Sabtu, 29 Mei 2021

 

Energi Bersih Penopang Menjadi Negara Industri Maju

Kurtubi ; Anggota DPR Periode 2014-2019, Alumnus Colorado School of Mines, Institut Francaise du Petrole, dan Universitas Indonesia

KOMPAS, 28 Mei 2021

 

 

                                                           

Untuk menjadi negara industri maju pada tahun 2045, tidak bisa dicapai kalau pertumbuhan ekonomi berputar-putar di sekitar 5 persen seperti yang terjadi selama puluhan tahun pasca-oil boom pada tahun 1970-1990. Kalau ekonomi Indonesia hanya tumbuh sekitar 5 persen, dapat dipastikan pada tahun 2045 Indonesia belum bisa masuk menjadi negara industri maju seperti yang diprediksi PricewaterhouseCoopers dan juga dicita-citakan Presiden Joko Widodo dan rakyat Indonesia.

 

Karena itu, strategi pembangunan yang berjalan selama ini, khususnya yang terkait dengan kebijakan energi, harus disempurnakan, diubah, dan diarahkan agar proses penciptaan nilai tambah (value added) terus tumbuh dengan peningkatan yang lebih tinggi. Kegiatan ekonomi untuk mengubah bahan baku menjadi produk antara (intermediate) dan produk jadi (finish products) harus dilipatgandakan dalam wujud industrialisasi secara masif, baik industri dalam skala rumah tangga/UMKM, skala menengah, maupun skala/industri besar.

 

Untuk tujuan ini, dari segi kebijakan energi, negara tidak cukup dengan kebijakan seperti selama ini, yang lebih berkonsentrasi membangun pembangkit listrik kapasitas besar dari PLTU batubara, terutama di Pulau Jawa. Ke depan, negara harus menyiapkan energi listrik bersih dalam jumlah besar dan stabil agar cukup untuk menopang proses industrialisasi yang berjalan secara masif sekaligus mengikuti tren energi global menuju zero emisi gas rumah kaca seperti yang dicanangkan oleh Paris Agreement on Climate Change.

 

Dengan demikian, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang merupakan total penjumlahan selama satu tahun atau satu kuartal dari nilai tambah (value added) ekonomi yang tercipta dari seluruh sektor bisa tumbuh lebih tinggi, tidak berputar-putar di angka 5 persen. Kalau nilai tambah dari setiap sektor pertumbuhannya terus meningkat, otomatis pertumbuhan ekonomi secara nasional akan tinggi, bisa di atas 7 persen hingga tumbuh dua digit sebagai syarat menjadi negara industri maju pada tahun 2045.

 

Terkait ketersediaan listrik, listrik yang dibutuhkan adalah listrik yang bisa menopang industrialisasi, dengan ciri, pertama, listrik yang dominan berasal dari energi bersih bersifat tidak fluktuatif dan tidak terputus-putus (non-intermittent), bisa menyala 24 jam sehari semalam dan 365 hari dalam setahun. Pembangkit yang memenuhi kriteria ini adalah PLTU batubara, tetapi kotor; PLTP (panas bumi) meski masih mahal karena biaya pengeboran yang relatif mahal dan masalah lokasi, tetapi listriknya bersih; serta PLTN (nuklir) yang selain bersih dan aman kini juga lebih murah dari listrik batubara.

 

Kedua, listrik yang bebas emisi gas rumah kaca sudah menjadi tren kemauan dunia, dan kita sudah meratifikasi Paris Agreement on Climate Change menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016. Listrik dari energi baru terbarukan (EBT) memenuhi kriteria untuk listrik masa depan, terutama yang bersifat non-intermittent seperti energi nuklir dan geotermal.

 

Sementara energi terbarukan yang bersifat intermittent seperti PLT mikrohidro, PLT surya, PLT bayu, PLT biomas, dan PLT nabati meski energinya bersih, tetapi tidak bisa menghasilkan listrik 24 jam. Jika energi jenis intermittent masuk ke sistem jaringan transmisi grid PLN, harus dibantu oleh pembangkit yang non-intermittent dan bebas emisi gas rumah kaca, bukan dengan menggunakan pembangkit dari fosil seperti PLTD, PLTMG, dan PLTU. Hal ini dimaksudkan agar stabilitas dan fleksibilitas operasi transmisi grid tidak mengganggu beban dasar (base load) yang andal dan reliable yang sangat dibutuhkan oleh industri dan sekaligus tidak menambah emisi gas rumah kaca.

 

Pengalaman Jerman

 

Selama ini pembangkit listrik yang dipakai untuk menolong energi terbarukan masuk transmisi grid agar transmisi gridnya bisa stabil dan fleksibel adalah listrik dari fosil. Ini dilakukan oleh Jerman yang sangat mendorong energi terbarukan, tetapi anti-PLTN, sehingga dengan tambahnya PLT surya, PLT bayu, PLT biomas, dan lain-lain yang masuk ke sistem transmisi grid kelistrikan Jerman, selalu diikuti oleh kenaikan emisi gas rumah kaca (www.electricitymap.org).

 

PLTN yang bersih dan non-intermittent yang bisa masuk ke transmisi grid dengan efisien justru ditutup di Jerman. Akibatnya, energi terbarukan intermittent yang masuk sistem transmisi grid Jerman sebagian besar menggunakan bantuan listrik dari fosil (studi dari Joshua Goldstein dan Staffan Qvist).

 

Karena itu, meskipun Jerman merupakan negara dengan pemakaian energi hijau terbarukan (surya, angin, biomas, hidro) yang besar, ternyata fakta menunjukkan bahwa saat ini intensitas kandungan karbon (carbon intencity) dari setiap kwh listrik yang dikonsumsi di Jerman menunjukkan angka yang sangat tinggi. Sekitar 357 gram CO2/kwh listrik yang dikonsumsi, jauh lebih tinggi dari carbon intencity Perancis yang tercatat hanya sekitar 49 gram CO2/kwh.

 

Dengan kata lain, emisi karbon di Jerman delapan kali lebih tinggi dari emisi karbon di Perancis. Kebijakan energi Perancis bertolak belakang dengan Jerman di mana 70 persen listrik di Perancis berasal dari energi nuklir. Sementara Jerman merupakan pelopor anti-PLTN (www.electricitymap.org). Faktanya juga, Jerman saat ini menjadi negara dengan listrik yang paling kotor sekaligus menjadi negara dengan tarif listrik termahal di Uni Eropa.

 

Belajar dari kegagalan kebijakan energi Jerman yang anti-PLTN, Indonesia ke depan perlu memastikan base load yang andal/reliable untuk mendukung industrialisasi. Listrik berasal dari sumber energi bersih bebas karbon dan polutan serta non-intermittent. Ini artinya untuk jangka panjang PLTU tidak bisa lagi menjadi andalan base load sistem kelistrikan nasional.

 

PLTN generasi terbaru, Gen IV, yang masa pembangunannya lebih singkat, teknologinya lebih efisien dan lebih aman. Seyogianya PLTN segera menjadi bagian dalam sistem kelistrikan nasional.

 

Ketiga, tentu saja syarat listrik yang kita butuhkan ke depan adalah pembangkit listrik bersih yang dibangun oleh dana investasi tanpa menunggu dana APBN. Listrik yang aman dan murah, lebih murah dari listrik batubara yang selama ini menjadi andalan base load. Agar hasil produksi industri bisa bersaing di pasar internasional dan disukai oleh rakyat/konsumen dalam negeri karena harga produknya terjangkau yang didukung oleh harga listrik yang murah tanpa subsidi!

 

Berapa biaya pokok produksi (BPP) listrik dari setiap jenis pembangkit? Selama ini yang dikenal murah adalah listrik dari PLTU batubara dengan BPP sebesar 6-7 sen dollar AS per kwh yang dipakai sebagai acuan dalam pembangunan pembangkit dari energi terbarukan, terutama di Pulau Jawa.

 

Namun, rendahnya BPP PLTU batubara tersebut disebabkan belum menginternalkan externality costs yang berupa biaya yang harus dikeluarkan akibat adanya emisi, polutan, penyakit, dan kematian dari adanya listrik batubara. Sementara BPP listrik dari energi terbarukan menjadi lebih mahal karena faktor kapasitas yang relatif rendah akibat tidak bisa menghasilkan listrik 24 jam.

 

Menurut data EIA, PLT surya dan PLT bayu misalnya mempunyai factor capacity (perbandingan jumlah produksi listrik pada periode operasi tertentu terhadap kemampuan produksi sesuai daya mampu) masing-masing sebesar 24,9 persen dan 35,4 persen. Sementara PLTN yang tidak  bergantung pada musim, cuaca, dan angin, factor capacity-nya sebesar 92,5 persen.

 

Demikian juga dengan tingkat kematian (death rate) per terra watt hours (TWH) dari listrik yang diproduksikan oleh setiap jenis pembangkit. PLTU batubara, PLT migas, dan PLTN mempunyai tingkat kematian per TWH masing-masing sebesar 25, 20, dan 1.

 

Terlebih PLTN dengan teknologi terbaru yang semakin canggih (Gen IV) saat ini BPP relatif sangat murah, sekitar 5 sen dollar AS per kwh, lebih murah/bersaing dengan listrik PLTU batubara, dan sangat aman. Bahkan, PLTN Gen IV Type MSR (Molten Salt Reactor) berbasis Thorium menjamin kecelakaan seperti yang dialami PLTN Fukushima tidak akan pernah terjadi.

 

Adapun energi intermittent, BPP-nya dapat diturunkan dengan jalan menggratiskan biaya lahannya dan terus meningkatkan efisiensi teknologinya. Namun, tetap ada biaya yang timbul jika energi terbarukan ini masuk ke sistem transmisi grid PLN.

 

Kesimpulan

 

Karena Indonesia negara besar dalam luas wilayah dan jumlah penduduk yang saat ini sekitar 270 juta, dan berkeinginan menjadi negara industri maju pada tahun 2045 sekaligus dengan udara dan lingkungan hidup yang bersih dan sehat, kita membutuhkan tambahan pembangkit listrik yang banyak/besar sekitar empat kali total kapasitas saat ini.

 

Semua jenis energi baru terbarukan harus dikembangkan. Sementara listrik dari fosil harus dikurangi untuk akhirnya dihilangkan jika pembangkitnya telah mencapai usia life-cycle-nya dan tidak dibangun lagi.

 

Pembangunan pembangkit listrik harus dengan perencanaan yang tepat dan cerdas menyangkut lokasi, jenis, dan kapasitas pembangkit. Dalam jangka panjang, semua sumber daya alam fosil tidak boleh lagi dipakai untuk menghasilkan listrik. Sumber daya alam fosil bisa dikonversi menjadi industri petrokimia berbasis batubara dan berbasis migas. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar