Rabu, 19 Mei 2021

 

Rekalibrasi Pembangunan Infrastruktur di Masa Pandemi

Bambang Susantono ;  Wakil Presiden Bank Pembangunan Asia (ADB)

KOMPAS, 18 Mei 2021

 

 

                                                           

Pandemi Covid-19 membuat banyak negara merekalibrasi pembangunan infrastrukturnya. Berkurangnya pendapatan pemerintah dan kian mahalnya pembiayaan dari pasar menjadi tantangan yang jamak dihadapi oleh banyak negara.

 

Padahal, negara-negara di Asia dan Pasifik perlu setidaknya 1,7 triliun dollar AS per tahun untuk membangun infrastrukturnya. Suatu angka yang fantastis, terlebih di tengah biaya tinggi untuk menangani pandemi Covid-19.

 

Pergeseran prioritas pembangunan menjadi tak terhindarkan. Pembiayaan sosial dan jaminan kesehatan yang sebelumnya kurang diperhatikan mendadak mutlak diperkuat karena merupakan prasyarat pulihnya ekonomi dan menjadikannya lebih tangguh.

 

Reorientasi

 

Pembangunan ekonomi sebagai paradigma dominan tergeser oleh kebutuhan berbasis pandeminomics. Terjadi penyetelan ulang besar-besaran (great reset) di hampir semua aspek kehidupan, dan hal ini berpotensi membawa keseimbangan tata ekonomi dunia baru ke depannya.

 

Reorientasi pembangunan infrastruktur terutama memang dipicu oleh menipisnya kas pemerintah dan berkurangnya dana dengan biaya terjangkau di pasar. Terbatasnya sumber dana menyebabkan banyak negara bergantung pada pembiayaan swasta melalui pola kerja sama pemerintah dan badan usaha. Akibatnya, timbul kompetisi untuk mendapatkan dana dengan ongkos yang memadai.

 

Hal tersebut menyebabkan berlakunya hukum kelayakan proyek. Apabila sebuah proyek disiapkan secara bankable, tingkat risiko proyek akan rendah yang lantas tecermin dari biaya pinjamannya.

 

Namun, apabila proyek tidak dapat mendemonstrasikan tingkat kelayakannya, risiko menjadi tinggi. Akibatnya, biaya bunga dan penyiapan proyeknya akan makin mahal.

 

Enam prinsip

 

Selain tantangan finansial, kebutuhan untuk menanggulangi dampak perubahan iklim dan potensi melebarnya kesenjangan mewarnai pembangunan infrastruktur ke depan. Dalam situasi ini, setidaknya ada enam hal utama yang harus menjadi perhatian.

 

Yang pertama adalah prinsip infrastruktur hijau, yaitu menempatkan lingkungan sebagai elemen yang tak terpisahkan. Selain kelayakan finansial, sosial, dan lingkungan, tiap pembangunan infrastruktur perlu menghitung dampak terhadap perubahan iklim.

 

Konsep climate proofing dan adaptasi desain terhadap perubahan iklim seyogianya menjadi bagian integral pada tahap perencanaan. Membangun infrastruktur tidak harus selalu menghadirkan desain struktur konstruksi yang masif, tetapi perlu mengedepankan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dengan alam. Di sinilah konsep solusi berbasis alam mulai banyak diterapkan dalam pembangunan infrastruktur di sejumlah negara.

 

Kedua, penggunaan teknologi digital menjadi keniscayaan dalam membangun infrastruktur. Digitalisasi, yang sebelumnya telah dianggap sebagai kondisi normal baru, kian terakselerasi oleh pandemi.

 

Teknologi digital terbaur dalam infrastruktur melalui smart energy, intelligent transport system, climate-smart agriculture, telemedicine, serta pembelajaran daring. Bank Pembangunan Asia (ADB) memonitor perkembangan proyek di lapangan saat pandemi menggunakan drone dan citra satelit.

 

Penggunaan kecerdasan buatan dalam mengolah big data untuk transportasi juga kian umum dijumpai.

 

Ketiga, pentingnya prinsip inklusivitas dalam membangun infrastruktur untuk mencegah melebarnya kesenjangan masyarakat pascapandemi.

 

Dalam laporan Leave No Countries Behind tahun 2021, ADB, UNDP, dan UNESCAP mengingatkan perlunya berhati-hati dalam mengambil langkah pemulihan ekonomi agar terhindar dari pola huruf K.

 

Dalam pola ini, kelompok masyarakat yang sudah sejahtera akan bertambah makmur, sedangkan kelompok yang kurang beruntung akan semakin terpuruk.

 

Keempat, perlunya memastikan terbangunnya sistem jaringan. Banyak infrastruktur yang tidak akan berfungsi dengan baik tanpa jaringan yang lengkap. Sistem pelabuhan dan bandara dibangun dengan prinsip hub-and-spokes dan semestinya tidak saling mematikan.

 

Digitalisasi akan tersendat tanpa dukungan jaringan telekomunikasi yang mumpuni. Waduk hanya akan berfungsi optimal apabila saluran primer, sekunder, tersier, hingga pencetakan sawahnya terkoordinasi dengan baik.

 

Jaringan air baku dan air bersih juga bergantung pada saluran distribusi rumah tangga. Artinya, pembangunan sistem yang terintegrasi harus disiapkan dari hulu hingga hilir.

 

Kelima, turunnya jumlah pengguna dan kemampuan masyarakat untuk membayar telah mengganggu arus kas pengelolaan infrastruktur. Pendapatan yang masuk tidak cukup untuk ongkos pemeliharaan dan depresiasi.

 

Sementara itu, banyak bank, yang sebelumnya bisa menjadi sumber pendanaan, terkendala potensi gagal bayar dari nasabahnya. Pemerintah pun sedang dihadapkan pada berkurangnya pendapatan pajak, turunnya investasi, serta melemahnya ekspor dan impor yang semakin mempersempit ruang gerak fiskal.

 

Karena itu, perlu cara-cara inovatif untuk membiayai infrastruktur, seperti memanfaatkan obligasi hijau dan obligasi ramah iklim, peningkatan nilai lahan (land value capture), ataupun pembiayaan campuran (blended financing).

 

Keenam, keterhubungan dengan pusat-pusat ekonomi. Infrastruktur tidak akan memberi manfaat maksimal apabila pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan iklim berusaha tidak dibenahi.

 

Infrastruktur prioritas

 

Penyumbang riil pada ekonomi lokal dan nasional adalah aktivitas dari para pelaku ekonomi. Jalan, air bersih, dan jaringan digital tidak akan memberi dampak berganda apabila kegiatan usaha dan aktivitas masyarakat tidak terjadi. Maka, penting untuk menentukan waktu yang tepat untuk membangun infrastruktur.

 

Infrastruktur yang dibangun tanpa mengindahkan bertumbuhnya pusat-pusat ekonomi dapat berpotensi merugikan negara karena penggunaannya yang suboptimal serta biaya operasi dan pemeliharaannya akan membebani pemerintah.

 

Lalu, bagaimana dengan prioritisasi jenis infrastruktur yang harus dibangun? Yang harus didahulukan adalah infrastruktur untuk membantu pulihnya kesehatan masyarakat, seperti fasilitas air bersih, sanitasi, perbaikan pengelolaan sampah, dan akses logistik untuk vaksin, obat-obatan, dan perangkat kesehatan.

 

Dengan kata lain, kesampingkan dulu infrastruktur yang menyedot biaya tinggi, baik dari dana pemerintah maupun bukan. Prioritaskanlah infrastruktur yang mendukung terpenuhinya kebutuhan dasar dan tertanganinya pandemi. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar