Senin, 10 Mei 2021

 

Tantangan Pertumbuhan Investasi

Santo Rizal Samuelson ;  Ekonom, Dosen, dan Finance & Economy Analyst di PT Graha Prima Energy

KOMPAS, 10 Mei 2021

 

 

                                                           

Relatif tidak ada kejutan berarti terkait penunjukan (kembali) Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan-Riset Teknologi dan penunjukan Bahlil Lahadalia sebagai Menteri Investasi.

 

Penggabungan Kemenristek dan Kemendikbud melahirkan kontroversi karena disinyalir akan mengecilkan peran riset dan teknologi. Fokus pengembangan riset dan inovasi akan terganggu. Negara ASEAN, seperti Singapura, Malaysia dan Thailand, justru memisahkan kementerian pendidikan dengan kementerian riset dan teknologi/inovasi.

 

Pembentukan Kementerian Investasi adalah strategi Presiden Joko Widodo memacu pertumbuhan investasi agar menciptakan lebih banyak lapangan kerja sesuai arah kebijakan pemerintah dalam omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020.

 

Sukses tidaknya kedua kementerian baru akan sangat bergantung pada kemampuan dan kecepatan dalam mengeksekusi visi dan misi Presiden. Pembentukan kementerian baru harus menjadi langkah maju membawa Indonesia keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap) menuju negara dengan perekonomian berbasis industri maju. Bonus demografi menjadi modal besar menciptakan SDM unggul dan inovatif.

 

Indonesia harus belajar dari pengalaman buruk masa lalu. Sebelum krisis moneter melanda Asia Pasifik (1997-1998), Indonesia sudah menuju menjadi negara yang mengandalkan industri pengolahan. Ekspornya didominasi oleh industri padat karya, seperti tekstil, elektronik dan alas kaki. Setelah krisis moneter, Indonesia malah bergantung pada perdagangan sumber daya alam (SDA) hingga terlena bonanza komoditas (batubara dan minyak sawit/CPO) dalam rentang tahun 2007-2013.

 

Perlombaan menuju negara berkembang dengan kemajuan sektor manufaktur berbasis revolusi industri 4.0 semakin kompetitif. Apabila Indonesia masih menerapkan paradigma ekonomi kolonial (gali, ambil, dan jual) yang mengandalkan komoditas semata, niscaya akan semakin tertinggal dari negara kompetitor selevel Thailand, Malaysia, dan Vietnam dan malah berpotensi dikejar negara medioker, seperti Etiopia, Sri Lanka, dan Bangladesh.

 

Contoh sukses negara yang berhasil bertransformasi menjadi negara industri maju adalah Jepang dan Korsel yang mengandalkan pembangunan SDM, riset, dan penguasaan iptek.

 

Pertumbuhan investasi menjadi critical point dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi. UU Cipta Kerja diyakini mampu menarik investasi yang kemudian akan menciptakan banyak peluang kerja dan bisnis. Penerimaan devisa dan pajak juga akan terdongkrak naik. Semakin banyak orang bekerja dan berbisnis tentu berdampak positif pada penerimaan pajak, terutama Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai.

 

Aspek kritikal

 

Berikut beberapa aspek kritikal yang harus terus dibenahi pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan dalam peningkatan pertumbuhan investasi. Pertama, pengendalian pandemi Covid-19, yang masih belum berakhir, secara cepat dan tuntas, agar dapat mendorong percepatan normalisasi ekonomi dan bisnis, menggenjot kinerja pertumbuhan sektor riil, serta peningkatan kepercayaan pasar dan masyarakat.

 

Peningkatan daya beli dan konsumsi masyarakat akan mendorong pembukaan lapangan kerja melalui ekspansi usaha dan peningkatan utilisasi pabrik-pabrik manufaktur.

 

Tanpa langkah nyata pengendalian pandemi, sangat sulit bagi pelaku usaha mempertahankan eksistensi bisnis. Modal yang dikeluarkan habis tergerus beban operasional yang lebih besar daripada pendapatan. Biaya operasional semakin berat karena kenaikan upah dan bahan baku di sejumlah wilayah, peningkatan biaya kesehatan karyawan (vaksinasi, disinfeksi ruang kerja, pemberian vitamin, dan tes kesehatan), hingga pemotongan subsidi pemerintah untuk korporasi.

 

Kedua, penyelesaian problematika tata kelola dan aturan pelaksana UU Cipta Kerja secara patuh (prudent) dan konsisten. Jangan sampai menimbulkan preseden buruk dengan membebani pelaku usaha dan investor secara berlebihan.

 

Implementasi aturan pelaksana omnibus law harus selaras dari pusat sampai daerah agar bisa menciptakan efisiensi riil sehingga menarik penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment (FDI). Arus masuk FDI menjadi katalis dalam peningkatan produktivitas ekspor serta percepatan adopsi teknologi dan integrasi Indonesia ke dalam rantai pasok global (global supply chain).

 

Permasalahan klasik terkait integrasi hulu-hilir industri serta daya saing produk dan ketersediaan data yang akurat harus segera dituntaskan. Reformasi struktural ekonomi dan bisnis yang belum tercakup di UU Cipta Kerja harus diselesaikan, seperti efisiensi rasio investasi kapital terhadap output (ICOR), efisiensi rantai pasok dan logistik, keterjangkauan biaya energi (listrik), keterbatasan tenaga kerja terampil (skilled workers), serta problematika skills mismatch pekerja dan produktivitas.

 

Tanpa pembenahan aneka persoalan industrial, kelemahan struktural ekonomi dan bisnis nasional akan terus berulang dan jadi beban berat bagi pertumbuhan ekonomi. Pembangunan infrastruktur, seperti jalan, jembatan, pelabuhan, dan bandara, sudah tepat dan patut diapresiasi. Namun, percuma jika tak menaruh perhatian serius pada pembaruan tata kelola sistem dan pembangunan SDM berdaya saing, sehat, dan inovatif dalam mengarungi era revolusi digital.

 

Daya saing inovasi

 

Ketiga, peningkatan indeks inovasi, riset, dan pendidikan vokasi yang berfokus pada penguasaan keterampilan dan keahlian spesifik menjadi kunci sukses membekali anak bangsa bersaing di percaturan global. Dalam indeks inovasi global (IIG) 2020, Indonesia memiliki skor indeks 26,49, urutan ke-85 dari 131 negara. Kalah dari pesaing di ASEAN. Singapura (8), Malaysia (33), Thailand (44), Vietnam (42), dan Filipina (41). Posisi tiga besar adalah Swiss (skor indeks 66,08), Swedia (62,47), dan AS (60,56).

 

Semakin tinggi indeks inovasi, maka semakin maju perekonomian suatu negara. Indikator IIG meliputi institusi, infrastruktur, output pengetahuan dan teknologi, SDM dan riset, serta kecanggihan bisnis dan pasar. Pemerintah harus menaruh perhatian ekstra terhadap anggaran riset nasional meskipun menjadi tantangan tidak ringan karena fokus Kemendikbud-Ristek terbelah.

 

Konsep triple helix mendorong industri membentuk poros kerja sama solid dengan akademisi/peneliti dan pemerintah sebagai fasilitator pendanaan dan fasilitas riset. Riset dan inovasi harus jadi tulang punggung dalam proses berkesinambungan. Jika tidak, alamat buruk bagi hilirisasi produk yang dihasilkan.

 

Data Bank Dunia 2020 menyebutkan, anggaran riset Indonesia tergolong kecil, hanya 0,28 persen dari PDB. Rata-rata dunia 2,04 persen, Malaysia 1,4 persen, Singapura 1,9 persen, China 2,1 persen, Jepang 3,2 persen, dan Korsel 4,8 persen.

 

Data UNESCO (2018) menyebutkan, anggaran riset Indonesia masih ditopang kontribusi pemerintah (88 persen), sementara swasta 12 persen. Swasta di Thailand (81 persen), Singapura (52 persen), serta China dan Korsel (77 persen).

 

Keempat, pemerataan pertumbuhan investasi dan efisiensi rasio nilai investasi terhadap penyerapan tenaga kerja.  Berdasarkan data BKPM, realisasi penerimaan investasi kumulatif Januari-Desember 2020 sebesar Rp 826,3 triliun, terdiri dari PMDN Rp 413,5 triliun dan PMA Rp 412,8 triliun. Tumbuh 2,06 persen (yoy)  dan melampaui target Rp 817,2 triliun.

 

Realisasi investasi kuartal I-2021 sebesar Rp 219,7 triliun, terdiri dari PMA Rp 111,7 triliun dan PMDN Rp 108 triliun. Nilai investasi telah mencapai 24,4 persen dari target 2021 sebesar Rp 900 triliun dan meningkat 4,3 persen yoy. Penyerapan tenaga kerja dari realisasi investasi kuartal I-2021 sebanyak 311.793 orang.

 

Penyerapan tenaga kerja

 

Selain pemerataan secara kontribusi, aspek penyerapan tenaga kerja harus diperhatikan. Penerimaan investasi meningkat drastis lima tahun terakhir (2015-2020). Nilai investasi 2020 naik 51,5 persen dibandingkan 2015 (Rp 545,4 triliun). Namun, penyerapan tenaga kerja justru merosot 19,5 persen dari 1,43 juta jiwa (2015) menjadi 1,15 juta (2020). Adapun realisasi investasi 2016-2019 sebesar Rp 612,8 triliun Rp 692,8 triliun, Rp 721,3 triliun, dan 809,6 triliun. Serapan tenaga kerja 1,39 juta (2016), 1,17 juta (2017), 960.000 (2018), dan 1,03 juta (2019).

 

Selama masa pemerintahan Jokowi, kalkulasi rasio antara nilai penerimaan investasi terhadap jumlah serapan tenaga kerja adalah Rp 714,5 juta per tenaga kerja (2020), Rp 783,1 juta (2019), Rp 751,3 juta (2018), Rp 588,9 juta (2017), Rp 440,1 juta (2016), dan Rp 379,9 juta (2015). Faktor kritikal penurunan serapan pekerja adalah investasi manufaktur yang menyerap banyak pekerja melemah 35,7 persen dari Rp 335,8 triliun (2016) menjadi Rp 216 triliun (2019).

 

Wajib diperhatikan agar pertumbuhan investasi tak terpaku pada aspek kuantitas. Penanaman investasi 80-90 persen dalam bentuk bangunan (property asset), investasi dalam bentuk mesin dan peralatan masih di kisaran 10 persen. Komposisi seperti ini kurang mendongkrak produktivitas dan kinerja ekspor manufaktur. Padahal, jika dunia industri berhasil mencapai utilisasi kapasitas produksi hingga 90 persen, investor akan datang sendiri.

 

Kelima, tantangan menciptakan iklim investasi dan bisnis kondusif dan terhindar dari praktik koruptif. Perizinan dan proses akuisisi lahan untuk pembukaan pabrik jangan rumit dan tumpang tindih serta harus bebas pungutan liar. Reformasi birokrasi dan transformasi regulasi menjadi harga mati dalam upaya mendapatkan kepercayaan investor, pasar, dan dunia usaha.

 

Terakhir, politik kebijakan strategis dan komunikasi publik. Kesatuan derap langkah kebijakan antara pusat dan daerah serta antara kementerian dan lembaga menjadi vital. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar