Krisis
Kemanusiaan dan Teror Global
Smith Alhadar ; Penasihat
ISMES;
Direktur Eksekutif The Institute
for Democracy Education (IDe)
|
MEDIA INDONESIA,
22 Desember 2016
KRISIS kemanusiaan skala besar terus saja
mengganggu perdamaian dunia. Pada 2016 ini perang saudara di Suriah dan
Yaman, serangan terhadap kaum Rohingya di Myanmar, teror yang dilancarkan
Islamic State (IS) dari Pakistan hingga Jerman menyentak kesadaran kolektif
komunitas internasional. Semua ini merupakan kekerasan yang mengungkapkan
realitas global saat ini dengan potensi dampak besar terhadap komunitas
internasional secara keseluruhan.
Lebih dari 60 juta orang menjadi pengungsi
dengan darurat kemanusiaan yang kompleks saat ini melebihi kemampuan dunia
internasional pasca-Perang Dingin memahami dan mengatasi pembantaian, teror,
dan tindakan antikemanusiaan lainnya. PBB dan kelompok-kelompok regional
telah berupaya keras, tetapi mereka gagal mencegah terjadinya proliferasi
tragedi-tragedi kemanusiaan ini.
Di Aleppo, Suriah, perang proksi antara rezim
Presiden Bashar al-Assad dan kaum pemberontak telah menyebabkan ribuan orang
tewas, puluhan ribu lainnya cedera dan kehilangan tempat tinggal, dan
menyisakan kota yang hancur lebur. Pasukan rezim Suriah yang dibantu Rusia,
Iran, dan milisi Syiah dari Libanon serta Irak, mengganyang secara brutal
kelompok pemberontak yang dibantu Turki, AS, dan negara Arab Teluk. Perang di
Aleppo sudah selesai dengan disepakatinya perjanjian gencatan senjata yang
diikuti evakuasi penduduk dan militer dari Aleppo Timur, dan kota Foua serta
Kefraya di Provinsi Idlib oleh pihak-pihak yang bertikai.
Namun, ini tidak berarti tragedi kemanusiaan
di Suriah tidak akan terjadi lagi. Sasaran berikut pasukan rezim Suriah
adalah Kota Idlib, barat laut Suriah, yang masih diduduki kaum pemberontak.
Dengan demikian, krisis kemanusiaan sebagaimana yang terjadi di Aleppo akan
juga terjadi di sana. Memang perang saudara di Suriah masih akan berlangsung
lama mengingat wilayah di utara dan timur laut Suriah masih dikuasai kelompok
pemberontak Kurdi Suriah (Tentara Demokratik Suriah), dan Kota Palmyra,
Raqqa, serta Deir az-Zawr yang masih diduduki IS.
Kompleksitas persoalan
Di Yaman, perang saudara antara kelompok
Houthi dan tentara yang loyal pada mantan Presiden Ali Abdullah Saleh,
melawan tentara yang setia pada Presiden Abed Rabboh Mansour Hadi yang
dibantu koalisi Arab, yang dimulai sejak Maret 2015, masih berlangsung.
Akibatnya delapan ribu warga sipil tewas, 3 juta orang jadi pengungsi, dan
sekitar 18 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan. Kendati pihak koalisi
Arab pimpinan Arab Saudi telah menggunakan senjata canggih, tidak ada
tanda-tanda lawan mereka akan menyerah.
Sementara itu, IS memanfaatkan momentum ini
dengan melancarkan serangan mematikan terhadap sasaran-sasaran militer di
Yaman bagian selatan, yang menyebabkan ratusan orang tewas. IS juga telah
muncul di Afghanistan dan Pakistan, bersaing dengan Taliban. Bulan lalu
mereka menyerang sasaran militer Pakistan di Provinsi Baluchistan, yang
menewaskan puluhan orang. Munculnya IS ini otomatis menambah kompleks
persoalan terorisme di Pakistan dan perang saudara di Afghanistan yang telah
berlangsung selama 15 tahun.
Konsentrasi pemerintahan Afghanistan terhadap
Taliban dan pemerintahan Pakistan terhadap kelompok teror Tahrik-e Taliban
Pakistan membuat IS leluasa bergerak untuk menciptakan horor baru. Di Turki,
teror dilancarkan IS dan Partai Pekerja Kurdistan (PKK). Ratusan orang tewas
di berbagai kota. IS meneror Turki sebagai balas dendam atas keterlibatan
Turki memerangi mereka di Suriah. Sementara itu, PKK melancarkan serangan
sebagai upaya menuntut wilayah otonomi bagi etnik Kurdi di tenggara Turki.
Sepanjang IS masih eksis di Suriah dan Irak
serta tidak ada penyelesaian masalah Kurdi di Turki, teror masih akan
berlangsung di negeri itu. Penembakan Duta Besar Rusia untuk Turki Andrey G
Karlov oleh seorang polisi Mevlut Mert Altintas di Ankara pada 19 Desember
lalu tak lepas dari keterlibatan Rusia dalam perang Suriah, khususnya perang
di Aleppo. Beruntung Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Turki Recep
Tayyip Erdogan memiliki kesepahaman bahwa serangan ini dilakukan pihak yang
menginginkan memburuknya hubungan Turki-Rusia.
Kalau tidak, hubungan kedua negara ini dapat
berkembang menjadi krisis sebagaimana tahun lalu, saat Turki menembak jatuh
pesawat tempur Rusia di perbatasan Suriah-Turki. IS juga menyerang sasaran di
Mesir, Nigeria, dan Jerman. Bulan lalu, IS melakukan serangan bom bunuh diri
terhadap Gereja Koptik menewaskan puluhan orang sebagai balas dendam atas
dukungan Gereja Koptik pada rezim Presiden Abdul Fattah el-Sisi yang
mengudeta pemerintahan Ikhwanul Muslimin pimpinan Presiden Muhammad Mursi.
Sementara itu, di Nigeria, pemerintahan Presiden Muhammadu Buhari belum bisa
menaklukkan Boko Haram yang tak henti-hentinya melancarkan teror terhadap
institusi-institusi sipil, masjid, dan gereja. Belasan ribu orang tewas
sia-sia.
Harga kemanusiaan
Setelah melancarkan teror terhadap Prancis dan
Belgia tahun lalu, pada 2016 ini kembali Prancis dan Jerman menjadi sasaran.
Yang terbaru ialah serangan IS di Berlin, Jerman. Sebuah truk berkecepatan
tinggi menabrak kerumunan orang di bazar Natal Berlin, menewaskan 12 orang
dan melukai 48 orang. Serangan itu mirip dengan serangan IS di Pantai Nice,
Prancis, Juli silam, menewaskan 86 orang.
Insiden itu sangat merugikan Kanselir Jerman
Angela Merkel karena membiarkan sejuta pengungsi masuk ke Jerman yang akan
ikut pemilu tahun depan melawan kubu oposisi, kelompok Islam fobia, dan
Partai AfD yang populis serta antiimigran. Kalau demikian, kubu oposisi bisa
menang pemilu, yang akan membawa dampak besar bagi Eropa dan pengungsi Timur
Tengah. Irak pun belum bebas dari tragedi kemanusiaan. Kendati telah terlibat
perang saudara selama 13 tahun yang menciptakan jutaan pengungsi, IS masih
bercokol di Mosul.
Tampaknya pasukan pemerintah Irak yang dibantu
serangan udara AS akan dapat menaklukkan Mosul. Namun, harga kemanusiaan yang
harus dibayar cukup besar. Karena IS menjadikan manusia sebagai perisai hidup,
serangan koalisi terhadap IS selain akan menghancurkan kota itu secara fisik,
juga akan menjatuhkan banyak korban manusia. Apalagi bila milisi Kurdi
(Peshmerga) yang ikut menyerang Mosul tetap ngotot akan menganeksasi Mosul ke
dalam teritori mereka.
Perang saudara pasukan Irak melawan Peshmerga
akan tak terhindarkan. Yang juga mesti dicatat ialah eksistensi Al-Shabab di
Somalia. Kelompok Al-Qaeda itu sampai sekarang masih melancarkan perompakan
terhadap kapal asing di perairan Aden, menyerang pemerintah di ibu kota
Mogadisu, dan melakukan teror di Kenya, tetangga Somalia, sebagai balas
dendam atas keterlibatan Kenya memerangi mereka.
Operasi-operasi Al-Shabab itu telah membuat
pemerintahan Somalia lumpuh, menewaskan ribuan orang dan jutaan lain mengungsi.
Hal yang sama terjadi di Libia. Memang pasukan pemerintah telah berhasil
mengenyahkan IS di basis mereka di Sirte. Namun, kelompok Islam militan belum
mati. Mereka berpindah ke lain tempat dan melancarkan teror di mana-mana.
Inilah yang menjelaskan mengapa ratusan ribu orang nekat meninggalkan Libia
untuk menyeberang ke Italia dengan risiko mati tertelan ombak di Laut Tengah
yang ganas.
Terakhir ialah masalah etnik Rohingya.
Baru-baru ini mereka menjadi sasaran amuk militer Myanmar. Cerita pilu etnik
Rohingya telah berlangsung bertahun-tahun, tetapi pemerintah Myanmar menolak
mengakui keberadaan mereka. Berbagai tindakan diskriminatif telah mendorong
ribuan orang Rohingya bertaruh nyawa di lautan untuk mencari suaka di negara
lain.
Sepanjang isu Rohingya tidak terselesaikan,
krisis kemanusiaan masih akan berlangsung di Myanmar. Mudah-mudahan 2017 yang
segera akan menjelang menjadi tahun yang lebih baik. Banyak faktor penyebab
krisis kemanusiaan, tetapi nafsu kuasa, kecemburuan etnik, radikalisme religius,
kesenjangan sosial dan ekonomi, dan hegemoni negara besar merupakan
faktor-faktor kunci dalam krisis kemanusiaan dan teror global yang sedang
berlangsung saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar