Sabtu, 08 Mei 2021

 

Hidup Mati Kota di Tangan Para Pekerja

Neli Triana ;  Wartawan (Penulis kolom “CATATAN URBAN”) Kompas

KOMPAS, 8 Mei 2021

 

 

                                                           

Buruh, sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia daring berarti orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah. Kuli panggul di pasar, pekerja pabrik, hingga mereka yang berkantor di tempat berpendingin ruangan dengan berbagai jenjang upah atau gaji sama-sama buruh jika masih tercatat bekerja untuk orang lain.

 

Di Indonesia, kini ada 270,2 juta penduduk dengan 70,72 persennya adalah usia produktif (15-64 tahun). Sementara itu, 66,6 persen total penduduk kini tinggal di kawasan urban. Hal ini menunjukkan ada dominasi penduduk usia produktif yang berkorelasi erat dengan usia pekerja di kota-kota. Pekerja perkotaanlah yang sekarang menjadi mesin penggerak dinamika negeri ini.

 

Khususnya di Indonesia dan lebih tepatnya lagi di seputaran Jabodetabek, tantangan pekerja berlipat dengan jarak tempuh antara tempat tinggal dan lokasi kerja yang bisa sangat berjauhan. Pekerja di pusat kota Jakarta, tetapi tinggal di Bogor, Jawa Barat, misalnya, setiap hari bisa menempuh 100 kilometer pergi-pulang. Berterimakasihlah, daripada terus mengumpat, pada pengembangan kawasan urban yang nyaris tidak mengikuti rancangan induk apa pun alias rebakan urban (urban sprawl).

 

Di masa pandemi, kaum pekerja Jabodetabek ada yang mengalami pengurangan jam kerja, pengurangan pendapatan, sampai pemutusan hubungan kerja dengan alasan kondisi perusahaan tempat mereka bekerja terdampak berbagai pembatasan selama pandemi.

 

Di tengah cobaan berat itu, buruh yang bertahan dengan pekerjaannya tetap dihadapkan pada situasi harian yang sama. Mereka harus pergi dan pulang ke tempatnya mencari rejeki, terjebak macet, serta mau tak mau berinteraksi dengan orang lain di tengah risiko tertular Covid-19.

 

Bagi yang terdepak dari tempat kerja, mereka kini menjadi angkatan kerja yang tidak terserap. Cepat atau lambat, keberadaan mereka akan memunculkan masalah baru yang membebani daerah ataupun negara.

 

Batas abu-abu desa dan kota

 

Fenomena rebakan urban sejak lama telah menjadi ciri khas sekaligus ganjalan utama perkembangan kawasan aglomerasi urban di Indonesia. Wahyu Mulyana dalam jurnal berjudul ”Rural-Urban Linkages: Indonesia Case Study (2014)” memaparkan bahwa perkembangan perkotaan di Indonesia sejak awal tidak disiapkan dengan baik.

 

Kriteria urban atau kota saja sejak 1961 sampai 2010 terus berganti. Di era tahun 2000 ke atas, akhirnya disepakati bahwa kota adalah kawasan dengan kepadatan sedikitnya 5.000 orang per satu kilometer persegi dengan kurang dari seperempat populasi bekerja di sektor pertanian serta memiliki sedikitnya delapan fasilitas publik.

 

Fasilitas spesifik itu, antara lain, sekolah dasar hingga menengah atas, puskesmas hingga rumah sakit, jalan yang bisa dilalui kendaraan bermotor roda empat, kantor pos, tempat hiburan seperti bioskop, pasar atau pusat perbelanjaan, jaringan telepon, jaringan listrik, bank, dan pabrik.

 

Namun, perkembangan kawasan urban di Indonesia sudah telanjur tak jelas. Urbanisasi di Indonesia serta di Asia Tenggara, sebut Mulyana, ditandai dengan perbedaan kabur antara ”perdesaan” dan ”perkotaan”.

 

Baik pertanian maupun nonpertanian, kegiatan berlangsung berdampingan di daerah yang berdekatan dari pusat kota, sedangkan pembangunan fisik perkotaan melampaui batas-batas administrasi kota. Pabrik besar bisa didirikan di tengah areal persawahan aktif. Perumahan sederhana hingga mewah bisa tumbuh berdampingan dengan perkampungan lawas dengan tembok-tembok tinggi sebagai pembatas.

 

Batas abu-abu desa dan kota muncul di banyak lokasi berbeda dengan radius 100 kilometer dan melibatkan campuran yang intens antara penggunaan lahan dengan pertanian, industri rumahan, kawasan industri, pembangunan pinggiran kota, dan penggunaan lain yang ada secara berdampingan. Tercipta mobilitas dan fluiditas populasi yang ekstrem, termasuk komuter dan pergerakan barang di dalam wilayah tersebut.

 

Pola urbanisasi atau fenomena suatu kawasan berubah menjadi kota, terjadi tidak merata dengan konsentrasi terbesar di Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi Selatan. Urbanisasi yang cepat dan tidak terkendali telah menciptakan permintaan besar akan infrastruktur dan layanan perkotaan, juga banyak tenaga kerja untuk berbagai lapisan pekerjaan.

 

Akan tetapi, pembangunan infrastruktur dan layanan perkotaan belum mengimbangi laju pertumbuhan permintaan yang cepat. Perkembangan kota-kota besar juga tidak banyak memperkuat hubungan dengan kota-kota kecil. Yang terjadi, kesenjangan ekonomi pembangunan antara kota-kota besar yang berkembang pesat dan kota-kota kecil yang stagnan terus terjadi.

 

Bisa dibilang, fenomena urban sprawl dalam pertumbuhan aglomerasi kawasan urban di Indonesia memang sempat membuat pembangunan melesat cepat. Namun, jika dibiarkan tanpa ada intervensi pembenahan, kelak akan menjadi batu sandungan yang mematikan bagi pertumbuhan kota.

 

Pekerja informal bertambah

 

Rebakan urban yang menciptakan megakota yang rakus menarik orang untuk datang mengadu nasib. Tidak semua yang datang berbekal pendidikan serta ketrampilan memadai. Dalam dua-tiga dekade terakhir, pertumbuhan penduduk usia kerja lebih besar daripada pertumbuhan angkatan kerja. Kondisi ini makin parah ketika pandemi Covid-19 datang menerjang.

 

Data statistik tahun 2010, seperti dikutip Mulyana, 67 persen dari penduduk usia kerja adalah pemuda perkotaan yang bekerja di sektor industri dan jasa. Posisi mereka sangat rentan karena ketergantungannya kepada pemilik bisnis.

 

Hasil Sensus Penduduk Indonesia 2020 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, 70,72 persen dari 270,2 juta jiwa warga Indonesia kini adalah mereka yang berusia 15-64 tahun. Jumlah angkatan kerja pada Agustus 2020 sebanyak 138,22 juta orang dan yang bekerja 128,45 juta orang. Sebanyak 77,68 juta orang (60,47 persen) bekerja pada kegiatan informal. Dalam setahun terakhir, persentase pekerja setengah penganggur dan persentase pekerja paruh waktu naik 3,77 persen poin dan 3,42 persen poin.

 

Selain itu, ada 29,12 juta orang (14,28 persen) penduduk usia kerja yang terdampak Covid-19, terdiri dari pengangguran karena pandemi (2,56 juta orang), bukan angkatan kerja (BAK) karena Covid-19 (0,76 juta orang), tidak bekerja karena Covid-19 (1,77 juta orang), dan penduduk bekerja yang mengalami pengurangan jam kerja karena Covid-19 (24,03 juta orang). Mereka yang terdampak ini besar kemungkinan tergelincir menjadi pekerja informal demi menyambung hidup.

 

Pekerjaan di sektor informal adalah orang-orang yang bekerja di unit yang memiliki karakteristik informal, yaitu tidak ada status hukum, tanpa pendaftaran, dan tanpa pembukuan kinerja ataupun pendapatan secara jelas. Informal ketenagakerjaan adalah orang-orang yang pekerjaan utamanya tidak memiliki perlindungan sosial atau hukum dasar atau tunjangan pekerjaan dan dapat ditemukan di sektor formal, sektor informal, atau rumah tangga.

 

Hampir semua orang yang bekerja di sektor informal masuk kategori pekerja informal. Namun, tidak semua pekerja informal tergabung dalam sektor informal. Posisi pekerja informal yang tidak memiliki jaminan status hukum jelas teramat rentan.

 

Tidak hanya mengganggu mata pencaharian warga, pandemi juga berkontribusi besar pada perlambatan pertumbuhan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia. IPM Indonesia 2020  hanya tumbuh 0,03 persen, jauh melambat dibandingkan dengan pertumbuhan tahun sebelumnya yang mencapai 0,74 persen.

 

Perlambatan pertumbuhan IPM itu berarti menghambat upaya menempatkan manusia sebagai input dari pembangunan, tetapi juga menjadi tujuan akhir pembangunan. Manusia sebagai input dan tujuan akhir pembangunan, yaitu menciptakan lingkungan yang memungkinkan masyarakat untuk produktif sehingga dapat memiliki umur panjang dan hidup sehat, menguasai pengetahuan, dan memenuhi standar hidup yang layak.

 

Mengelola penduduk usia kerja

 

Dalam paparan berjudul Urbanization & Labor Productivity in Indonesia, Zulfan Tadjoeddin dari Western Sydney University dan Valerie Mercer-Blackman dari Asian Development Bank ditekankan perlunya mengelola penduduk sekaligus pekerja di perkotaan demi kelangsungan kawasan-kawasan aglomerasi yang sudah ada (eksisting).

 

Tadjoeddin bersama rekannya dalam seminar Forum Kebijakan Ketenagakerjaan (FKK) yang digelar SMERU Research Institute pada 2018 lalu itu memaparkan, fenomena urbanisasi di Indonesia berkorelasi positif dengan jumlah pekerja berpendidikan tinggi yang lebih tinggi.

 

Akan tetapi, nilai positif itu diusik masalah struktural, seperti kemacetan akibat kurangnya jaringan layanan transportasi publik, fasilitas jalan terbebani dan selalu membutuhkan penambahan akibat penggunaan berlebihan, kekurangan tempat tinggal memadai, kurangnya air bersih, pengolahan limbah tidak maksimal, serta sanitasi buruk. Berbagai isu tersebut berkontribusi pada produktivitas rerata pekerja di kawasan aglomerasi yang lebih rendah dibanding kota-kota di luar kawasan aglomerasi.

 

Tadjoeddin menyarankan agar mengikis rebakan urban beserta semua masalah ikutannya dengan peremajaan di internal kawasan aglomerasi. Jabdodetabek, misalnya, perlu menambah fasilitas publik perkotaan, mengatasi kemacetan dengan menyediakan berbagai alternatif angkutan umum yang terintegrasi, menerapkan peraturan jalan berbayar, serta menerapkan kebijakan pajak properti yang membuat semua pihak berpikir ulang saat akan membangun di wilayah ini.

 

Hal lain yang perlu dilakukan adalah menata pusat-pusat kegiatan ekonomi eksisting, memindahkan sebagian kawasan industri, dan mengalihkan setiap rencana pembangunan kawasan industri baru ke daerah lain di luar aglomerasi.

 

Langkah yang tak kalah penting adalah peningkatan kualitas pendidikan dan keterampilan penduduk usia kerja. Mereka kelak diharapkan menciptakan usaha sendiri atau dengan keahliannya serta memiliki daya tawar dan daya saing tinggi dalam bursa tenaga kerja.

Seiring peringatan Hari Buruh Internasional 1 Mei dan masa pandemi yang telah memasuki tahun kedua, saran penataan kawasan aglomerasi seperti di Jabodetabek dan pembangunan di luar aglomerasi masih sangat relevan.

 

Itu karena memperjuangkan hak buruh tidak sekedar berkutat pada masalah kenaikan upah minimum, jaminan fasilitas kesehatan, dan jaminan kesejahteraan sosialnya. Memperjuangkan nasib buruh berarti memperjuangkan ruang hidup yang baik bagi penduduk usia kerja. Ini berarti pula menciptakan tempat yang juga baik bagi penduduk non-usia kerja yang hidupnya ditopang oleh kinerja penduduk usia kerja.

 

Memperjuangkan nasib buruh berarti menjamin kelangsungan hidup pusat-pusat kegiatan ekonomi, terutama di perkotaan yang selama ini menopang hidup seluruh negeri. Ini sebuah modal besar yang dibutuhkan saat harus mengatasi ketertinggalan akibat terdampak pandemi. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar