Prostitusi
di Dunia Maya
Bagong Suyanto ;
Dosen Prodi Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga;
Menulis disertasi dan buku
tentang Anak Perempuan di Industri Seksual Komersial
|
JAWA POS, 23 Desember
2016
PENUTUPAN lokalisasi di berbagai
daerah ternyata tidak otomatis menghentikan praktik prostitusi di masyarakat.
Di Surabaya, misalnya. Setelah kompleks lokalisasi Dolly yang terkenal itu
ditutup, ternyata sebagai gantinya kini marak praktik prostitusi lewat
aplikasi chatting seperti Line dan WhatsApp yang skalanya lebih eksklusif
(Jawa Pos, 21 Desember 2016).
Jika dibandingkan dengan praktik
prostitusi di lokalisasi atau pemasaran jasa layanan seksual lewat media
sosial yang sifatnya lebih terbuka, prostitusi via aplikasi chatting bersifat
lebih terbatas, semi tertutup, dengan pelanggan-pelanggan tertentu yang
tergabung khusus dalam grup yang sudah terseleksi.
Jasa layanan yang ditawarkan di grup
aplikasi online yang terbatas tersebut bukan melulu layanan hubungan seksual,
tetapi bisa pula layanan chat sex, phone sex, atau video call sex sesuai
dengan permintaan pelanggan. Seperti praktik prostitusi konvensional, di
dunia maya, primadona prostitusi via chatting tersebut umumnya adalah
anak-anak perempuan, baik itu grey chicken (pelajar) maupun ’’ayam kampus’’
(mahasiswa) yang dijajakan sebagai layanan unggulan dengan tarif tinggi dan
menguntungkan germo atau mucikari yang mengelolanya.
Sementara itu, perbedaan antara
prostitusi di lokalisasi dan prostitusi di dunia maya, pada prostitusi
konvensional, para pelacur dijajakan dari balik kaca etalase dan dijajar
layaknya barang dagangan. Namun, pada era masyarakat postmodern seperti
sekarang ini, para pelacur biasanya dijajakan dalam format digital, melalui
foto-foto yang diunggah di dunia maya, dengan pose-pose yang menarik tak beda
dengan artis atau selebriti yang terkenal.
Mengapa Makin Marak?
Setelah
kompleks lokalisasi ditutup paksa, banyak pihak yang sebetulnya berharap hal
itu sekaligus otomatis akan menutup praktik prostitusi yang berkembang di
masyarakat. Tetapi, kalau melihat pengalaman di berbagai kota besar,
penutupan paksa sejumlah lokalisasi ternyata tidak menjamin praktik
prostitusi otomatis ikut mati.
Ketika di masyarakat penggunaan gadget
makin luas dan komunikasi yang berkembang tidak lagi harus tatap muka
langsung, yang terjadi kemudian, strategi pemasaran yang berkembang di dunia
prostitusi pun pelan-pelan ikut berubah.
Melalui pemberitaan di media massa, kita
bisa melihat para germo atau mucikari yang tertangkap tangan menjadi
pengelola prostitusi kini bukan lagi ’’mami-mami’’ atau ’’papi-papi’’
pensiunan yang sudah berumur kepala 5–6. Pada era masyarakat digital seperti
sekarang ini, para germo dan mucikari umumnya adalah anak-anak muda atau
bahkan remaja yang merupakan bagian dari kelompok net generation –yang fasih
memanfaatkan gadget dan internet untuk kelancaran bisnis haram mereka.
Secara garis besar, ada tiga hal yang
menjadi penyebab makin maraknya prostitusi online belakangan ini. Pertama,
konsumen atau pelanggan yang memanfaatkan jasa prostitusi online kini telah
berubah. Laki-laki iseng yang mem-booking anak perempuan yang ditawarkan di
dunia maya bukanlah generasi lama yang gaptek, melainkan generasi digital
yang melek teknologi informasi, internet, dan media sosial.
Karena itu, untuk menggaet pasar yang
berubah tersebut, strategi pemasaran pun harus ikut-ikutan berubah.
Menawarkan jasa layanan seksual melalui media sosial atau aplikasi chatting
merupakan konsekuensi perkembangan zaman yang tidak bisa ditolak.
Kedua, karena tawaran jasa layanan seksual
lewat aplikasi chatting bersifat lebih personal dan eksklusif, para laki-laki
yang memanfaatkan fasilitas itu merasa aman dari risiko menjadi sorotan
publik. Hal itu berbeda dengan aktivitas ’’jajan’’ ke lokalisasi yang
berisiko membuat pelanggan bertemu dengan berbagai orang tanpa mereka bisa
mengontrol dan mengenali siapa saja yang berada di kompleks lokalisasi.
Dengan mem-booking pelacur via aplikasi chatting, setidaknya konsumen merasa
identitas dan kelakuannya tidak akan diketahui khalayak luas.
Ketiga, karena memanfaatkan gadget dan
internet sebagai media untuk memasarkan jasa layanan seksual yang
dikelolanya, para germo, mucikari, dan pelacur itu lebih leluasa memasarkan
jasa mereka –tanpa bisa dibatasi ruang dan waktu.
Dari
studi yang dilakukan penulis (2016) tentang praktik prostitusi di kalangan
pelajar di Kota Surabaya, pada sejumlah grey chicken yang menjajakan diri lewat media
sosial atau aplikasi chatting, ternyata
mereka justru sangat mungkin memetik keuntungan yang lebih besar dan meraih
pelanggan yang lebih banyak dari mana pun. Karakteristik media sosial dan
aplikasi chatting yang efisien serta tidak terbatas
itulah yang membuat praktik prostitusi online belakangan ini justru semakin marak.
Aparat kepolisian pun berkali-kali berhasil membongkar praktik prostitusi online.
Namun, jangankan menimbulkan efek jera, yang terjadi, praktik prostitusi online yang dikembangkan jadi semakin
canggih, semakin hati-hati, dan eksklusif.
Upaya Memberantas
Upaya
memberantas praktik prostitusi online yang belakangan ini makin marak,
harus diakui, bukanlah hal mudah. Sebagai bagian dari jaringan industri
seksual komersial yang eksis sejak puluhan dekade silam, pelacuran online sesungguhnya bukan sekadar kasus
pelanggaran hukum.
Meruyaknya
prostitusi online merupakan realitas sosial yang
memiliki akar historis dan bertali-temali dengan banyak hal. Mulai soal
gender dan bias ideologi patriarkhis, ketertundukan, dominasi dan
eksploitasi, serta berkaitan pula dengan persoalan life
style.
Lebih
dari sekadar imbas atau efek samping perkembangan modernitas, munculnya
praktik prostitusi online merupakan implikasi cara kerja
kapitalisme yang eksploitatif dan ideologi patriarkhis yang cenderung
menempatkan (anak) perempuan sebagai bagian dari komoditas yang bisa
diperdagangkan dan menguntungkan.
Bagi
teoritisi feminisme materialis seperti Delphy (1984), sumber ketidakberdayaan
yang dialami (anak) perempuan yang terjerumus dalam praktik prostitusi adalah
ketidakberdayaan korban dan supremasi kekuatan komersial yang menjadikan apa
pun sebagai komoditas yang menguntungkan dirinya, tak terkecuali anak-anak
perempuan yang malang itu.
Menawarkan
para pelacur melalui media sosial dan aplikasi chatting memang merupakan
bagian dari perkembangan strategi pemasaran para germo dan mucikari yang
disesuaikan dengan tuntutan perkembangan zaman. Untuk mencegah penyalahgunaan
kemajuan teknologi informasi dan internet, dibutuhkan kemampuan teknis aparat
penegak hukum untuk terus melacak, mendeteksi, dan kemudian menangkap para
pelaku penyalahgunaan teknologi informasi.
Yang
tak kalah penting, memberikan pendidikan kepada masyarakat bagaimana mereka
mampu mencegah agar anak-anak mereka tidak menjadi korban praktik prostitusi
yang makin lama makin canggih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar