Selasa, 18 Mei 2021

 

Memulihkan Ekonomi Melalui Digitalisasi

Junanto Herdiawan ;  Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia

KOMPAS, 17 Mei 2021

 

 

                                                           

Saat awal pandemi Covid-19, usaha Uswatun Hasanah, seorang perajin batik di Bangkalan, Madura, terpukul signifikan. Jangankan untuk membayar pekerjanya, untuk menghidupi keluarganya saja ia harus berpikir keras. Segala cara disiasati, termasuk melakukan diversifikasi produk masker batik.  Masalahnya kemudian adalah ke mana ia harus menjual produknya.

 

Uswatun mulai berkenalan dengan dunia digital dan menjual produk secara daring. Ia pun mulai mempelajari cara pembayaran digital menggunakan Standar Kode Respons Cepat Indonesia (QRIS) dan layanan perbankan digital. Hasilnya, empat bulan sejak pandemi, omzet usaha justru naik dua kali lipat. Seluruh perajin batik yang bekerja dengannya tetap dapat berproduksi dan tidak ada yang dirumahkan.

 

Kisah Uswatun ini mungkin hanya satu dari sebagian kecil pengusaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang dapat menyiasati pandemi dengan memanfaatkan digitalisasi ekonomi. Realitanya masih banyak pengusaha UMKM yang terpukul pandemi dan belum bisa bangkit optimal. Oleh karena itu, upaya memperluas digitalisasi ke berbagai wilayah Indonesia menjadi penting untuk membantu kehidupan masyarakat.

 

Dengan telah dilaksanakannya program vaksinasi di Indonesia dan tetap dipatuhinya disiplin protokol Covid-19, ekonomi diharapkan dapat pulih secara bertahap. Ada beberapa respons kebijakan yang telah ditempuh dan perlu terus diperluas oleh pemerintah dan Bank Indonesia, seperti pembukaan sektor produktif dan aman, mempercepat stimulus fiskal atau realisasi anggaran, mendorong penyaluran kredit, terus memberikan stimulus di bidang moneter dan makroprudensial, serta digitalisasi ekonomi dan keuangan.

 

Mengapa digitalisasi dapat menjadi jalan bagi pemulihan ekonomi? Kisah Uswatun menjadi salah satu contoh. Di tengah berkurangnya mobilitas produk dan jasa, termasuk manusia, transaksi digital justru dapat menjadi sarana pergerakan perdagangan.

 

Data BI menunjukkan bahwa transaksi e-dagang pada 2020 justru meningkat sebesar Rp 253 triliun dibandingkan dengan Rp 205,5 triliun pada 2019. Angka ini diyakini akan naik lagi sebesar 33,2 persen pada 2021 menjadi Rp 337 triliun. Sementara itu, transaksi uang elektronik pada 2020 juga meningkat sebesar Rp 201 triliun dibandingkan dengan Rp 145,2 triliun pada 2019. Angka ini juga diharapkan meningkat 32,3 persen pada 2021 menjadi Rp 266 triliun.

 

Bukan hanya e-dagang dan uang elektronik, penggunaan layanan perbankan digital di Indonesia juga naik signifikan menjadi Rp 27.000 triliun pada 2020 dibandingkan Rp 26.000 triliun pada 2019. Ini juga diperkirakan meningkat 19,1 persen pada 2021 menjadi Rp 32.000 triliun.

 

Kenaikan indikator tersebut menunjukkan bahwa geliat ekonomi digital dapat menjadi penyangga sekaligus pendukung pemulihan. Dengan digitalisasi, transaksi perdagangan tidak lagi dibatasi oleh ruang absolut di mana pembeli dan penjual harus bertemu secara fisik di satu tempat. Ekonomi digital dapat bekerja di tengah pembatasan mobilitas dan jarak.

 

Hal ini seperti apa yang dikatakan oleh David Harvey, seorang ilmuwan geografi, dalam artikelnya ”Between Space and Time: Reflections on the Geographical Imagination (1990)” bahwa modernitas memiliki kemampuan untuk mengatasi ruang-ruang absolut. Ia menyebutnya dengan istilah kompresi ruang-waktu. Digitalisasi membuktikan ramalan Harvey tersebut karena di masa pandemi batas ruang waktu semakin diterabas melalui digitalisasi.

 

Digitalisasi ekonomi diharapkan tidak hanya dilakukan di kota-kota besar, tetapi juga bisa diperluas hingga wilayah terdepan, tertinggal, dan terpencil. Langkah awal menuju percepatan digitalisasi ekonomi adalah dengan mengakselerasi digitalisasi di bidang sistem pembayaran. BI terus mengimplementasikan inisiatif-inisiatif yang telah tertuang dalam cetak biru Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025.

 

Inisiasi digitalisasi sistem pembayaran

 

Dalam Festival Ekonomi dan Keuangan Digital (FEKDI) yang dilaksanakan awal April 2021, Gubernur BI Perry Warjiyo telah menegaskan tentang komitmen BI dalam melakukan percepatan implementasi digitalisasi sistem pembayaran.  Pertama, melakukan perluasan QRIS yang nanti tak sekadar dapat digunakan untuk transaksi pembayaran di lingkup UMKM, tetapi juga diperluas ke berbagai dimensi ekonomi, seperti transportasi dan ritel.

 

Bank Indonesia akan terus mendorong implementasi penggunaan QRIS, baik di sisi permintaan maupun penawaran dengan sasaran target 12 juta pedagang (merchants). QRIS juga membantu pelaku UMKM karena, selain untuk mempermudah transaksi pembayaran, pelaku UMKM juga dapat membuat pencatatan transaksi dan pembentukan profil kredit mereka untuk memperoleh layanan perbankan.

 

Selain itu, BI juga sedang menguji coba QRIS yang dimunculkan di ponsel konsumen atau pengguna sehingga pedagang juga dapat memindai. Saat ini kode QR hanya dimiliki pedagang dan hanya konsumen yang dapat memindai.

 

Langkah kedua yang menjadi komitmen BI adalah upaya membangun kolaborasi antar-penyedia layanan untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat terhadap layanan keuangan digital yang berkelanjutan. Untuk itu, BI akan mendorong implementasi standar aplikasi pemrograman antarmuka (application progamming interface/API) secara terbuka untuk pembayaran bagi para pelaku industri.

 

Standardisasi ini penting karena akan meningkatkan efisiensi, mendorong interkoneksi, interoperabilitas, dan kompatibilitas penyelenggara, serta memitigasi risiko shadow banking. Implementasi API terbuka ini ditandai dengan langkah perbankan memberi kesempatan bagi perusahaan tekfin mengintegrasikan sistem, antara lain, transfer, informasi saldo, mutasi rekening, dan melihat lokasi anjungan tunai mandiri.

 

Hal ini tentu akan memperluas potensi kerja sama antara bank dan perusahaan tekfin, mendorong potensi inovasi produk dan layanan, menyediakan kanal baru sebagai akses layanan finansial, serta dapat meningkatkan pendapatan dari aktivitas digital. Dari sisi konsumen, API terbuka ini menyediakan alternatif sarana pembayaran yang cepat, mudah, murah, aman, dan andal sesuai preferensi konsumen terhadap layanan keuangan digital.

 

Langkah ketiga adalah mendorong elektronifikasi transaksi keuangan pemerintah, seperti keuangan pemerintah daerah, penyaluran bantuan sosial, dan transportasi. Elektronifikasi ini diharapkan dapat diperluas tidak hanya sebatas pada belanja daerah, tetapi juga untuk optimalisasi pendapatan. Hal ini bisa dilakukan dengan menggunakan pembayaran digital pada sektor perpajakan, retribusi pasar, rekreasi, izin mendirikan bangunan, dan lainnya. Elektronifikasi pembayaran tersebut dapat meningkatkan efisiensi pengelolaan anggaran, termasuk mencegah kebocoran anggaran yang kerap terjadi.

 

Keempat, BI juga akan mengimplementasikan sistem pembayaran cepat BI Fast untuk pembayaran ritel. BI Fast ini adalah infrastruktur sistem pembayaran ritel yang dapat memfasilitasi pembayaran menggunakan berbagai instrumen dan kanal pembayaran secara seketika (real time) dan 24/7 atau dapat dilakukan selama 24 jam dan 7 hari. BI Fast ini diharapkan dapat mempermudah perputaran dana bagi pelaku industri ritel dan UMKM karena pembayaran menjadi lebih cepat dan efisien sehingga mendukung aktivitas perekonomian.

 

Dengan berbagai inisiatif di bidang sistem pembayaran tersebut, termasuk implementasinya dalam Gerakan Bangga Buatan Indonesia dan Bangga Wisata Indonesia, kita berharap selanjutnya terwujud sebuah ekosistem digital yang memadai. Pandemi Covid-19 telah memukul perekonomian Indonesia. Namun, kondisi saat ini juga menjadi sebuah momentum bagi kita untuk mencari kreativitas dalam memulihkan ekonomi dan sumber baru pertumbuhan. Digitalisasi ekonomi adalah salah satunya. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar