Sabtu, 22 Mei 2021

 

Detrumpfikasi dan Solusi Dua Negara

Dian Wirengjurit ;  Analis Geopolitik dan Hubungan Internasional

KOMPAS, 22 Mei 2021

 

 

                                                           

Presiden AS Joe Biden terus melanjutkan program “detrumpifikasi” ("detrumpification") kebijakan luar negerinya; kali ini dalam penanganan isu Palestina-Israel.

 

Sebagai kepala eksekutif, Biden tak lagi mengikuti penafsiran pasal II Konstitusi AS versi Presiden Donald Trump, yang pernah menyatakan “I have the right to do whatever I want”. Pada 7 April2021 Washington secara resmi mengumumkan pengucuran kembali bantuan senilai 235 juta dollar AS untuk Palestina dan mengupayakan solusi dua negara dalam konflik tersebut.

 

Dalam Deal of the Century yang diumumkan 28 Januari 2020 Trump menyatakan, Israel akan mendapatkan keamanan yang diperlukan, sementara rakyat Palestina memperoleh negara yang diinginkan. Padahal, deal yang oleh BBC disebut “the huge gamble” dinilai banyak pihak, menyebabkan ketidakpastian penyelesaian konflik ini; karena Israel dapat banyak, sementara Palestina hanya dapat ”secuil”.

 

Menurut Jeremy Bowen (BBC), Palestina menjadi negara yang terpotong-potong (truncated) tanpa kedaulatan yang semestinya; dikelilingi teritori Israel dan berulir di antara pemukiman warga Yahudi.

 

Peluang "Solusi Dua Negara"

 

Secara umum disepakati penyelesaian konflik Palestina-Israel ini harus berupa solusi dua negara yang hidup berdampingan secara damai. Konsep dua negara yang dibayangkan adalah Palestina dan Israel yang dibatasi Garis Hijau berdasarkan Perjanjian Gencatan Senjata (Armistice Agreement) 1949, di Tepi Barat dan Gaza, sebelum negara Yahudi itu mendudukinya pasca-Perang Enam Hari 1967.

 

Namun, Yehouda Shenhav dalam bukunya yang kontroversial Beyond the Two-State Solution (2012), menyatakan bahwa solusi dua negara adalah ilusi, karena mengabaikan kenyataan sejarah dan tidak menjamin berjangka panjang.

 

Solusi semacam ini dinilai tak ada artinya (do little) bagi jutaan pengungsi Palestina dan akan mencerabut ratusan ribu warga Yahudi yang tinggal di seberang Garis Hijau. Karena itu Garis Hijau harus dibongkar dan pemerintahan harus baru dibentuk, dengan pengaturan konstitusi yang jelas atas warga Palestina dan Yahudi.

 

Deal abad ini diartikan oleh PM Netanyahu sebagai dukungan Trump terhadap aneksasi semua blok pemukiman di Tepi Barat dan Lembah Yordan, kawasan sepanjang 100 km sungai Yordan di antara Laut Galilae dan Laut Mati.

 

Kesepakatan ini juga menetapkan Jerusalem sebagai ibukota Israel yang utuh termasuk Jerusalem Timur dan mengakui kedaulatan Israel atas sekitar 70 persen wilayah Tepi Barat. Artinya, negara Palestina akan berbentuk seperti “kepulauan” (archipelago) di daratan yang terhubung melalui jembatan-jembatan dan terowongan-terowongan.

 

Saat ini hampir 700.000 warga Yahudi hidup di lebih dari 100 pemukiman (dari hanya lima pada 1968) di Tepi Barat dan Jerusalem Timur. Resolusi DK-PBB 242 jelas menegaskan “tidak bisa diterimanya akuisisi wilayah melalui perang” dan hukum internasional juga menyatakan bahwa penjajah (occupier) tak boleh memukimkan warganya di daerah pendudukan. Dengan demikian semua pemukiman Yahudi di wilayah pendudukan Tepi Barat dan Jerusalem Timur sebenarnya ilegal; karena wilayah inilah (dan Gaza) yang akan menjadi negara masa depan bangsa Palestina.

 

Nasib Perjanjian Oslo

 

Sebenarnya prinsip solusi dua negara sudah disepakati di Perjanjian Oslo 1993, yang ditandatangani Pemimpin PLO Yasser Arafat dan PM Israel Yitzak Rabin. Di sini kedua pihak pada hakikatnya secara resmi telah mengakui hak masing-masing untuk eksis, dan menerima Resolusi DK-PBB 242 dan 338. Artinya, Palestina sepakat berdamai dengan Israel dengan imbalan Israel akan menarik diri ke batas sebelum 1967, dan keduanya akan meninggalkan jalan kekerasan.

 

Pada 1994, berdasarkan Perjanjian Kairo, disepakati pembentukan Otoritas Palestina dan penarikan Israel dari Gaza dan Jericho. Pada 1995 wewenang Otoritas Palestina diperluas ke enam kota lain, setelah tercapainya kesepakatan lanjutan (Oslo II); sedangkan kota ke tujuh Hebron akan dikembalikan pada 1996. Memang perjanjian Oslo II ini masih membagi Tepi Barat dan Gaza menjadi tiga bagian dalam hal pengelolaan administrasi dan keamanannya, yang akan dirundingkan kemudian.

 

Sayangnya, dari sejak awal, implementasi Perjanjian Oslo ini “diganggu” oleh ulah sekelompok garis keras di kedua pihak. Pada 1994 seorang ekstremis Yahudi Baruch Goldstein menembaki peziarah Muslim di Hebron; dan pada tahun sama kelompok militan Palestina (Hamas) secara resmi menolak solusi dua negara dan mulai melakukan bom bunuh diri. Semua ini diperburuk ketika 4 November 1995 PM Rabin dibunuh oleh seorang ekstremis Yahudi saat menghadiri demonstrasi damai.

 

Dinamika di kedua pihak setelah itu, termasuk turunnya PM Ehud Olmert (Partai Kadima yang moderat) dan naiknya Netanyahu (Likud yang bergaris keras), dan menangnya kelompok Hamas di pemilu Palestina di Gaza (2006), praktis meruntuhkan upaya membangun kepercayaan yang telah terbina.

 

Meski menghadapi sejumlah kendala serius, solusi dua negara berdasar Perjanjian Oslo seharusnya tetap jadi pedoman, dengan sejumlah persyaratan.

 

Pertama, Palestina dan Israel perlu menyadari, proses penyelesaian masalah ini akan panjang dan bertahap. Pembahasan soal status Jerusalem, pemukiman Yahudi di Tepi Barat, Gaza dan Lembah Yordan, serta kembalinya pengungsi Palestina, jelas menuntut “take and give” yang seimbang.

 

Kedua, pemerintahan Otoritas Palestina dan Israel, harus dapat mengendalikan elemen garis keras di kubu masing-masing. Palestina telah menyia-nyiakan peluang “emas” ketika pada 2008 kedua pihak menyepakati prinsip pembagian Jerusalem, pengembalian pengungsi dan PM Olmert menawarkan pengembalian 93 persen wilayah di Tepi Barat.

 

Pengembalian Gurun Sinai Israel dari kepada Mesir sebagai bagian dari perjanjian damai kedua negara yang dimulai pada 1979 sampai 1982, bisa jadi rujukan. Ketika itu Israel harus membongkar 18 pemukiman penduduknya, dua pangkalan AU, sebuah pangkalan AL dan berbagai instalasi lainnya, termasuk ladang-ladang minyak yang dikuasainya.

 

Ketiga, Presiden Biden juga harus konsisten dan komitmen dengan program detrumpifikasi ini. Masalahnya, di tengah komplikasi ini, Biden telah menegaskan, pemerintahannya tak akan mengubah keputusan Trump terkait Jerusalem (sebagai ibukota Israel). Nah!

 

Dengan inisiatif detrumpifikasi, Kelompok Munich (beranggotakan Mesir, Yordania, Perancis. Jerman) untuk mengupayakan confidence building dan menghidupkan kembali dialog Palestina- Israel diperkirakan akan bekerja kembali. Kelompok Munich yang “dibentuk” Februari 2020 di sela sidang tahunan Munich Security Conference, memang bertujuan membantu pemerintahan baru AS.

 

Sayangnya usulan awal kelompok ini untuk memberi vaksin Covid-19, mencairkan akun bank para tahanan dan mengembalikan jenazah pejuang Palestina, serta membekukan pembangunan pemukiman baru, ditolak oleh Israel.

 

Peluang kontribusi Indonesia

 

Indonesia sebenarnya tetap memiliki peluang berkontribusi dalam penyelesaian konflik yang berlarut-larut selama tujuh dekade ini. Hambatan utama untuk berperan dalam proses perdamaian ini adalah tak adanya hubungan diplomatik dengan Israel. Padahal Indonesia sudah punya modalitas penting.

 

Pertama, Abdurrahman Wahid sudah sejak 1994 dikenal dekat dan dijuluki harian Haaretz sebagai “Teman Israel di Dunia Islam”. Ketika jadi presiden, Gus Dur (anggota kehormatan Yayasan Simon Wiesenthal) sudah mewacanakan pembukaan hubungan diplomatik RI-Israel. Kedua, kerja sama kedua negara sudah sejak lama terjalin, termasuk di bidang militer, ketika melalui Operasi Alpha, pada 1979 Indonesia membeli pesawat tempur A-4 Skyhawk dari Israel yang digunakan hingga 2004.

 

Ketiga, dikabarkan dalam pertemuan informal antara pejabat tinggi RI dan Israel di Jenewa pada 2006, Israel sudah menawarkan memberikan peran mediator pada Indonesia, asal Indonesia mengakui negara Bintang Daud itu. Keempat, bukan rahasia pula kunjungan WNI ke Jerusalem, kota suci ketiga agama Ibrahim, sudah berlangsung sejak lama, meski dengan pengaturan khusus.

 

Kelima, hubungan dagang sudah terjalin lama dan pada Oktober 2020 mencapai 174 juta dollar AS, dengan surplus di pihak Indonesia 66 juta dollar AS.

 

Di lain pihak, hubungan RI-Palestina juga sangat erat. Keberadaan rumah sakit Indonesia yang megah di Gaza, merupakan bukti kedekatan kedua bangsa. Belum lagi bantuan dalam pengembangan kapasitas.

 

Pengakuan atas eksistensi negara Palestina harus jadi prioritas, dan tinggal “selangkah” lagi. Ini dapat menjadi leverage bagi Indonesia untuk mempersuasi kelompok Hamas, yang dominan di wilayah itu, untuk meninggalkan strategi perlawanan bersenjatanya, dan bersama kelompok Fatah mengedepankan negosiasi.

 

Selain itu, kenyataan menunjukkan separuh negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), yang dibentuk pada 1969 kini sudah menjalin hubungan (diplomatik) dengan Israel; terakhir dengan pengakuan dari Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko dan Sudan. Sementara konflik Palestina-Israel dipahami bukan merupakan konflik agama, mengingat di Israel warga dari ketiga agama Ibrahim dan keyakinan lain juga sudah lama hidup berdampingan dengan aman.

 

Kalau selama ini Indonesia belum mau jalin hubungan diplomatik dengan Israel karena menunggu Palestina merdeka; nampaknya alasan ini kian kehilangan relevansinya.

 

Akhirnya, apapun inisiatif yang diajukan dan meski Biden mungkin belum bisa memberikan yang diharapkan, solusi dua negara tetap merupakan yang terbaik. Menurut David Horovitz (Times of Israel, 6/8/2020) “Solusi dua negara memang yang terburuk, tetapi hanya cara inilah yang dapat menyelesaikan konflik Palestina-Israel”. Sehingga kalau Yehouda Shenhav bilang solusi dua negara adalah ilusi, kenyataannya inilah solusi yang paling realistis. Tinggal apakah Indonesia, yang konsisten mendukung solusi dua negara, mau mengambil peluang yang ada? ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar