Telolet
Putu Setia ; Pengarang;
Wartawan Senior TEMPO
|
TEMPO.CO, 23 Desember
2016
Fenomena membunyikan klakson yang kemudian
dikenal dengan irama telolet sudah ada sejak setahun lalu. Bahkan lebih.
Sekelompok anak-anak di jalur Pantai Utara Jawa iseng merekam suara klakson
bus antarkota dengan handphone-nya. Rekaman ini kemudian dikirim ke
teman-temannya, lalu menyebar. Terjadi kelatahan, ramai-ramai berburu
klakson. Adapun sopir bus, yang ternyata tak keberatan, memasang variasi bunyi
klakson agar tambah seru.
Begitulah sejarah lahirnya telolet. Antara
keisengan dan kecanggihan teknologi handphone, plus sambutan bersahabat para
sopir. Kini telolet mewabah di mana-mana. Anak-anak dan remaja tanggung siap
berburu telolet sambil mengacungkan poster yang berbunyi "Om Telolet
Om".
Aksara di poster itu lalu menjadi trending
topic dunia. Berbagai variasi musik dengan inspirasi telolet lahir. Ini
kesuksesan besar bangsa Indonesia yang berhasil mengekspor produk
keisengannya yang bernama Om Telolet Om.
Kenapa penemuan unik ini baru meledak
sekarang? Mungkin kita lagi bosan dengan kejenuhan politik yang tiap hari
mengobarkan permusuhan di media sosial. Kita bosan dengan ujaran kebencian
dan rekayasa informasi yang seenaknya merendahkan orang lain yang kita
posisikan sebagai lawan. Kita bosan dengan aktivitas politik yang dibungkus
agama. Adapun pemimpin agama tak bisa dijadikan teladan bagaimana kita
bergaul dalam kebinekaan suku, budaya, dan agama. Di tengah kebisingan itu,
ada orang yang jeli menjual telolet ke media sosial.
Kesederhanaan anak-anak tanggung di jalur
Pantura dalam mencari kegirangan dengan biaya murah diunggah ke media sosial
dengan penyedap berbagai rasa. Om Telolet Om.
Apakah telolet perlu dilarang? Kalau dilarang,
alasan apa yang paling baik digunakan? Polisi memang repot untuk mengingatkan
anak-anak jalanan itu saat meminta sopir bus antarkota membunyikan telolet.
Mereka bisa keseruduk. Tapi, ya, tak apa-apa. Ini pekerjaan lebih ringan
dibanding polisi mengamankan ormas radikal yang sweeping topi Santa.
Telolet ini mencairkan ketegangan kita yang
tak perlu menjelang Natal hari-hari ini. Ketegangan karena hari suci umat
Kristiani ternyata membuat sibuk umat yang lain. Sibuk melarang memakai
atribut Natal bagi warga muslim. Kalau atribut itu berkaitan dengan akidah,
barangkali tepat diharamkan. Tapi kalau hanya produk budaya, sejauh itukah
sampai merusak akidah? Padahal, dalam sejarah perjalanan agama-agama di
Nusantara, budaya yang berbeda menjadi inspirasi untuk kebersamaan.
Tak jarang pula budaya lokal itu justru
dimanfaatkan untuk penyebaran agama.
Wali Songo menyebarkan Islam di Jawa dengan
meminjam budaya Hindu seperti wayang. Padahal, cerita wayang pada awalnya
adalah kisah tentang penjabaran kitab suci Hindu yang dikenal dengan istilah
Ithiasa. Syekh Jafar Sodiq yang lebih terkenal disebut Sunan Kudus membangun
masjid dengan memanfaatkan peninggalan candi Hindu untuk menaranya pada 1549.
Sampai sekarang tak ada yang mengharamkan masjid di tengah-tengah kota Kudus
itu.
Apakah umat Kristiani di Bali dilarang
menggunakan destar (ikat kepala) untuk merayakan Natal? Atau muslim di
Pegayaman, Bali Utara, diharamkan memakai nama Putu, Nengah, Ketut, Wayan,
dan seterusnya karena nama itu dipakai orang Bali yang Hindu? Ternyata tidak,
destar ataupun nama-nama itu hanyalah produk budaya. Ah, kita capek setiap
hari disuguhi berita sekitar ini, maka Om Telolet Om jadi pilihan untuk
hiburan sehat. Selamat Natal bagi sahabat Kristiani dan mari kita menikmati
telolet. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar