Selasa, 18 Mei 2021

 

Puisi Kegalauan Guru Besar

Budiman Tanuredjo ;  Wartawan Senior Kompas

KOMPAS, 15 Mei 2021

 

 

                                                           

Dalam suasana Idul Fitri, cuitan Twitter Prof Dr Emil Salim menarik perhatian. Dari akun @emilsalim2010, mantan menteri Orde Baru itu mencuit: ”Selagi masyarakat ramai mendiskusikan ’keganjilan ujian kebangsaan bagi calon aparatur sipil negara di lingkungan KPK’, sangat menarik bahwa tokoh pemerintah dan partai politik membungkam diri, seakan-akan membenarkan ungkapan: berdiam diri berarti bersepakat?”

 

Cuitan itu ramai. Pesan Emil Salim menarik, mengapa semua diam melihat langkah pemimpin KPK Komisaris Jenderal Firli Bahuri membebastugaskan 75 pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat sebagai aparatur sipil negara. Dalam bahasa awam, status 75 pegawai itu digantung. Mereka tidak diberi pekerjaan. Mungkin harapannya, mereka tidak kerasan dan memilih mundur dari KPK.

 

Sebanyak 75 pegawai dinyatakan tidak lulus tes kebangsaan. ”Tes wawasan kebangsaan bermasalah,” kata anggota Dewan Pengawas KPK, Syamsuddin Haris, atas nama pribadi. Publik tidak tahu utuh bagaimana tes dibuat karena memang tak ada penjelasan. Yang tidak lolos pun dari berbagai latar belakang. Ada yang beragama Islam, Kristen, ataupun Buddha. Namun, di antaranya, para kepala satuan tugas yang sedang menangani kasus korupsi.

 

Elite pemerintah terkesan membiarkan kontroversi di KPK menjadi urusan internal KPK. Hanya tenaga ahli utama Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin yang mau bersuara dan ”membela” kebijakan pemimpin KPK Firli Bahuri. DPR sebagai wakil rakyat pun, sami mawon, diam. Sinyalemen Emil bahwa berdiam diri berarti bersepakat mungkin benar adanya.

 

Perang opini terjadi. Beberapa pegawai yang tidak lolos dengan Komjen Firli Bahuri ditambah Juru Bicara KPK Ali Fikri. Empat wakil pimpinan KPK lain, Alexander Marwata, Nawawi Pomolango, Lili Pintauli Siregar, dan Nurul Ghufron, tak muncul. Padahal, pimpinan KPK adalah kolektif kolegial, bukan kepemimpinan tunggal.

 

Begitu juga dengan Dewan Pengawas KPK pilihan Presiden Joko Widodo yang diketuai Tumpak Hatorangan Panggabean, Harjono, Albertina Hoo, Syamsuddin Haris, dan Indriyanto Seno Adji yang masuk menggantikan Artidjo Alkostar. Hanya Syamsuddin dan Indriyanto yang berbicara.

 

Di luar, sejumlah ahli hukum masih punya energi membela KPK. Seperti Zainal Arifin Mochtar, Feri Amsari, aktivis ICW, dan belakangan Alissa Wahid dan Anita Wahid. Situasi ini berbeda ketika Cicak-Buaya, sejumlah aktivis antikorupsi langsung berkumpul di KPK saat KPK akan dilumpuhkan. Boleh jadi sebagian dari mereka sudah lelah dengan keadaan atau sudah berada dalam posisi nyaman yang meninabobokan.

 

Apakah betul kesunyian ini merupakan jalan mengantarkan KPK menuju kematian di bulan reformasi Mei 2021, biarlah sejarah mencatat. Sudah menjadi sejarah bangsa, kehadiran lembaga antikorupsi mengganggu kenyamanan. Kenyamanan koruptor yang mau memperdagangkan pengaruh dan memperjualbelikan jabatan. Sejak Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi, lembaga antikorupsi mati. KPK bisa bertahan 18 tahun sejak didirikan tahun 2003.

 

Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, beberapa kali KPK dikriminalisasi. Presiden Yudhoyono turun tangan membentuk tim independen untuk melindungi KPK. Presiden Yudhoyono berani mengambil langkah membebaskan komisioner Bibit Samad Rianto, Chandra Hamzah, Bambang Widjojanto, dan Abraham Samad yang sempat berurusan dengan Polri sehingga KPK masih bisa eksis.

 

Kini, pemandulan KPK diduga dilakukan dengan kerja sama kepentingan pemerintah dan DPR. UU KPK direvisi, gugatan uji formil ditolak Mahkamah Konstitusi, dan kemudian langkah ”penggusuran” pegawai KPK dengan dalih tidak lolos tes wawasan kebangsaan.

 

Sejak awal, KPK tak dikehendaki elite bangsa ini. Ia lahir karena tekanan massa pada Mei 1998. Hampir semua cabang kekuasaan ada perwakilannya di penjara korupsi. Hampir semua partai politik punya wakil di penjara KPK. Saat ini, masih ada kasus dana bansos yang dikorup dan masih diselidiki, korupsi di kementerian kelautan, ada wakil ketua DPR yang diduga cawe-cawe mengatur penyidikan KPK.

 

Dari teori kepentingan, wajar kalau ada keinginan terbuka atau tertutup untuk mengendalikan atau mematikan KPK. Suasana kebatinan bangsa ini seperti tercekam ketakutan. Republic of Fear. Yang menjalankan kekuasaan khawatir dengan kelangsungan kekuasaannya. Yang berada di luar kekuasaan khawatir tidak kebagian kue kekuasaan. Politik ketakutan tidak sejalan dengan politik kebangsaan yang antikorupsi.

 

Dewan Pengawas KPK punya kewenangan mengevaluasi kinerja pimpinan KPK. Presiden sebagai kepala negara punya kekuasaan menyelamatkan KPK dan pegawainya. Membentuk tim independen untuk mengaudit masalah yang menimbulkan krisis di KPK adalah salah satu jalan. Tim independen akan menambah bobot kredibilitas keputusan. Trust dan krisis otoritas sedang terjadi di KPK.

 

Jika ada kemauan politik untuk menyelamatkan KPK, tentu masih ada jalan. Tapi jika ada.... ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar