Jangan Tunggu Tak Berdaya
M Subhan SD ; Wartawan
Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 22 Desember
2016
Seorang petugas parkir di sekitar Stasiun
Pondok Ranji, Tangerang Selatan menggugat: "Sekarang susah cari duit.
Rakyat kecil tidak boleh terima uang, tetapi pejabat dan orang-orang gede
tetap saja korupsi." Ada perasaan gusar, geram, kesal, kecewa, jengkel,
marah. Ketidakadilan dirasakan rakyat kebanyakan. Tenggorokan pun terasa
tercekat. Siang yang terik itu makin terasa memanggang tubuh.
Korupsi yang diperangi lewat agenda besar
reformasi selama 18 tahun ini; jangankan mati, pingsan saja tidak.
Sebaliknya, korupsi justru terus berevolusi dan bereproduksi. Ibarat benalu,
ke mana pun benihnya diterbangkan angin, tumbuh dan menggerogoti pohon-pohon
yang ditumpanginya.
Beberapa bulan ini, sejumlah kepala daerah dan
pembesar negeri ditahan karena korupsi. Wali Kota (nonaktif) Cimahi Atty
Suharti ditangkap KPK, 1 Desember 2016. Ia disangka terima suap Rp 500 juta
terkait proyek ijon pembangunan tahap dua Pasar Atas Baru Cimahi. Ia
ditangkap bersama suaminya, M Itoc Tochija, mantan wali kota yang digantikan
Atty yang kini nyalon kembali. Inilah sisi gelap dinasti politik. Sebelumnya,
Wali Kota Madiun Bambang Irianto ditahan KPK dalam kasus gratifikasi pembangunan
Pasar Besar Madiun.
Lalu, ada pejabat militer Brigjen Teddy
Hernayadi divonis seumur hidup karena korupsi pengadaan alat utama sistem
persenjataan (alutsista). Ada juga pejabat Badan Keamanan Laut (Bakamla), Eko
Susilo Hadi, terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK terkait kasus suap
proyek pengadaan satelit pemantauan, 14 Desember lalu. Petugas yang punya
rekam jejak pemberantasan korupsi pun, seperti Ajun Komisaris Besar Polisi
Brotoseno, tergoda juga. Perwira Bareskrim Polri dan mantan penyidik KPK ini,
11 November lalu, menjadi tersangka jual-beli perkara (kasus korupsi cetak
sawah tahun 2012-2014) yang disidik Bareskrim.
Mengapa korupsi membuat manusia kehilangan
kewarasan? Sisi-sisi mulia manusia pun rusak. Atau sebaliknya, jangan-jangan
karena korupsi bisa dikalkulasi untung-ruginya. Barangkali dapat didekati
dengan teori pilihan rasional (rational choice theory). Sederhananya, dalam
mengambil pilihan manusia menggunakan nalar dan memperhitungkan risikonya.
Disebut rasional karena tindakan tersebut berhubungan dengan pilihan.
Dibandingkan dengan risiko dan kerugian
(cost), keuntungan (benefit ) korupsi tampaknya lebih menggiurkan, misalnya
saat ini rata-rata vonis koruptor sekitar 2 tahun. Perampasan harta koruptor
pun barangkali baru terhadap Fuad Amin Imron (Rp 250 miliar) dan M Nazaruddin
(Rp 550 miliar). Jadi, setelah menjalani hukuman, koruptor bisa bebas
menikmati hidupnya kembali dengan harta hasil korupsinya. Hukuman koruptor
rata-rata ringan itu membuat pejabat negara tak kapok-kapok.
Kalau di Tiongkok terlebih sejak Presiden Xi
Jinping berkuasa, Maret 2013, para koruptor ketakutan. Sampai-sampai ada
"tren" bunuh diri ketika mereka mulai diusut kasus korupsi. Jadi,
terapi terhadap koruptor adalah mendesaknya penerapan hukuman yang berat:
kurungan penjara yang lama, sekaligus perampasan harta mereka. Jangan tunggu
sampai korupsi makin masif memenuhi aliran darah bangsa. Sebab, ketika itu
terjadi, negeri ini sudah tak berdaya lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar