Sabtu, 29 Mei 2021

 

Semangat Waisak Gunakan Hati Berbuat Kebajikan

Iwan Setiawan ;  Pandita Buddha

KOMPAS, 26 Mei 2021

 

 

                                                           

Situasi akhir-akhir ini oleh kebanyakan orang bisa jadi disimpulkan sebagai situasi yang tidak mengenakkan karena penuh ketidakpastian, mengundang cemas yang berujung pada penderitaan. Bagaimana tidak, pandemi belum juga usai, di sejumlah tempat seperti India malah makin menjadi.

 

Namun, di tengah situasi ini pun, tingkat kejahatan malah tidak mereda. Bagai tidak terpengaruh pandemi, berbagai perilaku kejahatan malah memanfaatkan kesulitan yang ada untuk kepentingan pribadi semata. Dari perilaku korupsi bantuan sosial oleh oknum pemerintah, penggandaan uang yang berujung penipuan, hingga berbagai aksi kejahatan lain yang rupa-rupa bentuknya.

 

Banyak pengamat ilmu sosial menyalahkan buruknya situasi perekonomian seseorang jadi salah satu akar persoalan. Sepertinya, ”jika ekonomi susah, maka jadi wajar jika saya korupsi”. Tingginya tingkat korupsi, bahkan aksi terorisme hingga kriminal lain, seperti pencurian, penipuan dengan aneka modus, menjadi wajar terjadi karena tingkat ekonomi yang makin buruk.

 

Padahal, kalau kita mampu melihat dengan jernih dan mengacu pada ajaran Buddha, tentu tidak melulu demikian. Perilaku kejahatan, apa pun bentuknya, adalah kekalahan diri sendiri dalam melawan tiga akar kejahatan yang disebut sebagai keserakahan (loba), kebodohan (moha), dan kebencian (dosa) yang sebetulnya juga bersarang pada diri sendiri. Bagaimana melawannya dan apa sih bentuk dari loba, dosa, moha ini?

 

Hal ini menjadi penting dan tepat untuk kita renungkan, hayati, dan dijadikan landasan yang kuat untuk menghidupinya dalam pelaksanaan ajaran Buddha dalam keseharian. Dengan demikian, perayaan Trisuci Waisak tidak sekadar pelaksanaan rutinitas tahunan yang melulu ritual belaka sehingga malah hilang dalam sesaat dan tanpa arti yang membekas.

 

Trisuci Waisak adalah perayaan untuk memperingati kelahiran, pencapaian kesadaran sempurna, dan meninggalnya sang Buddha. Sang Buddha dilahirkan sebagai Pangeran Sidharta dari kerajaan Kapilavasthu. Singkat cerita, karena pengalamannya bertemu dengan adegan kelahiran bayi, menjadi tua, sakit, dan meninggal mendorong dirinya untuk jadi petapa. Beliau bertanya-tanya mengapa manusia harus melewati tahap lahir, tua, sakit, hingga kemudian mati? Apakah yang sebetulnya tujuan manusia dilahirkan jika kelak toh akan mati?

 

Beliau keluar dari istana, menanggalkan seluruh kemewahan yang melekat pada dirinya dengan menjadi seorang petapa yang mencari jawab terhadap misteri kehidupan yang ia temui tersebut. Sepanjang lebih dari enam tahun, beliau mempelajari banyak kitab, berkelana, bertapa, termasuk menyiksa diri dengan menahan makan dan minum. Pada usia 35 tahun beliau mencapai kesadaran di bawah pohon Bodhi.

 

Dari sekian banyak ajaran yang beliau babarkan, salah satunya adalah terkait konsep maitri karuna. Sebuah konsep ajaran untuk mencapai bahagia, yaitu dengan mencabut penderitaan orang lain dengan mewujudkan kebahagiaan. Secara sederhana, diartikan untuk memikirkan kebahagiaan orang lain sebagai wujud bahagia diri sendiri. Hal ini, jika dijalani berbagai kalangan, dalam berbagai praktik yang dihadapi dalam keseharian, dipercaya dapat menikmati kebahagiaan yang sesungguhnya.

 

Seperti seorang guru yang menjadikan kemajuan murid sebagai tujuan utama atau dokter yang menempatkan kepentingan pasien dan kesehatan dibanding yang lain hingga pengusaha yang senantiasa memikirkan layanan terbaik untuk konsumen ketimbang melulu mengumpulkan keuntungan untuk pribadi semata. Dan, masih banyak lagi.

 

Mengungkit hal ini menjadi senapas dengan tema Waisak nasional yang diangkat oleh Perwalian Umat Buddha di Indonesia (Walubi), yaitu ”Waisak Membangkitkan Semangat Persatuan untuk Indonesia Maju” dengan subtema ”Dengan Semangat Waisak Gunakan Hati Berbuat Kebajikan”.

 

Tema ini mengajak sekaligus sama-sama mengingatkan kita semua untuk bersatu, melaksanakan maitri karuna demi kemajuan Indonesia. Siapa pun kita, rakyat jelata atau pejabat pemerintah, profesional aneka profesi, semuanya untuk merawat, menggunakan hati untuk berbuat kebajikan. Hal ini termasuk menjawab misteri pertanyaan yang dicari jawab oleh sang Buddha. Seluruh kehidupan manusia pada akhirnya sejak lahir untuk kemudian mati hingga kembali lahir adalah untuk menjadi pelaksana maitri karuna.

 

Tidak mudah dan senaif itu tentunya. Sebab, pada keseharian, kita akan senantiasa bertemu dengan berbagai hal yang memancing munculnya dosa (kebencian), loba (keserakahan), dan moha (kebodohan) dari hati setiap manusia. Ketika kita terpancing, muncullah kejahatan itu.

 

Namun, Waisak ini justru mengajak kita untuk mengasah hati untuk senantiasa menghasilkan kebajikan. Bahwa yang membahagiakan pada akhirnya bukan setumpuk harta atau popularitas yang luas, tetapi kebajikan yang kita buat untuk orang lain. Sebagai murid sang Buddha, kita sewajarnya percaya dan melaksanakan ajarannya, dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari keluarga di rumah, saat melaksanakan aktivitas keseharian, bahkan saat menjelang mati sekalipun.

 

Kesulitan, seperti sulitnya keadaan ekonomi, badan yang sakit, atau tubuh yang menjadi renta karena tua, bisa jadi alasan kita untuk tergoda pada aksi kejahatan. Namun, sang Buddha justru mengajarkan hal itu tidak akan membawa dan menjadikan kita bahagia. Yang ada malah jatuh pada dunia neraka yang tak terputus. Pertarungan sesungguhnya adalah bagaimana kita melawan diri sendiri. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar