Senin, 24 Mei 2021

 

Membaca Kembali Tjoet Nja’ Dhien

Ninuk M Pambudy ;  Wartawan Kompas

KOMPAS, 24 Mei 2021

 

 

                                                           

Sehari sebelum Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2021, pesan dari Eros Djarot masuk. Dia mengundang hadir dalam pemutaran film Tjoet Nja’ Dhien (TND) di sinema di Plaza Senayan Jakarta. Pesannya singkat, mengundang menonton bareng film TND pada Kamis (20/5/2021) sore, dilarang meneruskan lagi undangan itu. Dari pihak pemerintah akan hadir Erick Thohir, Menteri Badan Usaha Milik Negara.

 

Ada tambahan pesan, TND akan diputar juga di Pondok Indah Mall, Blok M Square, TSM Cibubur, dan Bekasi Mega Mall.

 

Menonton Tjoet Nja’ Dhien saat ini membuka peluang menggunakan perspektif berbeda dari saaat film ini ditayangkan pertama kali untuk publik tahun 1988. Secara teknis, film yang diproduksi selama tiga tahun itu masih tetap memukau. Dalam pengantarnya, Eros Djarot sebagai sutradara dan penulis cerita mengatakan, film ini telah mengalami restorasi di Belanda dengan bantuan Kementerian BUMN.

 

Eros berhasil mengarahkan sinematografer George Kamarullah menghadirkan kesan kolosal pasukan Aceh ataupun tentara bayaran (marsose) di bawah pemerintahan Hindia Belanda. TND bercerita tentang perang jihad antara rakyat Aceh yang dipimpin Teuku Umar (Slamet Rahardjo) bersama istri ketiganya, Tjoet Nja’ Dhien (Christine Hakim), melawan kape pemerintahan kolonial Hindia Belanda.

 

Perlu diingat, saat TND dibuat, teknologi komputer pembangkit citra belum secanggih saat ini. Kesan pasukan kedua belah pihak yang berjumlah ratusan hingga lebih dari 1.000 orang dibuat melalui permainan kamera.

 

Tentu saja harus dicatat kemampuan Tjoet Nja’ Dhien sebagai perempuan pemimpin pasukan yang hampir semuanya laki-laki setelah suaminya, Teuku Umar, tewas dalam penyerbuan di Meulaboh tahun 1899. Tjoet Nja’ Dhien teguh dan tegas sebagai pemimpin yang tidak kenal menyerah pada tekanan yang semakin berat dari pasukan Hindia Belanda, termasuk saat harus membunuh dengan tangannya sendiri, seorang lebai yang berkhianat.

 

Pada sisi lain, dia juga seorang ibu bagi Cut Gambang, anak Teuku Umar dari pernikahan dengan Nyak Mahligai. Dia juga sabar dan bijak mendengar masukan. Seandainya Eros memberi porsi lebih detail pada kemampuan strategi Dhien,  ketokohan Dhien sebagai ahli strategi akan semakin menonjol.

 

Kekalahan harus diterima Dhien pada tahun 1905. Orang kepercayaan Dhien, Pang Laot, tidak tega melihat penglihatan Dhien yang memburuk dan kakinya yang tak mampu lagi dibawa berjalan, kemudian menyerahkan Dhien kepada tentara Hindia Belanda.

 

Melihat TND dan membaca sejumlah tulisan mengenai Cut Nya’ Dhien, terlihat rakyat Aceh tidak berkeberatan dipimpin perempuan. Perempuan tampil memimpin ketika membuktikan dia memiliki kemampuan.

 

Gambaran ini laik menjadi pembanding. Belakangan ini kembali muncul narasi dengan alasan agama mendomestikasi perempuan tidak boleh berkarya di ruang publik. Alasannya, perempuan sumber fitnah. Sementara satu abad lalu, perempuan sudah menunjukkan kepemimpinan, ahli strategi, dan mampu menjaga martabatnya di ruang publik.

 

Bahkan setelah ditangkap, Dhien masih menjadi penyemangat perlawanan rakyat Aceh. Pemerintah kolonial sampai harus membuang Dhien ke Sumedang, Jawa Barat, untuk memutus hubungannya dengan rakyat Aceh.

 

Menonton TND mengingatkan pada kolonialisme, yang sampai hari ini masih berlangsung. Contoh terakhir adalah pendudukan Israel atas wilayah Gaza yang merupakan tempat tinggal rakyat Palestina.

 

Narasi yang dibangun Israel ketika menghujani rakyat Palestina di Gaza dengan rudal adalah membela diri dari serangan Hamas. Akan tetapi, yang jarang disebutkan adalah serangan Hamas sebagai perlawanan terhadap penggusuran Israel atas permukiman warga Palestina di perkampungan Sheikh Jarrah. Juga perlawanan atas kekerasan aparat Israel terhadap jemaah yang sedang beribadah di Masjid Al Aqsa pada bulan puasa lalu. Masjid Al Aqsa adalah masjid suci bagi umat Muslim karena di situ titik pijak Nabi Muhammad SAW melakukan Isra’ Mi’raj.

 

TND menggambarkan narasi pemerintah kolonial Hindia Belanda, yaitu rakyat Aceh adalah pembangkang yang harus ditundukkan. Narasi kolonial tidak mengakui bahwa mereka merampas tanah milik masyarakat merdeka yang memiliki adat istiadat dan keyakinan agamnya sendiri.

 

Mendiang Edward W Said, guru besar sastra yang menggulati kajian postkolonial, dalam bagian Pendahuluan bukunya yang sangat penting dalam kajian postkolonial, Orientalism, menunjukkan bagaimana dominasi budaya bekerja.

 

Istilah Oriental atau Timur adalah ciptaan Barat (Eropa) tentang non-Barat, integral dalam budaya dan peradaban Eropa. Orientalisme mengekspresikan dan mewakili budaya dan ideologi sebagai cara diskursus yang didukung kelembagaan, kosakata, citra, doktrin, serta birokrasi dan gaya hidup kolonial. Dengan demikian Timur didefinisikan oleh Eropa yang memberi gambaran Timur sebagai orang-orang yang eksotis, tempat yang romantis, dan ingatan dan lansekap yang terus diingat, dan pengalaman menakjubkan. Akan tetapi, sekaligus tanah jajahan, kekerasan, bahkan teroris.

 

Globalisasi dan internet membuat orang lebih mengenali ”liyan”, tetapi pengalaman tersebut tetap didefinisikan melalui produksi ilmu pngetahuan, citra, dan narasi yang dominan.

 

Dalam konteks ini, TND menawarkan narasi tandingan terhadap kolonialisme. Akan menarik apabila suatu saat lahir film tentang Cut Nya’ Dhien dari tangan seniman Aceh sendiri sebagai cara melihat diri sendiri. Meskipun, setiap sudut pandang, bahkan yang datang dari masyarakatnya sendiri, tetap perlu dicermati secara kritis dan obyektif.

 

Membangkitkan film

 

Memenuhi undangan menonton TND ke bioskop sebetulnya membuat perasaan mendua.  Setelah lebih satu tahun tidak pernah pergi ke gedung bioskop, apalagi film yang ditayangkan mendapat banyak pujian saat pertama kali tayang tahun 1988, rasa ingin tahu menang daripada kekhawatiran terhadap Covid-19. Apalagi ada janji protokol kesehatan akan tetap dijalankan dan memang pengunjung diminta melakukan uji Covid-19 menggunakan GeNose C19.

 

Eros sebagai sutradara dan penulis cerita memberi alasan, pemutaran film TND bertujuan untuk memberi semangat sineas muda tidak putus memproduksi film. Mengundang Menteri BUMN adalah juga untuk meminta perhatian khusus pada industri film dalam negeri.

 

Erick Thohir berjanji akan menjadikan salah satu BUMN perfilman, Perum Produksi Film Negara (PFN), bukan sebagai saingan dalam memproduksi film. PFN akan dijadikan sebagai lembaga pembiayaan film. Sudah tujuh bulan keputusan diambil dan perubahan peran tersebut, termasuk sumber dana pembiayaan, masih dalam kajian. ”Membuat film mengandung risiko,” kata Erick di akhir acara pemutaran TND.

 

Upaya membiayai pembuatan film oleh pemerintah sudah pernah dilakukan meskipun keberlanjutannya tidak terdengar lagi. Sejumlah sineas, seperti Shanty Harmayn, mengajukan usulan pendanaan pembuatan film ke sejumlah negara yang memang menyediakan bantuan bagi sineas muda dunia.

 

Membuat film memang berisiko. Memadukan antara tontonan yang enak dilihat dan kualitas film yang baik tidak mudah. Film-film berkategori laku dalam menarik jumlah penonton tidak selalu memenangi penghargaan bergengsi.

 

Pandemi membuat bioskop harus ditutup pada periode tertentu. Meski demikian, menurut Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Rommy Fibri Hardiyanto, jumlah film yang disensor LSF pada tahun 2020 adalah 39.863 judul, naik 5 persen dari tahun sebelumnya yang berjumlah 37.908 judul.

 

Laporan Kinerja LSF 2020 memperlihatkan, mayoritas film yang lolos sensor tahun 2020 merupakan film televisi, yaitu 37.594 judul. Sementara film layar lebar produksi nasional hanya 68 judul. Jumlah ini turun lebih separuh dari jumlah film saat sebelum pandemi. Sementara untuk tahun 2021, hingga 21 Mei 2021 film layar lebar nasional yang lolos sensor ada 19 judul. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar