Politik
Manipulasi "Emosi" di Dunia Maya
Antony Lee ; Litbang
KOMPAS
|
KOMPAS, 20 Desember
2016
“This is the world of
information warfare, where computer disinformation disseminated through an
array of blinking screens carries real-world impact” (Marc Goodman, 2015)
Tak gampang memilah antara fakta dan tipuan di
era "tsunami" informasi. Apalagi, jika informasi palsu acap kali
didesain memanipulasi "emosi" pengguna internet hingga menekan
rasionalitas dalam memilah informasi. Akibatnya, kohesi sosial dan persatuan
terancam.
Pemilihan presiden Amerika Serikat pada
November silam mengilustrasikan dampak informasi palsu di media sosial
terhadap kehidupan sebuah bangsa. Data Politicawave dari hasil uji petik
berita terkait pilpres AS yang dibagikan di Facebook menunjukkan
berita-berita palsu dari media tak jelas lebih banyak menarik keterlibatan
pengguna Facebook ketimbang berita faktual dari media arus utama.
Beberapa pekan sebelum pemungutan suara,
berita palsu lebih banyak dibagikan, mendapat reaksi, dan dikomentari
ketimbang berita faktual.
Penyebaran informasi dan berita palsu yang
cenderung bernada negatif terhadap Hillary Clinton disebut beberapa pengamat
politik sebagai salah satu dari sekian banyak variabel yang menyebabkan
kekalahan kandidat presiden dari Partai Demokrat tersebut.
Jika AS yang infrastruktur demokrasinya
terbilang maju seperti itu, bagaimana dengan Indonesia?
Beberapa bulan terakhir ada peningkatan
penyebaran informasi palsu di media sosial di Indonesia. Target serangan
informasi bohong atau informasi yang "dipelintir" hingga keluar
konteks itu mulai dari tokoh agama, tokoh politik, hingga penegak hukum.
Sering kali isu yang dibicarakan atau disebarkan memainkan aspek emosi atau
"perasaan" pengguna internet dengan menggunakan sentimen primordial
ataupun sentimen agama.
Judul dan isi informasi dibuat bombastis.
Akibatnya, tidak jarang diskusi soal isu yang diulas membuat pengguna
internet saling bersitegang. Dalam banyak kasus, diskusi di media sosial itu
tidak mengubah sudut pandang dan posisi pihak-pihak yang berbeda pandangan.
Polarisasi
Fenomena tersebut tidak terlepas dari
polarisasi pandangan politik yang tak kunjung pulih seusai Pemilihan Presiden
RI 2014. Ketika para kandidat yang bertarung di Pilpres 2014 sudah menjalin
komunikasi, sebagian pendukungnya masih belum bisa meninggalkan atmosfer
pilpres.
Sentimen itu terbawa hingga kini. Awetnya
polarisasi ini, selain karena tiap-tiap pihak sudah tersentuh
"emosi"-nya, juga karena sumbangsih faktor teknis dan ekonomi media
sosial.
Marc Goodman dalam bukunya, Future Crimes
(2015), menjelaskan pengalaman di dunia maya merupakan hasil
"kurasi" penyedia layanan. Pengelola laman daring atau media sosial
menyaring informasi yang amat banyak lewat rangkaian algoritme, lalu
menyajikan informasi yang cocok untuk individu pengguna.
Informasi itu disesuaikan dengan karakter
individu berdasarkan aktivitas mereka di dunia maya, seperti dari pertukaran
pesan atau laman yang dikunjungi. Tujuannya, agar seseorang bertahan makin
lama sehingga perusahaan dapat penghasilan iklan lebih banyak lagi.
Meski demikian, pola ini berpotensi membuat
orang makin sering terpapar dengan ide atau pandangan yang sepaham dengannya.
Lama-lama, hal ini menurunkan kadar toleransi mereka terhadap perbedaan
pandangan. Hal ini juga diperparah fenomena bias konfirmasi, yakni
kecenderungan untuk mencari informasi yang hanya memperkuat pandangannya.
Di Indonesia, pengguna internet dan media
sosial terus tumbuh. Pada Juni 2016, penetrasi internet di Indonesia
berdasarkan data Internetworldstats sudah mencapai 34 persen atau sekitar 88
juta pengguna. Apakah fenomena informasi palsu dan polarisasi ini di dunia
maya akan semakin merenggangkan kohesi sosial di Indonesia?
Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Semua
bergantung pada respons dan antisipasi yang disiapkan. Beberapa aktivis
demokrasi digital di Indonesia mendorong program literasi digital di
Indonesia. Selain itu, pemerintah juga didorong mendeteksi dini
informasi-informasi palsu.
Pada saat bersamaan, memunculkan narasi-narasi
penyeimbang untuk menangkis informasi palsu yang agitatif dan berpotensi
menimbulkan perpecahan. Pemerintah perlu memiliki desain besar mengelola
ruang publik baru di ranah digital, tetapi tetap menghormati privasi dan
kebebasan berekspresi.
Sinyal positif muncul dari adanya kesadaran
kolektif sebagian pengguna internet untuk meminimalkan dampak negatif
informasi palsu itu. Akhir Desember ini, pegiat urundaya di dunia maya
berencana meluncurkan wadah "Turn Back Hoax".
Fokusnya pada pembangunan basis data
(database) dan pelaporan informasi palsu di laman daring, pesan berantai,
serta gambar palsu. Selanjutnya, data itu akan jadi basis menandai informasi
bohong dan laman penyebar informasi itu. Inisiatif ini muncul karena ada
kekhawatiran atas makin maraknya penyebaran informasi palsu yang bisa mengadu
domba masyarakat.
Namun, inisiatif urundaya masyarakat serta
upaya pencegahan pemerintah perlu juga diikuti dengan langkah untuk menyentuh
episentrum persoalan. Jika diibaratkan fenomena medis, munculnya informasi
palsu di dunia maya yang ditangkap, diyakini, lantas makin membelah
masyarakat merupakan simtom atau gejala. Tentu pemangku kepentingan harus
mencari "penyakitnya". Tanpa itu, tindakan yang muncul hanya
reaktif, dan tak menyelesaikan "penyakit".
Globalisasi dan integrasi ekonomi
internasional menimbulkan fenomena kelas menengah yang naik dalam mobilisasi
vertikal. Namun, ada pula yang "jatuh" dan merasa tidak aman akibat
relasi ekonomi politik. Kelas menengah yang "jatuh" itu perlu
mencari kambing hitam. Dalam konteks Amerika Serikat, sasaran tuduhan kelas
menengah itu jatuh pada imigran Amerika Latin, Asia, ataupun imigran berlatar
belakang Muslim.
Guy Standing dalam The Precariat: The New
Dangerous Class (2011) bahkan menyebut globalisasi menciptakan kelas sosial
baru yang berbahaya, yakni prekariat; orang-orang yang tak aman pekerjaannya,
tak aman secara identitas, serta tak punya kuasa atas waktunya. Kelas sosial
ini mudah tersulut amarah.
Dalam konteks Indonesia, kelas menengah yang
merasa tidak aman itu tidak bisa menyalurkan kegundahan melalui partai
politik ataupun jalur formal lainnya. Oleh karena itu, diperlukan pola
komunikasi yang lebih deliberatif dari para pemangku kebijakan. Selain itu,
tentu saja, pemerintah juga harus mengatasi persoalan ketidakadilan dan
kesenjangan kesejahteraan yang kini cukup lebar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar