Sabtu, 22 Mei 2021

 

Adab Iringi Terampil Digital

Tajuk Kompas ;  Dewan Redaksi Kompas

KOMPAS, 21 Mei 2021

 

 

                                                           

Don Tapscott, penulis buku populer Grown Up Digital, menulis, dia kagum dua anaknya yang berusia 7 dan 10 tahun sangat terampil menggunakan perangkat canggih.

 

Keduanya cakap menggunakan gawai dan seolah tak membutuhkan buku manual. Kesan serupa juga kita amati di sini.

 

Anak muda, sering masih belia, terbiasa dengan penggunaan gawai, dan orang menyebut mereka generasi digital; dari sononya sudah digital (digital native). Dengan segala kelebihan yang diperlihatkan oleh anak muda itu, Tapscott juga mengutip penelitian yang memperlihatkan sisi buruk teknologi digital. Disebutkan, antara lain, gawai membuat anak muda net generation mengalami kelainan defisit perhatian, kebanyakan dangkal, serta susah konsentrasi dan fokus pada urusan.

 

Boleh jadi itu hanya segi yang menyangkut keterampilan teknis. Ada lagi sisi yang boleh jadi lebih serius daripada itu, yaitu ceroboh, kurang periksa, dan hal ini disebabkan ada kesenjangan antara keterampilan teknis dan wawasan.

 

Berita terakhir tentang siswi MS (18) di sebuah SMA di Kabupaten Bengkulu Tengah yang dikeluarkan dari sekolah karena dinilai melanggar tata tertib. Ia sebelumnya mengunggah konten bernada kebencian terhadap Palestina di akun media sosialnya. Meski keputusan itu kontroversial, di luar itu kita risau pada fenomena yang melatarbelakangi kasus ini.

 

Praktisi pendidikan karakter Doni Koesoema menilai, bermunculannya kasus anak sekolah mengunggah konten hoaks atau ujaran kebencian di media sosial mesti menjadi bahan evaluasi pendidikan di sekolah, daerah, dan nasional (Kompas, 20/5/2021). Proses pendidikan kita belum menyiapkan anak untuk mampu berpikir kritis. Tak memadai anak hanya diajari literasi digital serta ancaman Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Kemampuan berpikir kritis harus jadi upaya serius proses pendidikan.

 

Diakui atau tidak, sedikit atau banyak, isu seperti konflik Israel-Palestina ikut menggerakkan emosi warga. Namun, perlu kita sadari, isu ini pelik. Oleh derasnya pemberitaan di media, pengaruh isu ini melebar hingga ke daerah, yang membuat siswa seperti MS ikut tergerak untuk merespons.

 

Di sini kita perlu mawas diri. Sebelum ini kita sudah sering mendengar nasihat ”saring sebelum sharing”, periksa dulu sebelum menyebarkan konten. Namun, emosi sering mengalahkan nalar. Masalahnya boleh jadi sistemik karena media juga perlu mengkaji ulang cara memberitakan isu sensitif. Memang dirasakan pas momennya untuk mengupas hal aktual. Namun, tetap diperlukan kesaksamaan menyangkut isu yang mengandung dimensi emosional dan membelah (opini). Jika akar masalah memang kompleks untuk dibahas, setidaknya porsinya tidak harus dibuat berkepanjangan.

 

Isu ”tersesat di ranah digital” patut menjadi perhatian otoritas pendidikan. Kepada siswa, selain perlu ditanamkan kesadaran ”saring sebelum sharing”, juga perlu diberi wawasan tentang isu mutakhir meski sangat menuntut kesabaran mengingat dalam lingkup nasional dan global, ada banyak isu yang rumit dan sensitif serta belum tentu kita bisa mencernanya dengan pas. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar