Lupa
Tujuan Pendidikan Dasar
Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan,
Penulis;
Kini menjadi seorang profesional
di perusahaan Jepang di Indonesia
|
DETIKNEWS, 19 Desember
2016
Saya sering merasa gemas melihat buku
pelajaran anak-anak saya. Suatu hari pada PR bahasa Indonesia yang sedang ia
kerjakan anak saya diminta menuliskan suatu istilah drama. Itu untuk
pelajaran bagi anak kelas 3 SD. Tentu kita bertanya, apa perlunya siswa kelas
3 SD mengetahui istilah dalam drama? Kalaupun hari ini mereka kita jejali
dengan informasi itu sampai hafal, besok-besok mereka sudah lupa lagi.
Begitulah. Secara umum pelajaran bahasa
Indonesia di sekolah-sekolah sekarang terjebak untuk mengajarkan ilmu bahasa
kepada siswa. Anak-anak diajari tentang berbagai istilah tata bahasa.
Soal-soal ulangan pun berkisar pada masalah itu. Padahal anak-anak lebih
perlu mendapat latihan untuk terampil berbahasa.
Apa yang dimaksud keterampilan berbahasa?
Pertama, tentu saja anak-anak terampil berbahasa secara lisan. Mereka bisa
mengungkapkan pikiran, menjelaskan keadaan, secara lisan. Mereka juga bisa
menangkap kandungan pesan lisan yang mereka dengar dari orang lain. Dalam
bahasa tulisan, anak-anak belajar menulis dan membaca. Kemudian mereka juga
terampil mengungkapkan gagasan, pikiran, atau menjelaskan informasi dengan
bahasa tulisan. Mereka juga sanggup mencerna pesan yang disampaikan secara
tertulis.
Pendidikan kita sayangnya tidak fokus
membangun fondasi ini pada anak-anak. Akibatnya, kemampuan berbahasa banyak
orang Indonesia sangat parah. Cobalah perhatikan para penyiar atau wartawan
TV. Mereka sering sekali melakukan kesalahan, baik secara tata bahasa maupun
dari sisi logika bahasa.
Secara umum sepertinya para pembuat kebijakan
soal pendidikan, para penyusun kurikulum, lupa pada tujuan pendidikan dasar.
Ada kesan bahwa anak-anak kita hendak dijejali dengan begitu banyak
pengetahuan sejak usia dini. Padahal bukan itu tujuan pendidikan dasar.
Sesuai istilahnya pendidikan dasar adalah
pendidikan untuk meletakkan dasar-dasar bagi kegiatan belajar. Hal pertama
dan utama yang harus diajarkan adalah cara belajar. Tidak hanya soal cara.
Anak-anak harus dirangsang untuk punya rasa ingin tahu, terus berpikir, dan
terampil menggali sumber informasi yang mereka perlukan. Anak-anak harus
dibiasakan untuk merasakan kenikmatan belajar, yaitu kenikmatan saat mereka
mendapat pengetahuan, berubah dari keadaan tidak tahu menjadi tahu. Dengan
begitu mereka akan tumbuh jadi seorang pembelajar seumur hidup.
Apa yang terjadi bila anak-anak dijejali
dengan pelajaran yang terlalu banyak? Mereka tak sanggup menyerapnya. Mereka
kemudian menganggap belajar itu hal yang menyiksa. Lalu mereka tumbuh menjadi
anak-anak yang anti pada kegiatan belajar. Alih-alih meletakkan fondasi
pendidikan, kita justru sedang menghancurkannya sejak dini.
Materi pelajaran seharusnya menyangkut hal-hal
dasar saja. Porsi terbesar seharusnya ada pada kegiatan eksplorasi. Sayangnya
porsi ini minim. Ada begitu banyak kegiatan yang ada di buku pelajaran, yang
seharusnya dilakukan oleh guru. Tapi kebanyakan guru kita lebih suka
mendongengkan kegiatan itu, bukan melakukannya.
Hal lain yang juga penting dalam pendidikan
dasar adalah soal interaksi sosial. Anak-anak harus diberi dasar soal
keterampilan sosial, seperti bagaimana saling menghormati dengan teman, tata
krama di tempat umum, serta kebersihan lingkungan. Dalam hal ini saya punya
pengalaman aneh dengan sekolah anak saya dulu.
Di TK, anak-anak sudah diajari membaca. Ya, di
TK di mana anak-anak seharusnya belum perlu diajari membaca, sudah diajarkan
hal itu. Tapi pada acara sekolah yang melibatkan orang tua murid, guru-guru
justru tidak menyediakan tempat sampah. Begitulah. Kita, para orangtua dan
guru banyak yang begitu bernafsu untuk menjejali anak dengan pengetahuan.
Kita lupa pada tujuan yang lebih penting pada pendidikan dasar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar