan dilaksanakan secara tepat serta berkesinambungan.

 

Setiap lembaga penelitian harus diberi target terukur tentang berapa prototipe, produk inovasi, dan publikasi ilmiah per tahun. Selanjutnya, hasil penelitian dari setiap lembaga yang sudah mencapai tahap prototipe, sebanyak mungkin harus diindustrikan menjadi produk inovasi yang laku di pasar dalam negeri maupun luar negeri.

 

Pengindustrian prototipe hasil penelitian merupakan tugas utama dari pihak industriawan (swasta dan BUMN). Sedangkan, yang menjodohkan (match-making) antara peneliti dengan industriawan adalah pemerintah. Seperti yang telah dilaksanakan di negara-negara industri maju, pemerintah memberikan insentif kepada sektor swasta yang mau mengembangkan produk inovasi teknologi dari hasil penelitian anak bangsa sendiri. Insentif itu bisa berupa deductible tax, kemudahan mengimpor peralatan dan bahan penelitian, bintang jasa, atau penghargaan sosial.

 

Dengan insentif tersebut, niscaya korporasi pun akan senang untuk mendonasikan sebagian keuntungannya guna meningkatkan anggaran riset nasional dari 0,24 persen menjadi 2 persen PDB. Patut dicatat, bahwa 70 persen anggaran riset di negara-negara maju dari sektor swasta. Sementara di Indonesia kontribusi swasta masih kurang dari 15 persen.

 

Di bidang pendidikan, pertama adalah memastikan bahwa semua anak Indonesia di seluruh wilayah NKRI harus dapat lulus minimal dari SLTA dengan kualitas yang mumpuni. Kedua, sejak dari jenjang SLTA, mesti sudah dibagi dua jurusan, yaitu SLTA umum (SMA) yang lulusannya dipersiapkan untuk melanjutkan ke PT umum (universitas) dan SLTA vokasi yang lulusannya dipersiapkan untuk langsung terjun ke dunia kerja atau yang hendak melanjutkan ke PT vokasi.

 

Proporsi kurikulum dan metode pengajaran di SLTA vokasi 70 persen berupa praktik, dan 30 persen pengajaran di kelas. Sementara di SMA, 70 persen lebih pengajaran di kelas, dan sisanya praktik di laboratorium. Dengan demikian, struktur angkatan kerja nasional kelak akan seperti di negara industri maju, dimana tingkat pendidikan minimal adalah SLTA. Tidak seperti sekarang 60 persen lebih terdiri dari mereka yang tidak tamat SD, lulusan SD, dan SLTP.  Struktur angkatan kerja kita pun bakal didominasi oleh lulusan SLTA vokasi, PT vokasi, dan universitas.

 

Ketiga, untuk memastikan bahwa 70 persen kurikulum PT vokasi berupa praktik langsung, maka selain membangun sendiri prasarana dan saran praktik, PT vokasi harus bekerja sama dengan dunia industri, baik milik swasta, BUMN maupun pemerintah sebagai tempat praktik (magang) para mahasiswa. Dosen harus punya pengalaman bekerja di industri sesuai bidang keahlian, bukan yang hanya menguasai teori.

 

Keempat, memastikan bahwa semua PT umum mampu menghasilkan lulusan yang kompeten dari aspek keterampilan keras (hard skills), keterampilan lunak, dan karakter. Sehingga, mereka akan siap bekerja atau menciptakan pekerjaan sendiri, mengembangkan iptek, dan mampu bersaing dengan alumni negara lain di dunia kerja.

 

Selain itu, hasil penelitiannya banyak yang mencapai tahap prototipe dengan hak paten serta bisa diindustrikan menghasilkan beragam produk inovasi, dan dipublikasikan di jurnal ilmiah internasional. Para dosen dan mahasiswanya berhasil melaksanakan kegiatan pengabdian pada masyarakat guna meningkatkan kualitas SDM, pembangunan ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat daerah.

 

Maka, SDM (dosen, mahasiswa, dan tenaga non-akademik)-nya harus unggul. Didukung oleh prasarana, sarana, dan dana yang berkualitas tinggi serta mencukupi. Dan, governance PT pun harus berbasis riset berkelas dunia (World-Class Research University). Pola kemitraan pentahelix (universitas, industri, pemerintah, masyarakat, dan media massa) harus terus diperkuat dan dikembangkan supaya Universitas tidak terjebak sebagai ‘menara gading’.

 

Segenap agenda pendidikan dan riset di atas akan berhasil jika didukung oleh kinerja sektor kesehatan yang mampu mengatasi problem stunting growth dan gizi buruk yang melanda anak-anak kita. Selain itu, terbangunnya infrastruktur digital yang dapat menghubungkan seluruh wilayah Nusantara sebagai pondasi pembangunan pendidikan dan riset pada era Industri 4.0 ini.

 

Sistem dan kebijakan politik-ekonomi pun harus kondusif bagi tumbuh-kembangnya sektor pendidikan dan riset. Kita optimistis bahwa kiprah Kemendikbud-Riset dan BRIN yang baru saja lahir, akan mampu mempercepat implementasi agenda di atas. Dengan begitu, Indonesia akan lulus dari middle-income trap pada 2035, dan menjadi bangsa maju, adil-makmur, dan berdaulat pada 2045. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar