Blur
dan Paranoia Lembaga Penyiaran
Aloysius B Kurniawan ; Wartawan
Kompas
|
KOMPAS, 26 Desember
2016
Perbincangan dunia maya sontak riuh rendah
ketika 17 September 2016 CNN Indonesia menayangkan profil atlet Pekan
Olahraga Nasional cabang renang yang hampir seluruh tubuhnya diblur alias
disensor.
Melalui swasensor, stasiun-stasiun televisi
swasta bertindak seolah-olah menjadi "polisi moral" terhadap
program-program acara yang mereka siarkan.
Praktik-praktik swasensor semacam ini berulang
kali terjadi sepanjang 2016. Sebelumnya, penyensoran juga terjadi dalam
siaran ulang malam final Pemilihan Putri Indonesia 2016 yang ditayangkan
Indosiar, 21 Februari 2016.
Bisa dibayangkan bagaimana kurang eloknya saat
keindahan bordir kebaya modern desainer kawakan Anne Avantie dan putrinya,
Intan Avantie, tertutup sensor-sensor blur. Pemanggungan karya seni desain
yang dipersiapkan khusus untuk putri-putri pilihan Indonesia itu dikebiri
oleh praktik swasensor.
Penyensoran ini mengundang banyak pertanyaan
karena dua hari sebelumnya acara tersebut disiarkan langsung tanpa sensor.
Aneka macam komentar pun muncul di media sosial, mulai dari hujatan
"sakit jiwa", "bangsa aneh", hingga kegeraman
"mereka pakai kebaya loh bukan bikini. Aneh ya".
Buah ketakutan
Yang paling memprihatinkan adalah
praktik-praktik swasensor itu muncul lebih karena stasiun-stasiun televisi
mengalami trauma atau paranoia terhadap Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang
sewaktu-waktu bisa menjatuhkan sanksi. Akibat ketakutan ini, stasiun-stasiun
televisi akhirnya melakukan swasensor secara membabi buta dan bahkan
cenderung berlebihan.
Haryatmoko, pakar etika komunikasi dari
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, menyebut ketakutan sebagai imbas dari
mekanisme sistem panoptik, yaitu pengawasan yang dilakukan secara tidak
teratur, tetapi menimbulkan efek kesadaran merasa diawasi terus-menerus.
Efek merasa diawasi terus- menerus memunculkan
internalisasi pengawasan yang kemudian memicu kecenderungan melakukan
swasensor. Selain itu, dari sisi eksternal, ketidakjelasan dan ketidaktegasan
KPI dalam mendorong penerapan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program
Siaran (P3SPS) juga memancing lembaga-lembaga penyiaran menginterpretasikan
terlalu jauh kaidah-kaidah P3SPS.
P3SPS sebenarnya sudah jelas dan detail
mengatur program-program bermuatan seksual, seperti adegan seksual, seks di
luar nikah, aborsi, pemerkosaan, serta muatan seks dalam lagu dan videoklip.
Namun, KPI sering mengeluarkan teguran yang terlalu jauh menginterpretasikan
P3SPS.
Salah satu preseden buruk bagaimana KPI
melangkah melampaui batas-batas kewenangannya ditandai dengan terbitnya Surat
Edaran KPI Nomor 203/K/KPI/02/16 pada 23 Februari 2016 tentang larangan
menampilkan pria berpenampilan kewanitaan. Dalam surat edaran itu, KPI
meminta lembaga penyiaran untuk tidak menampilkan pria sebagai pembawa acara
atau pengisi acara lainnya dengan tampilan gaya berpakaian, riasan, bahasa
tubuh, dan gaya bicara yang bersifat kewanitaan.
Surat edaran tersebut praktis berpotensi
melanggar hak-hak warga negara, khususnya para seniman untuk berkarya.
Padahal, undang-undang sendiri menjamin hak warga negara untuk mengungkapkan
pendapat dan ekspresi.
Larangan yang berlebihan tersebut jelas-jelas
bertolak belakang dengan ekspresi seni. Sebagai contoh, tari topeng Cirebon
Palimanan yang menampilkan karakter laki-laki sebagian besar justru dimainkan
oleh perempuan. Sebaliknya, pemeran tokoh Arjuna dalam wayang orang gaya
Surakarta lebih sering dimainkan oleh perempuan.
Sensor media berlebihan serta munculnya aneka
macam pelarangan menggambarkan potret dekadensi atau kemerosotan bangsa ini
dalam memaknai peradaban dan kebudayaan. Fenomena ini menunjukkan
ketidakdewasaan menghadapi ekspresi-ekspresi kultural yang kadang tidak
semuanya positif.
Perpanjangan IPP
Tahun 2016 juga menjadi momen penting
berakhirnya izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) 10 stasiun televisi swasta,
meliputi RCTI, SCTV, MNC TV, ANTV, Indosiar, Global TV, TV One, Trans TV,
Trans 7, dan Metro TV. Detik-detik penantian masa perpanjangan IPP ini turut
mewarnai paranoia terhadap lembaga regulator.
Banyak pihak berharap kesempatan ini bisa
menjadi momentum bagi regulator, baik KPI maupun Kementerian Komunikasi dan
Informatika (Kominfo), untuk mengevaluasi total pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Evaluasi perpanjangan IPP juga menjadi
kesempatan untuk meminta komitmen yang mengikat terhadap lembaga-lembaga
penyiaran. Di sinilah regulator bisa membangun posisi tawar dengan lembaga
penyiaran.
Dalam praktiknya, harapan besar ini rupanya
tak sepenuhnya terwujud. Putaran terakhir evaluasi dengar pendapat
pertengahan Mei 2016 berlangsung landai tanpa perdebatan dinamis, banyak
komisioner KPI Pusat dan beberapa wakil KPI Daerah justru berulang-ulang mendaraskan
pantun sembari melontarkan pujian daripada catatan kritis.
Evaluasi yang dilontarkan KPI hanya sebatas
1-2 tahun terakhir. Sementara itu, data evaluasi selama 10 tahun terakhir
justru tidak dipaparkan dalam evaluasi itu.
Seperti yang dibayangkan banyak pihak dengan
prasangka skeptis, Kominfo akhirnya memperpanjang IPP 10 stasiun televisi
swasta itu.
Perpanjangan IPP ini disertai dengan
penandatanganan tujuh komitmen oleh para petinggi stasiun televisi yang
berisi: kesanggupan melaksanakan P3SPS, menjalankan fungsi sebagai media
informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol dan perekat sosial, menjaga
independensi dan keberimbangan isi siaran, menjaga independensi dan
keberimbangan penyelenggaraan pemilihan umum.
Selain itu, melaksanakan penayangan yang
menghormati ranah privat dan pro justisia yang mengedepankan asas praduga tak
bersalah secara proporsional dan profesional, memberikan perlindungan dan
pemberdayaan kepada khalayak khusus, serta bersedia dievaluasi secara berkala
setiap tahun.
Tahun depan tantangan nyata menghadang.
Pemilihan kepala daerah serentak digelar di 101 provinsi dan kabupaten/kota
dilanjutkan pemilihan legislatif serta pemilihan presiden pada 2019. Di
sinilah komitmen para petinggi stasiun televisi akan ditagih implementasinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar