Minggu, 30 Mei 2021

 

Seni Gencatan Senjata

Agus Dermawan T ; Kritikus Seni, Penulis Buku-buku Budaya

KOMPAS, 29 Mei 2021

 

 

                                                           

Tanggal 29 Mei dirayakan sebagai Hari Internasional Penjaga Perdamaian PBB. Munculnya hari peringatan nan penting ini bermula dari usulan Asosiasi Pasukan Penjaga Perdamaian Ukraina. Institusi ini menyebut bahwa sejak UNTSO (United Nation Truce Supervision Organization - Organisasi Pengawasan Gencatan Senjata) berdiri pada 1948, banyak perdamaian yang berhasil diwujudkan. Usulan itu lantas dikukuhkan Majelis Umum PBB pada Desember 2002. Lalu hari pengingatan jasa para penjaga perdamaian itu diwujudkan pada 29 Mei 2003.

 

Maka masuk akal apabila setiap menjejak 29 Mei, saya lalu teringat kepada Carl Fredrik Reutersward (1934-2016). Ia adalah seniman yang mencipta patung “The Knotted Gun” (Pistol Tersimpul), yang terpasang provokatif di halaman Markas Besar PBB, New York. Tentu bukan saya saja yang mengingat, karena orang-orang seluruh dunia yang mampir di Markas Besar PBB selalu saja menuju ke patung itu, untuk berfoto ria.

 

“Ini spot foto wajib bagi semua orang yang singgah ke Markas Besar. Karena bagi PBB, Knotted Gun juga dimaknai sebagai monumen kesenian untuk mengungkit dan mengingat jasa besar para penjaga perdamaian di seluruh dunia,” kata Amen alias Nyoman Astapa Wiryawan, pemandu senior yang membawa saya ke sana.

 

Bahwa “Knotted Gun” adalah karya seni yang berfungsi sebagai pengungkit ingatan, juga diucapkan oleh Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan ketika menerima patung monumen itu dari Pemerintah Luxemburg pada 1988. Ia berkata bahwa sesungguhnya hanya seni yang bisa dipakai sebagai tanda pengingat jasa besar setiap orang. Setelah seni terbukti berhasil dipakai sebagai praktik yang unik dan manusiawi dalam meredakan permusuhan dan peperangan.

 

Sejak 2003 “Knotted Gun” diam-diam masyhur sebagai “monumen gencatan senjata” peperangan resmi yang terjadi di banyak negara. Padahal pada mulanya patung perunggu yang menggambarkan pistol Colt Python 357 dengan moncong terbundel itu dicipta untuk mengenang terbunuhnya John Lennon (The Beatles).

 

Ya, mendengar Lennon ditembak dengan pistol oleh Mark David Chapman pada 8 Desember 1980, Carl Fredrik tergerak untuk mencipta patung yang berkonten “Stop pembunuhan!”. Patung elegi itu lantas dipajang di Strawberry Field Memorial – Central Park, New York, sehampar taman tak jauh dari rumah Lennon.

 

Menghayati kedalaman makna dan keunikan metafora patung, anggota kerajaan dan petinggi pemerintahan Luxemberg berminat membangun replikanya untuk dipacak di halaman Markas Besar PBB. Carl Fredrik sangat setuju. Apalagi ketika patung itu kemudian dibikin 30 copy, untuk menghiasi kompleks gedung perwakilan PBB atau taman prestisius di berbagai negara.

 

“Saya ingin menginspirasi semua orang untuk melawan kekerasan dengan kesenian. Saya berkeyakinan bahwa seni, dengan simbol, metafora, dan keindahannya, bisa melunakkan perasaan kejam dan mengubah pikiran jalang. Ini ode bagi pencinta dan penjaga perdamaian,” kata Carl Fredrik.

 

Seni perdamaian

 

Bahwa seni bisa meredakan permusuhan dan memaksa gencatan senjata, memang terbukti di banyak peristiwa. Tak hanya sampai di situ. Bahkan seni bisa dipakai sebagai cara untuk memenangkan perdamaian, seperti yang dilakukan oleh Pasukan Perdamaian Indonesia UNOC (United Nations Operation in the Congo) tahun 1960-1961.

 

Mengetahui bahwa para pemberontak di Congo sangat percaya tahayul dan begitu takut dengan hantu, beberapa tentara seniman di pasukan Garuda III mencipta patung kayu yang dibungkus kain putih menjuntai-juntai sehingga menyerupai hantu Maryam Jembatan Ancol. Maka ketika pasukan pemberontak menyerang malam hari, puluhan hantu-hantuan dimunculkan. Penerangan senter membantu penampakan sehingga hutan jadi seperti teater yang menghenyakkan. Maka, tak kurang dari 3.000 tentara pemberontak dibikin lemes dan menyerah oleh penampakan berulang kali.

 

Pasukan Perdamaian Indonesia pimpinan Kolonel Kemal Idris ini dipuji oleh Letnan Jenderal Kadebe Ngeso, dari Ethiopia sebagai tentara seniman. Dan pasukan Garuda III pun terkenal dengan sebutan Les Spiritesses atau Pasukan Hantu Perempuan.

 

Semangat berseni-seni seperti itu juga dilakukan oleh para “seniman” Jepang ketika akan menyelamatkan Istana Bogor pada saat Jepang berkuasa sejak 1942. Ketika Jenderal Imamura menempati istana, seluruh dinding luar Istana Bogor dicat coklat, hitam, hijau tua, dengan nuansa dedaunan di semua sisinya. Kolamnya dikeringkan agar tak memantulkan cahaya. Rumput ilalang di-setting sebagai tetumbuhan liar.

 

Pemandangan rekaan yang teateral dan filmis itu diyakini bisa mengelabuhi pesawat pengebom musuh yang sewaktu-waktu datang pada malam hari. Kerja seniman Jepang ini berhasil, sehingga petinggi fasisme Jepang mendapatkan “kedamaian” yang diinginkan.

 

Sementara pada masa perang Dunia II tersebutlah Geoffrey Barkas (penulis naskah film, produser dan sutradara) serta Tony Ayrton, seorang pelukis. Dua seniman ini bekerja di Direktorat Kamuflase Timur Tengah milik Sekutu, yang melawan tentara Blok Axis (Nazi-Jerman, Italia dan Jepang) di Afrika Utara.

 

Dengan semangat keseniannya mereka membuat sebuah setting wilayah pertahanan perang palsu, dengan dilengkapi gudang amunisi, asrama, drum-drum minyak, mobil tentara serta tank. Benda-benda yang dibikin dari kardus itu dipoles mendekati presisi, dan kemudian ditutupi terpal dan daun-daun. Sehingga dalam foto pengintaian lawan akan terlihat seperti asli, dan layak diserbu.

 

Harapan Barkas dan Ayrton: ketika musuh lelah menyerbu wilayah yang salah, frustrasi akan melanda, peperangan akan terhentikan, dan kedamaian yang didapatkan. Walaupun seni pengelabuhan ini pada akhirnya difungsikan secara meleset, yaitu untuk taktik memenangkan pertempuran.

 

Ada pula seniman pencipta “sandiwara radio” yang membuat suara-suara di sebuah wilayah pertahanan. Audio itu berisi keriuhan di kamp militer yang disertai deru helikopter, truk, tank, dan teriakan prajurit. Audio tersebut lantas dibiarkan bocor dan masuk ke detektor musuh. Ujungnya menghasilkan kebingungan pihak lawan, lantaran sasaran yang dituju ternyata hanyalah daerah kosong. Setelah perang usai, pihak Blok Axis dan khususnya pihak Nazi-Jerman mengakui bahwa mereka kalah besar lantaran dikibuli para Ghost Army atau Tentara Hantu ciptaan seniman itu.

 

Pada era pasca perang, apa yang dikerjakan Ghost Army pada puluhan tahun kemudian digubah dalam metafora oleh S Teddy Darmawan (1970 - 2016) lewat karya “Love Tank”, yang pernah dipajang di National Museum of Singapura, 2009. Di situ Teddy menumpuk 7 tank dari kardus bercat pink (warna cinta) di atas puing-puing bekas perang. “Di sini seni tidak mengibuli lawan, tetapi melunakkan hati tank baja musuh,” katanya.

 

Seni salah fungsi

 

Tapi (ternyata) tidak semua kerja seni difungsikan sebagai kendaraan menuju perdamaian. Karena ada pula seniman yang sengaja mencipta untuk menghancurkan lawan di medan perang. Kisah Kuda Troya adalah contohnya.

 

Kata Troya berasal dari Troy, nama kerajaan yang didirikan pada 1800 SM. Sedangkan kisah Kuda Troya berasal dari sastra ciptaan Homerus yang hidup pada abad 8 SM. Cerita diawali dari penculikan Helena dari Sparta, yang dilakukan oleh Paris, pangeran dari kerajaan Troya. Atas penculikan itu para petinggi Yunani marah, dan penyerangan dilakukan.

 

Namun Troya sungguh susah ditaklukkan. Dari sini si ahli strategi Oddysseus merancang siasat bulus. Ia tahu orang Troya sangat memuja karya seni dan satwa kuda. Ia lantas memanggil para seniman untuk membuat patung kuda raksasa yang lucu dan sangat molek bentuknya. Patung kuda kayu ini kemudian dipersembahkan kepada rakyat Troya sebagai tanda gencatan senjata, awal dari perdamaian. Patung pun diletakkan di pelataran kerajaan. Lalu para petinggi Yunani mengajak rakyat dan tentara Troya berpesta pora sambil mabuk-mabukan.

 

Rakyat Troya tidak menyangka bahwa ternyata tubuh patung kuda raksasa itu menyimpan ratusan tentara pilihan. Ketika tengah malam tiba, dan pada saat semua warga Troya teler lantaran mabuk, para tentara Yunani melompat keluar dari perut kuda dan membunuh semua personil militer Troya.

 

Reruntuhan kerajaan Troya terletak di Kota Canakkale (350 kilometer sebelah barat Istanbul) dipromosikan sebagai ikon wisata Turki. Di antara serakan batu-batu besar reruntuhan bangunan, replika kuda Troya dari kayu dipajang menjulang. Di bawah patung itu para pemandu wisata seluruh dunia selalu menegaskan pemahaman: Kuda Troya adalah simbol dari penyalahgunaan kehalusan kesenian dalam kekasaran peperangan.

 

Ujung kalam, Hari Internasional Penjaga Perdamaian PBB selayaknya diuarkan sebagai hari yang diluhurkan. Dan seni sebagai jiwa utama dari semangat anti perang, harus tetap dilambungkan. Patung monumen “Knotted Gun” menjadi lambangnya. Apalagi pada hari-hari di akhir Mei 2021 ini, ketika Israel dan Hamas melakukan gencatan senjata, setelah perang hebat berlangsung di Jalur Gaza. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar