UU
ITE dan Masyarakat Demokratis
Sukamta ; Anggota
Komisi I DPR RI; Sekretaris Fraksi PKS
|
KORAN SINDO, 17 Desember
2016
Dalam bukunya, The Third Wave, Alvin Toffler mengategorikan era sekarang sebagai
era informasi setelah era pertanian dan era industri.
Pandangan the third wave yang ia kemukakan sekitar tiga dekade lalu itu
hingga kini masih relevan, terlebih untuk kasus Indonesia. Tercatat hingga 2016
ini, menurut survei Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia
(APJII), ada sekitar 132 juta pengguna internet dari total 256 juta penduduk,
baik melalui komputer maupun gadget.
Maka dapat kita katakan bahwa Indonesia
telah mulai memasuki era informasi ini, meskipun sekitar 80% sebaran
penggunaan internet masih terpusat di Pulau Jawa. Pada era demokrasi seperti
sekarang ini, data ini tentunya menjadi sesuatu hal yang menggembirakan,
sekaligus berpotensi mengkhawatirkan. Kegembiraannya adalah bahwa masyarakat
dapat lebih terlibat aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
David Held dalam The Models of Democracy mengemukakan teori model demokrasi
deliberatif, yaitusalahsatumodeldemokrasi kekinian yang melibatkan masyarakat
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam urusan negara ataupun
masyarakat secara umum. Maka seharusnya masyarakat yang aktif dan peduli
dalam menyampaikan pendapatnya tentang urusan negara atau urusan yang
menyangkut kehidupan masyarakat menjadi nilai positif, tetapi tetap dalam
kerangka kebebasan yang bertanggung jawab.
Adapun kekhawatirannya adalah potensi
munculnya informasi- informasi yang tidak sehat baik itu pencemaran nama
baik, menistakan Pancasila, agama, budaya, memecah belah keutuhan dan
kedaulatan NKRI, menyemai rasa ketidaknyamanan dan ketidakamanan di
masyarakat, dan seterusnya. Indonesia adalah negara yang berbudaya.
Seharusnya ini menjadi modal untuk membentengi bangsa dari upaya-upaya yang
menggerogoti kedaulatan dan persatuan.
Yang dikhawatirkan, gambaran akibat
buruknya adalah masyarakat hidup dalam dunia yang penuh dengan caci maki dan
informasi sesat serta tidak sehat di jagat maya. Alih-alih masyarakat
terbentuk oleh informasi yang sehat, malah tercekoki oleh sampah informasi
sehingga untuk mengeliminasi potensi kekhawatiran tersebut kebebasan ini
perlu diatur.
Untuk mengatur itu semua, pada tahun 2008,
disahkanlah sebuah undang-undang yang bernama Undang-Undang Nomor 11/2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ini sekaligus menjadi
terobosan sebagai undang-undang pertama yang mengatur soal dunia maya. Saat
itu latar belakang dibuatnya undangundang ini untuk melindungi masyarakat
dalam bertransaksi di dunia internet (e-commerce).
Namun, yang kemudian dirasa kental dalam
pengimplementasiannya justru menyangkut pencemaran nama baik, alihalih
e-commerce itu sendiri, sesuatu yang sebetulnya sudah diatur dalam KUHP.
Banyak masyarakat pengguna internet (netizen) yang seolah menjadi korban
penerapan UU ITE Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik ini. Hak
kebebasan masyarakat dalam mengekspresikan pendapatnya di publik seolah
terkekang.
Maka kasuskasus seperti Prita Mulyasari pun
bermunculan. Juga termasuk kasus-kasus pengkritik kebijakan pemerintah yang
kemudian dianggap melakukan pencemaran nama baik, dan ditahan. Padahal
menyampaikan pendapat merupakan salah satu hak warga negara dalam negara
demokrasi. Dengan latar belakang seperti disebutkan di atas, juga dengan
kemajuan dunia ITE yang semakin progresif, maka muncullah reaksi publik untuk
merevisi UU ITE ini yang kemudian mendorong pemerintah mengajukan usul revisi
UU ITE ini kepada DPR.
Kami di DPR tentunya menyambut baik
aspirasi ini demi kemajuan masyarakat dan bangsa pada masa yang akan datang.
Lalu, revisi UU ITE digodok di Komisi I DPR RI bersama pemerintah yang
kemudian disahkan pada Rapat Paripurna DPR RI tanggal 27 Oktober 2016 yang
lalu, dan mulai diundangkan sejak 28 November 2016. Ada beberapa hal yang
direvisi dari UU ITE ini, yaitu pencemaran nama baik, ancaman kekerasan,
intersepsi(penyadapan), pemblokiran konten ilegal, right to be forgotten
(rehabilitasi), serta perlindungan data pribadi. Soal pencemaran nama baik,
sebetulnya secara umum sudah diatur dalam KUHP.
Namun mengingat pentingnya aturan supaya
kebebasan menyatakan pendapat dalam dunia maya tidak menjadi liar, hal ini
perlu diatur secara khusus di UU ITE. Ancaman pidana diperingan untuk
pencemaran nama baik dari maksimal 6 tahun penjara dan/ atau denda maksimal
Rp1 miliar menjadi maksimal 4 tahun penjaradan/ atau denda maksimal Rp750
juta. Demikian juga dengan pasal 29 tentang ancaman kekerasan diperingan
pidananya dari maksimal 12 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp2 miliar
menjadi maksimal 4 tahun penjara dan/ atau denda maksimal Rp750 juta.
Implikasi hukumnya, jika sebelumnya ancaman
penjara maksimal 6 tahun menjadikan pasal pencemaran nama baik dan pasal
ancaman kekerasan sebagai tindak pidana yang masuk dalam kategori KUHAP Pasal
21 ayat (4a) bahwa untuk tindak pidana dengan ancaman penjara 5 tahun lebih,
pelaku terduga dapat langsung ditahan oleh aparat penegak hukum, maka dengan
UU ITE yang baru penahanan tidak dapat dilakukan sampai ada putusan tetap
dari pengadilan bahwa ia divonis bersalah.
Jadi dengan UU ITE yang baru, pemerintah tidak
bisa main tahan saja seperti sebelumnya. Kemudian diatur juga soal right to
be forgotten dalam UU ITE Pasal 26, yaitu semacam rehabilitasi nama dalam
dunia ITE. Misalnya seseorang yang namanya diberitakan negatif karena diduga
melakukan suatu perbuatan melanggar hukum, lalu pengadilan memutuskan bahwa
dia tidak bersalah, maka semua berita yang menyatakan bahwa dia diduga
melanggar huk u m , wajib dihapus oleh penyedia konten internet, sehingga
rekam jejaknya kembali bersih.
Hal-hal teknis mengenai penghapusan ini
diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Selain itu, masyarakat juga
lebih dijamin haknya untuk dapat menikmati internet sehat karena dalam UU ITE
Pasal 40 diatur soal pemblokiran konten- konten ilegal. Pemerintah wajib
memblokir konten-konten yang bertentangan dengan undang-undang seperti konten
yang memuat tindakan asusila, fitnah, hoax, dst.
Sehingga dengan begitu diharapkan
masyarakat hanya tersuguhi informasi- informasi yang sehat, mencerdaskan,
membangun, valid, dan bermanfaat. Proses penyelidikan juga dibuat tidak mudah
agar proses hukum dalam pelanggaran UU ITE tidak dilakukan sembarang.
Penyelidikan harus tetap mendapat izin dari pengadilan, sebagaimana diatur
juga dalam KUHAP.
Demikian juga dengan intersepsi, harus
diatur dalam undang-undang khusus sebagaimana amanat Putusan Mahkamah
Konstitusi, agar intersepsi tidak juga menjadi liar yang berpotensi melanggar
hak-hak pribadi warga negara. Intinya, dengan peringanan sanksi pidana dan
penyulitan proses hukum, rumusan UU ITE yang telah direvisi berpotensi akan
menambah geliat dunia informasi dan transaksi elektronik. Masyarakat akan
lebih tergerak untuk terlibat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara lewat dunia maya.
Ke depan, dengan melihat tren yang ada,
kita prediksikan jumlah masyarakat pengguna internet akan terus bertambah
seiring dengan terus bertambahnya jangkauan infrastruktur internet di pelosok
Nusantara. Kita harapkan pemerintah dan masyarakat dapat memberikan peran yang
terbaik. Masyarakat diharapkan menjadi pengguna internet yang cerdas dan
bijak.
Tidak layak seorang warga yang memiliki
budaya dan peradaban tinggi dalam naungan Pancasila menggunakan internet
untuk hal-hal yang negatif, seperti mencemarkan nama baik, menista,
memfitnah, menyebar hoax, kebencian, dan seterusnya. Pemerintah juga harus
bijak. Jangan sampai UU ITE tersalah gunakan untuk kepentingan politik
pemerintah.
Kita harapkan tidak ada lagi permainan
pasal karet pencemaran nama baik atau permainan pemblokiran situs-situs agama
tertentu seperti yang telah lalu. Kriteria pemblokiran situs-situs agama
harus dipikirkan matang- matang, mana yang memang layak diblokir dan mana
yang tidak. Karena itu, dibutuhkan parameter yang jelas, jangan sampai kasus
pemblokiran situs-situs Islam tahun 2015 lalu terulang kembali.
Tempo hari juga pemerintah melakukan
pemblokiran terhadap 11 situs yang dianggap menyinggung SARA menjelang aksi
rakyat 4 November 2016 dalam rangka menuntut keadilan hukuman bagi penista
agama. Hal-hal seperti ini tidak boleh dilakukan secara gegabah, karena
persatuan bangsa yang menjadi taruhannya. Pemerintah seharusnya membentuk tim
yang melibatkan ulama untuk mengklasifikasi situs-situs yang perlu diblokir.
Pemerintah juga jangan pilih kasih dalam
memblokir situs-situs yang hanya cenderung kepada agama atau entitas sosial
tertentu. Pemerintah selaku pengayom warganya harus mampu menjaga situasi
kondusif dan mendengarkan aspirasi rakyatnya secara adil. Kasus terbaru yang
menimpa Ibu Yusniar di Makassar atas status “no mention“ di media sosial,
juga patut disesalkan.
Permainan pasal yang dianggap pasal karet
pencemaran nama baik terjadi lagi, padahal beliau tidak menyebutkan secara
eksplisit pihak yang dikritik. Jadi sekali lagi, yang kita harapkan ada dua
sisi, yaitu dari masyarakat dan pemerintah, dalam hal menikmati UU ITE yang
baru. Jika pemerintah dan masyarakat masing-masing dapat menggunakan UU ITE
secara cerdas, bijak, dan adil, mudah- mudahan masyarakat yang demokratis
akan terwujud. Kolaborasi serta checks and balances akan tercipta sehingga
negara Indonesia yang demokratis, kuat, adil, dan sejahtera bukan mimpi
belaka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar