Survei
Pilkada DKI
Memperebutkan
Pemilih Bimbang
Sultani ; Litbang
KOMPAS
|
KOMPAS, 22 Desember
2016
Suara para pemilih yang belum menentukan
pilihan (undecided voters) dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 berpotensi
diperebutkan kandidat gubernur dan wakil gubernur. Relatif kecilnya selisih
elektabilitas para kandidat terekam di tengah loyalitas setiap pemilih
terhadap pasangan calon dan menguatnya identitas sosial berbasis
primordialitas.
Berdasarkan hasil Survei Pra Pilkada DKI
Jakarta yang dilakukan Litbang Kompas 7-15 Desember 2016, angka pemilih yang
belum menentukan pilihan atau masih bimbang (undecided voters) sebesar 10,4
persen. Secara proporsi, angka tersebut kecil ketimbang responden yang sudah
menentukan pilihan calon kepala daerah Jakarta, yaitu 89,6 persen.
Meski demikian, proporsi kecil ini menarik
ditelisik mengingat rentang elektabilitas dan popularitas antarcalon tidak
terpaut jauh. Hingga saat ini, tidak ada satu pun pasangan calon memiliki
tingkat elektabilitas yang memadai (di atas 50 persen) sebagai syarat
memenangi Pilkada DKI Jakarta.
Dari hasil survei tersebut terungkap profil
undecided voters pada Pilkada DKI kali ini. Dari segi usia, undecided voters
terbesar berada pada rentang usia 35-50 tahun, yaitu sebesar 38,6 persen.
Dari aspek pendidikan, mereka terkonsentrasi pada berpendidikan SMA (59
persen).
Secara sosial, proporsi terbesar undecided
voters di Jakarta berasal dari suku Jawa dan beragama Islam (39,8 persen
responden). Sementara dari aspek tempat tinggal, dua dari tiga undecided
voters berasal dari perkampungan.
Untuk responden pemilih partai-partai
pengusung Agus-Sylvi tercatat 9,4 persen belum menentukan pilihan. Sementara
responden pemilih partai pengusung Basuki-Djarot ada 5,9 persen belum
menunjukkan calon gubernur pilihan, dan dari pemilih partai pengusung
Anies-Sandi ada 6,4 persen responden belum menentukan pilihan.
Hasil survei mengungkapkan tiga motif utama
yang mendasari sikap politik para undecided voters ini. Motif tersebut
mencerminkan potensi mereka untuk memilih salah satu kandidat pada saat
pilkada nanti.
Motif pertama adalah pesimisme terhadap para
kandidat yang bertarung dalam Pilkada Jakarta sekarang. Para responden yang
pesimistis ini pada dasarnya menyatakan tidak peduli dengan pilkada ini dan
menilai, ketiga pasangan calon kali ini semuanya pembohong. Sebanyak 34,1
persen responden mengungkapkan keraguan mereka terhadap tiga pasang calon
sebagai landasan keengganan mereka untuk menyatakan secara tegas pilihan
calon kepala daerah.
Motif kedua adalah memanfaatkan waktu untuk
mencerna atau internalisasi program dan janji-janji kampanye yang diucapkan
oleh para calon. Seperempat bagian responden mengungkapkan belum memilih
calon mereka karena masih memerlukan waktu untuk menyamakan aspirasi mereka
dengan visi-misi para calon gubernur dan wakil gubernur tersebut. Karena itu,
mereka baru akan menentukan pilihan setelah masa kampanye usai.
Adapun motif ketiga adalah semata merahasiakan
pilihan sampai hari pilkada. Responden yang menjawab akan menentukan pilihan
mereka mendekati hari pencoblosan sebanyak 41,5 persen.
Politik aliran
Selain fenomena undecided voters, survei
kepemimpinan DKI Jakarta juga merekam naiknya kembali pilihan politik
berdasarkan basis primordial agama atau sering disebut "politik
aliran". Responden pemilih partai berbasis massa Islam cenderung memilih
kepala daerah yang seakidah meskipun aspirasinya berbeda dengan dukungan yang
diberikan oleh partai pilihan mereka.
Sebaliknya, fenomena demikian tidak terlihat
pada responden pemilih partai berbasis massa nasionalis. Pilihan responden
lebih dinamis sehingga terlihat lebih cair dalam konstelasi dukungan terhadap
ketiga calon kepala daerah. Faktor agama bukan menjadi penentu utama dalam
menentukan calon gubernur pilihan mereka.
Jika partai-partai pengusung dipetakan
terhadap tiga pasang calon kandidat gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta,
akan menghasilkan dua motif utama, yaitu partai nasionalis plus Islam (partai
berbasis massa Islam) dan partai nasionalis murni.
Partai kelompok pertama direpresentasikan
melalui kandidat pertama, yaitu Agus-Sylvi (Partai Demokrat, PKB, PPP, dan
PAN) dan kandidat ketiga Anies-Sandi (Gerindra, PKS). Sementara partai
kelompok kedua direpresentasikan melalui kandidat Basuki-Djarot (PDI-P,
Golkar, Nasdem, dan Hanura).
Dari konfigurasi tersebut, survei ini
mengungkapkan tingkat konsistensi responden memilih calon gubernur
berdasarkan pilihan partai. Responden yang tergabung dalam partai koalisi
pengusung Agus-Sylvi terlihat paling konsisten dalam memilih calon gubernur,
yaitu 61,3 persen.
Konsistensi ini tetap kuat ketika pilihan
partai politik responden diurai secara individual. Responden pemilih PPP,
PKB, dan PAN yang memilih pasangan Agus-Sylvi cenderung tinggi, yaitu berada
dalam rentang 45 persen hingga 63 persen. Sementara pemilih Partai
Demokrat-motor penggerak koalisi-yang mendukung Agus-Sylvi sebesar 63,7
persen.
Untuk partai koalisi pengusung Basuki-Djarot
sedikit lebih cair karena tidak semua responden memilih secara konsisten
sesuai dengan dukungan dari partai pilihan mereka. Konsistensi pemilih
koalisi partai ini mencapai 56 persen. Artinya, proporsi responden yang
memiliki perbedaan aspirasi dengan garis politik partai relatif sama
besarnya.
Loyalitas partai
Jika pilihan responden diurai per partai
politik akan terlihat spektrum dukungan yang bervariasi. Responden yang
paling konsisten (loyal) dalam koalisi ini adalah pemilih PDI-P dan Nasdem.
Sebanyak 61,8 persen responden pemilih PDI-P adalah pemilih Basuki-Djarot.
Sementara pemilih Nasdem yang memilih pasangan petahana ini 77,8 persen.
Sebaliknya, responden yang paling cair dalam
koalisi ini adalah pemilih Golkar dan Hanura. Tiga dari sepuluh responden
pemilih Golkar menyatakan akan memilih Basuki-Djarot. Bagian terbesar dari
sisa suara pemilih Golkar ini akan mendukung pasangan Agus-Sylvi (56,1
persen). Sementara pemilih Hanura yang akan memilih Basuki-Djarot sebesar
27,3 persen. Kandidat lain yang berpotensi dipilih oleh pemilih Hanura yang
lain adalah Agus-Sylvi (36,4 persen).
Untuk koalisi kandidat Anies-Sandi
konsistensinya relatif lebih kecil, yaitu 41,6 persen. Meski demikian, khusus
konsistensi pemilih PKS dalam memilih calon gubernur yang menggambarkan
kesamaan agama terbilang tinggi sehingga selain memilih Anies-Sandi,
responden yang berbeda aspirasi dengan dukungan PKS lebih cenderung untuk
memilih Agus-Sylvi.
Pemilih Gerindra terlihat sangat cair dalam
memilih calon gubernur mereka. Meskipun 36,1 persen menyatakan memilih
pasangan Anies-Sandi, proporsi ini lebih kecil ketimbang sisa suara yang akan
memilih calon lain. Sebanyak 43,1 persen responden pemilih Gerindra akan
memilih Agus-Sylvi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar