Mencermati
Kebijakan Ekonomi Trump
Tirta N Mursitama ; Guru
Besar Bisnis Internasional dan
Ketua Departemen Hubungan
Internasional Universitas Bina Nusantara
|
JAWA POS, 23 Desember
2016
Untuk mewujudkan janji kampanyenya, Make
America Great Again!, Presiden Amerika Serikat (AS) terpilih Donald Trump
mulai menunjukkan keseriusannya dengan memilih para pembantu dalam
pemerintahannya kelak. Pemilihan orang yang mengisi berbagai posisi penting
itu menggambarkan adanya kesatuan antara visi yang ingin dicapai dan
implementasinya.
Di satu sisi, langkah tersebut memang sudah on
the right track. Namun, timbul kekhawatiran, pemilihan orang yang tegas,
keras, dan agresif mengirimkan sinyal bahwa AS serius menjadi lebih
unilateralis, inward looking, dan protektif di bawah Trump empat tahun ke
depan. Itulah yang menyulut kontroversi.
Visi Ekonomi
Program ekonomi Trump cukup ambisius dengan
target terciptanya 25 juta lapangan kerja dalam sepuluh tahun. Untuk
mencapainya, ada beberapa poin penting yang direncanakan. Pertama, mencapai
target pertumbuhan ekonomi 3,5 persen rata-rata per tahun. Kedua, meluncurkan
pro-growth tax plan yang di dalamnya mengurangi pajak bagi kelas pekerja dan
kelas menengah AS secara bervariasi serta memotong pajak korporasi hingga 15
persen dari yang selama ini 35 persen.
Ketiga, Trump berencana menerapkan terobosan
dalam regulasi yang modern dengan melakukan deregulasi berbagai peraturan
yang pada masa Obama dianggap terlalu rigid serta tumpang-tindih. Keempat,
mengedepankan kebijakan perdagangan yang menempatkan AS sebagai prioritas
utama.
Trump memfokuskan setiap perjanjian
perdagangan yang diharapkan meningkatkan GDP. Bila tidak, akan dilakukan
peninjauan ulang seperti halnya rencana merenegosiasi NAFTA. Hal yang paling
mengejutkan mungkin adalah niat menarik diri dari Trans-Pacific Partnership
(TPP) dan mengecap Tiongkok sebagai negara yang sengaja memanipulasi nilai
tukar yuan-nya demi mendapatkan keuntungan dari kegiatan ekspor mereka.
Kelima, AS akan berfokus pada penerapan
kebijakan energi yang mengutamakan penggunaan batu bara yang melimpah,
minyak, dan gas panas bumi. Terakhir, Trump berniat mengurangi pengeluaran
yang tidak terkait dengan pertahanan dan jaring pengaman sosial sebanyak 1
persen.
Bila visi ekonomi Trump tersebut diperhatikan,
di atas kertas memang bertolak belakang dengan sebagian kebijakan ekonomi
Obama seperti upaya menarik diri dari TPP dan terus memosisikan Tiongkok
sebagai musuh ekonominya. Bila itu terjadi, sentimen di kalangan dua negara
besar tersebut semakin runcing.
Tim Transisi
Sejauh ini, pilihan pejabat-pejabat kunci yang
dilakukan pemerintahan transisi Trump pun semakin menguatkan indikasi
kebijakan AS yang keras dan lebih tegas. Dalam portofolio ekonomi dan luar
negeri, kalangan bisnis mewarnai. Pemilihan orang-orang berpengalaman bisnis
dengan reputasi internasional tersebut memberikan pesan bahwa pemerintahan
Trump akan sangat mengedepankan warna transaksional dengan pertimbangan
untung dan rugi bagi AS.
Keputusan Trump menominasikan Red Tillerson
sebagai menteri luar negeri cukup menarik. Sebagai CEO ExxonMobil di industri
perminyakan dengan putaran uang yang besar dan lukratif, Tillerson dianggap
memiliki kemampuan untuk berdiplomasi bisnis dengan berbagai negara hingga
memahami berbagai risiko bisnis serta politik yang sangat berkaitan. Dia juga
dikenal cukup dekat dengan Putin sehingga diharapkan normalisasi hubungan AS
dengan Rusia terjalin lancar.
Posisi menteri keuangan akan dipegang
Steven Mnuchin, orang yang selama 17 tahun malang melintang di dunia
perbankan dan investasi di Goldman Sachs. Kemudian, Mnuchin mendirikan dan
mengembangkan OneWest Bank hingga menjualnya kepada CIT Group pada 2015.
Sebagai seorang hedge fund manager yang ulung, dia memiliki pemikiran
yang keras dan berani mengambil risiko dalam setiap keputusan bisnisnya.
Menteri perdagangan akan dipegang Wilbur
Ross, seorang pebisnis, investor perbankan yang memiliki keahlian melakukan
restrukturisasi perusahaan-perusahaan yang bermasalah. Pengetahuan dan
pengalamannya di berbagai industri seperti baja, batu bara, telekomunikasi,
dan investasi asing sangat penting. Dari tiga posisi kunci di bidang ekonomi
itu saja, jelas ada pesan tegas bahwa pendekatan ala kalangan bisnis akan
digunakan.
Sangat mungkin pendekatan kepada
aktor-aktor kunci yang akan dijadikan mitra di negara lain lebih bervariasi
tidak hanya di kalangan politisi dan birokrat, tetapi juga dari asosiasi
bisnis serta kalangan bisnis besar. Selain itu, pertimbangan untung rugi,
baik jangka pendek maupun strategis jangka panjang, sangat mungkin dipakai.
Di luar portofolio ekonomi, satu posisi
sentral yang terkait adalah menteri pertahanan. Trump memilih James Mattis
yang dikenal sebagai individu berpandangan keras terhadap kalangan Islam dan
menganggap Iran sebagai ancaman utama di Timur Tengah.
Mattis sebagai purnawirawan jenderal
Marinir merupakan sosok eksepsional yang jarang dimiliki seorang militer. Dia
mempunyai pengalaman profesional kemiliteran yang mumpuni dan lengkap selama
lebih dari empat dekade karir militer. Yakni, di Kandahar, Afghanistan
(2001); invasi Iraq (2003); serta pertempuran di Fallujah (2004). Mattis juga
dikenal sebagai pemikir di kalangan militer. Bahkan, setelah pensiun, dia
menjadi peneliti militer di institusi prestius, Hoover Institute.
Dengan visi ekonomi dan komposisi
portofolio ekonomi, luar negeri, dan strategi seperti itu, negara-negara
Asia, termasuk Indonesia, harus lebih berhati-hati dan menyiapkan berbagai
skenario. Kebijakan ekonomi luar negeri AS akan terwujud sebagai resultan
kepentingan bisnis, strategis, dan bahkan ideologis yang lebih keras di Asia,
bahkan Indonesia.
Indonesia perlu menyiapkan para negosiator
ulung yang kembali siap bertempur di meja perundingan bisnis bilateral maupu
multilateral. Kalangan bisnis besar Indonesia dan asosiasi bisnis perlu
diberi kesempatan lebih sebagai jembatan kepentingan dua negara dengan tepat
memperhatikan kepentingan nasional Indonesia.
Akhirnya, Indonesia harus waspada karena
Trump akan melakukan cara apa saja demi tercapainya kepentingan AS. Termasuk
cara tidak biasa yang mungkin melanggar berbagai kesepakatan bilateral maupun
multilateral. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar